Mohon tunggu...
Candika Putra Purba
Candika Putra Purba Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengajar Bahasa Indonesia

Senang membaca karya fiksi Senang mendengarkan musik Senang dengan dunia fotografi Berjuang untuk menjadi manusia yang berguna 24 Tahun Guru SMP

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Garam dalam Tikam dan Kelam (Sebuah Cerpen)

23 Maret 2021   08:10 Diperbarui: 23 Maret 2021   08:25 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(sebuah cerpen dari Can)

Pardo masih saja terus membaca tulisan demi tulisan di buku muridnya itu. Membaca setiap kalimat yang tergores di sana, membaca makna dan mencoba menempatkan dirinya pada posisi muridnya. Pardo terhenti pada buku Lukman, anak murid yang baru saja masuk ke kelas 3 itu menarik perhatian Pardo, bukan hanya karena tingkahnya yang lucu, ia juga tertarik pada sebuah kalimat yang ia tuliskan di bukunya,

"Aku benci di keluarga ini, tidak ada hal yang kusuka, tidak ada yang bisa membuatku bahagia". 

Kata-kata itu menarik perhatiannya, sangat membuatnya tersadar akan masa lalunya. Pardo mencoba membaca keseluruhan tulisan itu, beberapa kali, ia tertawa kecil. Mungkin karena susunan tata bahasa Lukman yang lucu, atau mungkin Lukman membuat lelucon di sana, atau mungkin Pardo tertawa hanya karena itu mengingatkannya pada anak ingusan yang selalu bersamanya dulu. Entahlah.

*10 tahun sebelumya*

"Pardo, hujon lobe ho (Pardo, mari ke sini, nak)," Mak Yanti memanggil Pardo dengan kasar.

Dengan sigap, Pardo meninggalkan boneka berbie-nya dan langsung menuju panggilan ibunya itu. Dengan lari-lari kecil, jantung Pardo gugup luar biasa. Tekanan ibunya sudah dikenalnya sejak dua tahun lalu. Kalau masih nyaman di telinga, berarti ibunya hendak mengajak makan. Kalau satu telinga sudah kesakitan, itu pertanda bahwa ibunya ingin menyuruhnya membeli demban (daun sirih) atau seikat tembakau di warung Rista. Jika kedua telinga sudah sakit mendengar, berarti masalah besar terjadi. Benar saja, ketika kaki Pardo menghadap ibunya,

"Ini apa?" Mak Yanti memegang sebuah ikat rambut berwarna merah, satu karet gelang berwarna ungu, dan dua kep rambut berwarna kuning kusam dengan pola bunga di salah satu sisinya.

"Pardo, jawab ini apa?" mak Yanti yang sedang menyuci itu harus menghentikan pekerjaannya terlebih dahulu. Ia ingin mendengar jawaban anaknya itu. Ia heran kenapa benda-benda seperti itu harus bertengger di kantong celana sekolah anak bungsunya itu.

Pardo yang hanya bisa kaget dan mengutuk dirinya sendiri. Tak sekata keluar dari mulutnya, ia gugup, hal yang selama ini ia sembunyikan, justru tertangkap basah di kamar mandi berlantai batu ini. Ia diam, tak menjawab. Ia bingung hendak mengatakan alasan, ia tahu ibunya tak akan mudah percaya.

"Kamu nggak mau jawab? Ini punya siapa Pardo?" Ibunya terus menagih tanpa henti.

Pardo diam, ia menunduk tapi tidak menangis. ia mencoba untuk tegar.

"Nah, sekarang kau buang semua ini," kini nada bicara mak Yanti menurun. Itu pertanda ia sudah pasrah, kini ia menyuruh anaknya itu untuk membuang barang-barang perempuan itu. Pardo diam sambil mengarahkan tangan kanannya menerima itu. Dengan diam dan sambil menunduk, ia pergi, melangkah menjauhi kamar mandi. Sambil mengutuk diri sendiri, dan terus berpikir kata-kata minta maaf yang akan ia bilang pada Surti, teman kelasnya yang punya semua barang itu.

Pardo adalah anak terakhir di keluarganya. Hidup di bawah Bapak bermarga Sinaga dengan ibu berboru purba. Hidupnya kental dengan budaya batak. Jaraknya dengan abang kakaknya cukup jauh, kini kakaknya sudah menikah, sedangkan abangnya sudah merantau di kota yang cukup jauh dari kampungnya. Kini ia sendiri, bersama kedua orang tuanya.

