Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Tolok Ukur Keberhasilan KKN

26 Juni 2024   06:00 Diperbarui: 26 Juni 2024   06:37 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen pribadi Claudia Magany

Minggu pertama di lokasi KKN, teman-teman sudah punya aktivitas masing-masing. Misalnya Basri (fakultas Peternakan), pagi-pagi sekali sudah menghilang. Rupanya setiap hari dia survei langsung ke kandang-kandang ternak yang ada di desa Lekopa'dis. Jadi dia juga kenyang sarapan dari rumah ke rumah para pemilik ternak. Namanya langsung melejit di antara kami, sebab cara pendekatannya memang patut diacungi jempol.

Wila mahasiswi Pertanian, menyusul kemudian. Tapi biasanya dia sarapan dulu di rumah, bersama kami. Sebab kande-kande (kue) yang disiapkan setiap pagi oleh Kak Lia putri sulung Pak Desa, rasanya enak-enak. Juga sangat bervariasi, mulai dari roti pawa, sokkol ubi, gogos kambu, kui-kui (pukis/buroncong) dan lain-lain.

Roti pawa bentuknya seperti bakpao tapi isinya parut kelapa dan gula merah.  Sokkol ubi terbuat dari singkong, kelapa parut dan kacang hijau. Dibungkus daun yang dilapis daun pisang muda dan dikukus, aroma daunnya harum sekali. Gogos adalah makanan khas orang Sulawesi Selatan pada umumnya. Mirip nasi bakar, hanya bedanya kalau gogos terbuat dari ketan dan bentuknya lebih langsing seperti lontong. Gogos kambu yang khas Mandar, diberi isi ikan cakalang dan kelapa parut. Umumnya diberi cabe, jadi agak pedas.

Kande-kande yang disuguhkan Kak Lia memang lumayan berat, jadi perut bisa menahan lapar bahkan sampai jam 14. Maklum kalau sudah berkegiatan apalagi tempat yang dikunjungi jauh-jauh, tentunya sarapan macam ini memang dibutuhkan.

Kadang kami ikut Wila pergi ke sawah dan ladang menemani dia memberi penyuluhan langsung ke para petani dan peladang. Dia juga kerja sama dengan teman-teman dari desa lain, bahkan suka lintas kecamatan untuk penyuluhan di bidang pertanian.

Agak siang, Betty (mahasiswi Hukum), Aziz (Sospol) dan Okto (FKM, Kesehatan Masyarakat) menggelar acara bantuan hukum dan kesehatan di kantor desa. Biasanya Aziz membantu mereka menjadi moderator.  

Sebagai Kordes (Koordinator Desa), Aziz juga mendampingi Iwan (mahasiswa Teknik) yang bersama mahasiswa lain (lintas desa), berencana membangun batas wilayah (Kecamatan).

Risma (Fak. MIPA) cukup sibuk karena mengajar IPA di SMP dan SMA. Malamnya dia buka kelas matematika buat warga sekitar rumah kami. Risma menjadi mahasiswi favorit buat anak-anak sekolahan.

Teorinya, aku yang fakultas Sastra (Sastra Indonesia), harusnya ikutan juga mengajar bahasa Indonesia. Tapi aku tidak siap materi dan mental. Selama kuliah, presensiku lebih banyak di lapangan daripada di dalam kelas.

Dari semester awal, aku sibuk berolahraga. Bersama teman-teman sehobi, kami membentuk tim Voli di kampus. Aku juga penjaga gawang tim Hockey Unhas. Lewat kedua cabang ini, setiap tahun aku bisa pulang gratis ke Jakarta karena bertanding mewakili Unhas. Giliran KKN aku bingung mau mengaplikasikan ilmu kepada masyarakat.

Biar ada kegiatan, teman-teman mengusulkan program membuat kue bersama ibu-ibu dengan materi yang ada di desa. Ingat-ingat, aku pernah membaca resep kue Bingka Kalimantan dari salah satu majalah wanita. Materialnya ada di desa ini, yaitu pisang, santan, telur, gula dan terigu.

Ketika tiba hari yang ditunggu-tunggu, ibu-ibu dan para gadis terlihat sangat antusias. Kegiatannya bertempat di rumah Ibu Dyah, salah satu warga kehormatan di desa itu. Peralatan dapurnya lumayan lengkap. Ada mixer dan juga kompor minyak tanah. Aku grogi juga, sebab semua mata menatap dengan sangat serius. Beberapa gadis bahkan terlihat asyik mencatat tahapan-tahapan membuat bingka.

Ketika kue matang dan mereka mencicip, tiba-tiba terdengar suara protes dari salah seorang ibu, "Wah rasanya tidak beda dengan kue barongko!" Ooops, agak gugup aku berusaha mengendalikan diri, "Secara materi memang bahannya sama. Jadi rasa juga pastinya sama. Hanya beda cara memasaknya. Kalau bingka dibakar pakai loyang dalam oven, sedangkan barongko dibungkus daun pisang dan dikukus."

Terlihat wajah-wajah kecewa. Aku semakin salah tingkah. Malam itu juga aku memutar otak mencari akal untuk bisa berbuat sesuatu di desa ini. Hampir setiap hari Basri pulang dari kunjungan ke peternakan, selalu membawa bungkusan. Demikian juga dengan Wila dan Risma. Aku ingat kata-kata Pak Jani, supervisor yang mendampingi mahasiswa KKN, "Berhasil tidaknya kalian, akan terlihat dari oleh-oleh yang diberikan penduduk kepada kalian. Kalau oleh-olehnya banyak, berarti penduduk sayang kepada kalian."

Kalimat ini terus terngiang-ngiang mengganggu pikiranku. Sementara Iwan dan Okto sudah mengajukan program baru, yaitu membangun sanitasi di rumah Pak Desa dengan teknik fero semen. Sejak saat itu, semua perhatian beralih ke program ini. Dan aku? Diusulkan bikin kue pun aku gagal.

Hampir setiap weekend, Betty pulang ke Ujung Pandang. Dia pengantin baru, jadi mendapat izin khusus dari supervisor yang disetujui oleh Pak Desa. Sekamar dengan Wila, Risma sering diajak weekend ke rumah orang tuanya Willa di Pinrang. Sekali saja aku pernah ikut dengan mereka. Tapi akhirnya aku lebih memilih untuk mengunjungi beberapa kenalan di sekitar Polmas.

Deja Vu

Beberapa tahun lalu, ada tetangga di Batang Ase yang mengajak kami (aku dan kakakku) berlebaran di Majene. Waktu itu mereka bilang, kalau sudah minum air sumur di Majene, kamu akan kembali ke sini. Dan ternyata, benar adanya. Selama KKN, 2 kali aku ke Majene berakhir pekan dengan mereka.

Sebelum KKN, bersama tim Volley Unhas, kami juga pernah menggelar pertandingan persahabatan di kota Mamuju, Polewali dan Mamasa. Waktu di Mamasa, aku pernah dikenalkan dengan orang tuanya Berta, teman satu tim yang juga junior di Sastra.

Pak Todding (papanya Berta) adalah pensiunan polisi. Dia membangun rumah di lereng bukit. Rumahnya sangat asri dan sejuk, sebab lantainya pakai batu gunung yang tersusun secara alami seperti anak tangga. Rumah itu juga dikelilingi kebun buah dan sayur. Ayam, bebek dan hewan piaran lain, dibiarkan bebas bermain di kebun. Jadi kalau ke sana aku selalu disuguhi makanan segar dan enak-enak sebagai hasil olahan kebun.

Tiap kali ke sana, mereka menyambutku sudah seperti anak sendiri. Maklum di rumah itu hanya tinggal mereka berdua. Jadi kalau aku datang, mereka sangat terhibur mendengar cerita-ceritaku. Ketika menceritakan keresahanku tentang program KKN, Pak Todding memberi saran, "Kamu kan pemain voli, mengapa tidak menggelar pertandingan antar desa?"

Eureka!! Idenya sangat gemilang! Aku juga cukup menguasai bidang ini.

Kembali ke desa Lekopa'dis, aku langsung menyusun proposal. Sorenya mulai mengumpulkan pemuda-pemudi Karang Taruna untuk merapikan lapangan kosong. Bermodal kapur yang kubawa dari Mamasa (sisa kapur yang dipakai untuk mengecat pagar) kami membuat garis lapangan. Beberapa pemuda menebang bambu tua untuk membuat tiang di tepi lapangan. Ada warga yang  pandai membuat jala. Aku usul Pak Desa untuk memesan jala seukuran dan semodel net voli. Pak Todding juga menghadiahkan 2 bola voli yang selama ini nganggur di rumahnya.

Hampir semingguan, tanah kosong telah berubah menjadi lapangan voli. Setiap sore juga ramai dikunjungi warga yang ingin melihat pemuda-pemudi mereka berlatih voli.

Jumat dalam minggu itu, aku menitip beberapa surat proposal ke Betty yang balik ke Ujung Pandang. Salah satunya untuk disampaikan langsung ke toko olahraga dekat Pantai Losari. Pemiliknya sudah kenal baik sebab aku sering minta sponsor untuk voli dan hockey Unhas setiap kali bertanding. Juga salah satu perusahaan minuman yang setia menjadi sponsor. Karena weekend kantornya tutup. Jadi cukup dicemplungkan ke dalam kotak pos terdekat bersama proposal-proposal lainnya.

Tak kalah dengan teman-teman lain, akhirnya aku juga bisa berkegiatan. Bahkan melibatkan warga desa untuk ikut berpartisipasi. Undangan pertandingan juga sudah disebar ke desa-desa sekitar, bahkan antar kecamatan.

Setiap sore, aku rutin melatih teknik bermain membagi bola dengan teman satu tim. Intinya, dalam olahraga beregu, jangan bermain sendirian untuk terlihat hebat. Tetapi harus berbagi, menjaga kebersamaan dan kekompakan.

Pesan Rektor pada saat pembekalan KKN, beliau mengutip konsep ide mantan gubernur Sulsel Ahmad Amiruddin (yang juga pernah jadi rektor Unhas) tentang Program Tri Konsep Wilayah, yaitu komoditas, perubahan pola pikir, dan petik olah jual.

Menurutku, membangun tim voli di desa, adalah upaya perubahan pola pikir untuk bermain secara fair dan menjunjung tinggi sportivitas. Sekaligus perubahan pola pikir dari pemuda desa menjadi juara desa lewat olahraga. Akhirnya programku juga bisa disambung-sambungkan ke dalam konsep ini.

Minggu-minggu menjelang pertandingan, proposalku mendapat respon positif. Toko olahraga menyumbang piagam dan piala 6 buah untuk juara 1, 2, 3 putra dan putri. Perusahaan minuman bersedia menyumbang seragam untuk tim putra/putri dan ada perusahaan pecah belah akan menyumbang bola voli sebanyak 4 buah. Sisa proposal lainnya, tidak dijawab sebab tertulis limit waktu bagi para calon sponsor.

Karena harus mengambil semua sumbangan, terpaksa aku pergi ke Ujung Pandang. Agak stress juga membayangkan jauhnya perjalanan. Tapi demi suksesnya program acaraku, akhirnya dengan semangat '45 aku pulang.

Kembali ke Tinambung, aku disambut seperti pahlawan. Sambutan mereka, persis seperti tokoh I Karake’lette yang memenangkan pertarungan melawan Raja Gowa.

Alkisah dahulu kala, kerajaan Balanipa mendapat serangan dari kerajaan Gowa. Untuk melawan musuh yang jumlahnya berkali lipat, Raja Balanipa mengadakan sayembara agar pemuda di negerinya bersedia menjadi prajurit. Kalau menang, mereka akan dikasih hadiah.

Adalah seorang laki-laki setengah baya yang cacat kakinya. Ia bernama I Karake’lette, yang dalam bahasa Mandar berarti si kaki rusak. Ia sangat tertarik untuk mengikuti sayembara ini. Namun semua orang termasuk punggawa, menolak dan menertawai dia sebab kakinya cacat.

Singkat cerita, Balanipa kalah telak karena kerajaan Gowa memang sangat kuat. Raja sedih sebab sisa penduduk semakin berkurang dengan gugurnya pemuda-pemuda gagah perkasa yang pergi berperang.

Pada kesempatan ini, I Karake'lette kembali mengajukan permohonan untuk membantu Raja Balanipa. Seperti sudah dibayangkan, Raja pun menertawakan pria setengah baya yang penampilannya tidak menyakinkan.

"Apa yang kau inginkan jika menang melawan Raja Gowa?" tanya raja.

I Karake’lette hanya menggeleng. Dia hanya ingin menunjukkan bakti dan cintanya kepada tanah Balanipa. Melihat kesungguhan pria ini, akhirnya Raja memberi izin.

Lalu berangkatlah I Karake'lette. Di atas kapal yang berlabuh di teluk Mandar, Raja Gowa sedang berpesta karena telah menaklukan kerajaan Balanipa. Keadaan ini dimanfaatkan oleh I Karake'lette untuk mendekati singgasana Raja Gowa.

Dengan berani, ia menantang sang Raja untuk berduel. Kalau raja menang, bisa ambil seluruh kerajaan Balanipa. Namun jika I Karake'lette yang menang, Raja Gowa dan pasukannya harus meninggalkan pelabuhan dan tidak boleh kembali ke wilayah kerajaan Balanipa.

Mendapat tantangan ini raja tertawa sambil menyetujui duel yang ternyata modelnya beda dari duel-duel lainnya. I Karake'lette menantang raja dengan dua buah jeruk. Barangsiapa berhasil membelah jeruk pakai keris, dialah yang menang.

Ternyata I Karake'lette memenangkan tantangan ini. Dengan kerisnya, ia berhasil membelah kedua jeruk yang dilempar ke udara. Hal ini membuat gusar raja Gowa. Kemudian ia menyerang I Karake'lette. Sekali lagi, I Karake'lette memenangkan duel. Kerisnya berhasil menewaskan sang raja.

Prajurit kerajaan Gowa yang menyaksikan duel ini, sangat ketakutan. Mereka langsung hengkang meninggalkan pelabuhan dan wilayah Balanipa. I Karake'lette pun pulang menghadap Raja Balanipa. Di sana, ia disambut sebagai pahlawan karena telah menyelamatkan kerajaan. Sebagai hadiah, Raja Balanipa mengangkat I Karake’lette menjadi punggawa kerajaan dan memberikan sebidang tanah yang luas untuk dia dan anak cucunya.

Sumber: Cerita Rakyat Mandar (Balanipa)

***

Hari itu aku disambut warga, mungkin karena aku membawa bola, seragam tim pemain dan piala untuk pertandingan. Aku juga membawa gitar untuk mengisi acara panggung gembira.

Tiba hari H, lapangan voli terlihat lebih profesional. Garis lapangan yang sebelumnya hanya berupa taburan kapur dan mudah terhapus, telah diganti oleh potongan bambu yang ditanam sekitar 10 cm. Jadi bambunya tidak membahayakan pemain. Garisnya juga tetap terlihat dan solid.

Tim Lekopa'dis memakai seragam warna kuning hadiah dari sponsor. Set pertama aku selalu memberi kesempatan warga untuk bermain dalam tim. Kalau lawannya lemah, aku memilih teriak-teriak di tepi lapangan untuk memberi support dan membiarkan mereka bertanding. Giliran bertemu lawan yang kuat, barulah aku turun ke lapangan sebagai pemain.

Set demi set, akhirnya tim kami (putra/putri) berhasil masuk final. Aku selalu ingatkan tim untuk bermain cantik pakai taktik, bukan pakai otot dan emosi.

Setiap kali bertanding, lawan-lawan kami banyak terkecoh melihat penonton yang meneriakkan yel-yel sambil melambai-lambaikan janur berbentuk keris panjang yang sempat kuajarkan pada mereka.

 

Ide janur ini terinspirasi dari kisah I Karake'lette yang berhasil menaklukan Raja Gowa dengan keris. Kebetulan materinya berlimpah di desa Lekopa'dis. Hampir setiap rumah menanam pohon kelapa. Sayangnya, aku hanya tahu bentuk keris, satu-satunya model janur yang bisa kubikin.

Percaya atau tidak, kami betul-betul merasakan semangat duel I Karaka'lette saat kami bertanding. Alhasil, kami berhasil memenangkan pertandingan karena bermain cantik pakai taktik tanpa emosi.

Masih dalam suasana bersalam-salaman dengan wasit, sesama peserta dan lawan main, tiba-tiba kami mendengar suara gong dan genderang. Iramanya bervariasi. Cepat dan lambat, diselingi bunyi kecapi dan suling. Lalu muncul 5 gadis kecil cantik-cantik memegang kipas menarikan tari Patuddu.

Mereka memakai Pattuqduq Towane, baju khas Mandar yang berupa perpaduan baju Bodo dan Toraja yang ujung tangannya ketat. Rambut mereka digelung dan memakai hiasan bunga. Mereka tampil lengkap dengan asesoris warna emas, mulai dari anting-anting, kalung dan gelang. Tak lupa, sarung khas Mandar kebanggaan warga ikut melengkapi busana mereka.

Sungguh kejutan luar biasa. Rupanya Bu Dyah memprakarsai ide ini atas persetujuan Pak Desa. Kami tim voli merasa sangat tersanjung dengan tari  yang dikhususkan untuk menyambut prajurit yang memenangkan peperangan. Suasananya betul-betul seperti penyambutan I Karake'lette mewakili kerajaan Balanipa memenangkan pertarungan melawan Raja Gowa.

***

Tiba malam perpisahan dengan warga, kami berdelapan menyanyikan lagu Mars Unhas pada pembukaan acara. Atmosfernya beda sekali kalau dinyanyikan di luar kampus.

"Putra-putrimu kini bangkit, dengan jiwa Hasanuddin.." dan seterusnya, tak terasa air mataku menetes. Antara senang, bangga dan sedih juga karena tiba masanya harus berpisah dengan warga desa Lekopa'dis karena tugas kami sudah selesai.

Gapura pembatas kecamatan sudah dibangun. Sanitasi di rumah Pak Desa juga sudah diperbaharui. Dapurnya yang semula terbuat dari lantai bambu,telah dilapis dengan fero semen. Sekarang terlihat kokoh dan bersih. Kami juga membangun WC di belakang dapur, tak jauh dari sumur. Dan bagianku, akhirnya bisa membentuk tim voli putra-putri di desa ini. Bahkan berhasil memenangkan lomba antar kecamatan. Semoga bola yang disumbang oleh sponsor, bisa terus dipakai untuk latihan selanjutnya.

Selain kata-kata sambutan, termasuk oleh Supervisor KKN yang hadir pada malam itu, warga juga menampilkan berbagai tarian dan lagu-lagu daerah Mandar. Acaranya cukup semarak dan penuh rasa kekeluargaan.

Di atas meja, terhidang kande-kande (kue) khas Mandar yang beraneka ragam. Mulai dari sokol ubi, kue tetu, kue paso, kui-kui, beppa paranggi (jenis bolu), tallo panynyu (telur penyu) yang mirip onde-onde dan lain sebagainya.

Malam itu aku tak bisa tidur. Terlalu lelah karena acara seminggu belakangan sangat padat. Malam itu juga harus menyiapkan barang-barang untuk kembali ke Ujung Pandang. Dulu datang hanya dengan satu travel bag, sekarang pulang dengan tambahan gitar dan satu tas keresek isi bingkisan dari Ibu Dyah. Isinya golla kambu, sejenis wajik Mandar yang terbuat dari beras ketan, kelapa parut dan kacang tanah yang disangrai.

Tidak seperti teman-teman lain yang datang hanya berbekal satu tas, pulangnya beranak jadi tiga, empat tas karena banyak menerima oleh-oleh dari warga. Agak sedih dan iri juga, sebab menjadi pahlawan yang memenangkan tim voli, tidak menjadi jaminan akan mendapat oleh-oleh seabreg seperti mereka.

Pagi-pagi, Pak Haji sudah ribut memanggil-manggil namaku. Berulang kali aku selalu mengingatkan beliau bahwa namaku Ody, tapi tetap saja beliau selalu memanggil Body.

"Body, kemarin saya menurunkan kelapa dari kebun. Ada 19 buah sudah saya masukan ke dalam bus. Semuanya ada tulisan Body biar tidak tertukar dengan kelapa-kelapa lain," lapor Pak Haji sambil tersenyum lebar. "Untuk Bapak Supervisor juga sudah saya masukan dalam bus yang sama."

Aku tertegun, kehabisan kata-kata melihat ketulusan Pak Haji yang baik hati. Beliau juga menyerahkan 2 botol minna (minyak mandar yang harum) sebagai oleh-oleh. Kemudian beliau berujar, "Tabe nah, Body itu singkatan dari Mbak Ody untuk menghormati kita." (penggunaan kata "kita" sebagai pengganti 'kamu' atau Anda adalah