Masyarakat menilai Pardo sebagai orang yang berbeda. Tidak jarang orang memanggilnya "kancil" ketika ia di suruh mak Yanti untuk membeli sabun batang ke warung. Mungkin karena tubuhnya yang mungil, namun mungkin juga karena tingkahnya yang aneh. Pardo berbeda dari anak laki-laki lain. Jika Samson, anak tetangganya yang seumuran dengannya sedang asyik bermain mobil-mobilan dengan Raju, Pardo memilih duduk di sudut lapangan, bermain dengan jagung muda yang serabutnya masih berwarna merah muda alami. Ia tak pandai menendang bola, namun dalam hal mendandan rambut, Surti masih kalah dibuatnya.

Di dalam rumah juga begitu, ketika Samson pandai membuat peralatan di rumah, Pardo memilih untuk mengatur bunga, melap meja dan jendela, menanak nasi dan memasak lauk apa adanya. Semua pekerjaan rumah beres di tangannya.

Awalnya, mak Yanti tak terlalu peduli. Namun, sejak tetangga mulai berbisik-bisik tentang pardo, ia mulai risau. Pak Yanti, tak pernah punya waktu untuk membahas hal itu. Ia sibuk di ladang. Segala urusan ladang memang tunduk di telapak tangannya, jadi dalam pengurusan anak, memang diserahkan penuh pada mak Yanti.

"Bang, abang ajarilah di Pardo itu martukkang (bertukang), biar kek cowok dia," mak Yanti memulai pembicaraan dengan pak Yanti.

"Maksudmu bagaimana?" pak Yanti heran. Ia tak pernah berpikir seperti itu sebelumnya.

"Si Pardo itu, keknya dia lebih suka masak-masak dari pada martukkang. Nanti malu kita" pak Yanti, yang baru sadar inti topik yang diucap istrinya itu langsung diam dan berpikir. Lambat-lambat ia setuju juga dengan hal itu.

"Iya, nanti aku akan coba"

Beberapa hari setelah pembicaraan malam itu, pak Yanti mulai beraksi

"Pardo, sini dulu bang, bantu dulu bapak"

Pardo yang saat itu sedang sibuk mencabut rumput di depan rumah, terpaksa mendengarkan bapaknya.

"Ambilkan dulu martil itu,!" suruh bapaknya.

Pardo diam, dia tak tahu bentuk martil itu bagaimana.

"Itu, yang dilantai," pak Yanti menunjuk barang itu. Pardo mengerti, ia pun membatu bapaknya.

Hari itu, pak Yanti berhasil, anaknya sudah mulai kenal masalah pertukangan. Pardo tidak suka, tapi ia terpaksa karena bapaknya menyuruhnya. Ia lebih senang menjahit dari pada bermain dengan palu. Lebih menyukai benang dari pada gergaji dan paku.

Hari ke hari, pak Yanti mulai sering mengajak Pardo melakukan  hal-hal yang dikerjakan pria batak pada umumnya. Tidak jarang ia mengajak Pardo ke ladang, memaksa untuk bekerja supaya bisa menjadi pria batak sesungguhnya.

Tapi, Pardo tak tahan. Ia tersiksa memendam semua paksaan yang ada di pikirannya. Ia memberontak. Hingga pada suatu hari

"Pardo, sini dulu kau, bantu dulu bapak" pak yanto berteriak dari samping rumah.

Pardo yang pada saat itu sedang melipat baju, segera menuju bapaknya dengan sedikit marah.

"Apa sih pak? Bapak nggak bisa sendiri?" ucap Pardo lantang tak sopan. Paksaan yang selama ini tinggal di tubuhnya kini meluap.

"Kan, bapak minta tolong Pardo, bapak nggak bisa minta tolong lagi samamu?" pak Yanti yang sedikit kelelahan setelah bekerja di ladang, terpancin marah juga. Ia tak suka dengan cara Pardo

"Tapi aku nggak suka pak, nggak ngerti aku masalah kek gini, maslah tukang-tukang kek gini,' Pardo melotot pada bapaknya

"Terus, kalau kau nggak bisa? Kenapa?" nafas Pak Yanti tak teratur. Tangannya mengepal dan wajahnya merah membara.

Pardo diam, tapi terus mencari pembelaan.

"Jangan paksa aku pak, nggak mau aku di paksa-paksa,"

"Maksudmu paksa-paksa bagaimana? Heran aku samamu Pardo. Nggak pernah keknya kami maksa kau." Pak Yanti semakin marah

Mata pardo memerah, air mata mulai mengalir di pipinya. .

"Kau kenapa?" pak Yanti bingung dan marah melihat anak laki-lakinya itu meneteskan air mata.

Pardo tak menjawab, namun isakan demi isakan berhamburan dari mulutnya

"Udahlah, diamlah kau, nggak suka aku lihat kau nangis kek begitu. DIAM!" ucap pak Yanti lantang.

Pak Yanti semakin marah. Sedangkan Pardo yang mendengar kata kasar dari bapaknya itu menjadi sakit hati.

"DIAM," Pak Yanti membentak Pardo. Pardo yang terkejut memaksa dirinya untuk diam. Pelan-pelan dia menghapus air matanya.

"PARDO, DENGAR KAN DULU AKU. KAU KENAPA NANGIS?" suara Pak Pardo masih keras. Raut wajah memohon dan marah bercampur di wajahnya. Suara pria dewasa batak memang tak akan terkalahkan ketika marah.

Pardo masih diam. Tak berani menjawab bapaknya yang sudah naik pitam itu.

"PARDO, DENGARNYA KAU?" ucap Pak Yanti lebih keras. Tapi Pardo tetap diam.

"PARDO, LIAT AKU," dengan takut, Pardo memandang mata kejam bapaknya.

"Pardo, dengar dulu Bapak." Suara Pak Yanti sudah melemah. Tak sanggup rasanya ia melihat anak bungsunya itu menangis sepanjang masa. Namun Pardo tetap menangis

"PARDO," suara pak Yanti kembali keras. Permintannya tak dipedulikan Pardo

"KAU ITU COWOK ATAU CEWEK PARDO? KOK NANGIS KAU? KAU ITU LAKI-LAKI PARDO, NGGA PANTAS KALAU KAU NANGIS, NGGAK MALU KAU? Pak Yanti marah besar. Beberapa kali Pak Yanti menunjuk-nunjuk Pardo. Pardo tak berdaya lagi

"KALAU KEK KAU ORANG BATAK INI, HANCUR LAH KITA. NGGAK AKAN LAKU ORANG KEK KAU. KAU LAKI-LAKI TAPI NGGAK TAHU BERTUKANG, ITU BUKAN LAKI-LAKI NAMANYA." Kata-kata yang dikeluarkan Pak Yanti semakin keras dan kasar. Emosinya tak terkendali lagi.

"PARDO, DIAM!!!" Pak Yanti terus membentak. Namun Pardo tetap dalam isakannya yang pelan

"KAU ITU LAKI-LAKI PARDO. NANTI KAU JADI BAPAK JUGA. KALAU KAU NGGAK BETINGKAH KAYAK LAKI-LAKI, NANTI ANAK ISTRIMU MAKAN APA?" marah Pak Yanti belum reda, begitu juga dengan isakan Pardo.

"NGGAK ADA ORANG BATAK KEK KAU PARDO. NGGAK ADA ORANG BATAK YANG LEMAH KEK AKU, NGGAK ADA LAKI-LAKI BATAK YANG MUDAH NANGIS KEK KAU," Pak Yanti tak bisa mengontrol emosinya. Emosi yang sudah lama ia pendam, kini ia luapkan semuanya. Marahnya yang dulu pada Pardo, disampaikannya saat itu juga.

Pak Yanti lelah. Nafasnya tersengal-sengal dan matanya tak semelotot sebelumnya. Dengan pelan ia tinggalkan pekerjaan itu. Tak lupa juga ia meninggalkan Pardo yang masih berdiri, meremas jadi-jadi dan  menangis tanpa henti. Dengan tetesan air mata, ia mengingat semua kata-kata Bapaknya, ia mengukir itu di hatinya. Apa yang dikatakan bapaknya semua terekam dengan sempurna. Itu juga yang membuat Pardo pernah tak menyukai keluarganya itu. Keluarga yang tak pernah menganggapnya.

*di ruang kepala sekolah*

"Lukman, sini nak" Pardo memanggil Lukman. Lukman yang sedari tadi asyik bermain bola dengan teman-temannya, menanggapi panggilan kepala sekolahnya itu.

"Iya Pak?" Lukman masuk kantor kepala sekolah tanpa sepatu.

"Nah, beli minuman samamu, sama teman-temanmu juga" Pardo memberi beberapa rupiah. Anak itu girang, matanya menjadi bulat dengan senyuman yang lebar.

"Makasih Pak" dengan senyum terbaik, Lukman berterima kasih pada Pardo, sambil meninggalkan kantor itu, Lukman berlari kecil.

Pardo melihat foto di depannya. Bapak dan ibunya sedang menggunakan batik pada waktu ia wisuda. Mereka tertawa, jelas sekali mereka bangga pada Pardo.

"Seandainya bapak tidak emosian, mungkin aku sekarang di jalanan" lirih Pardo di hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun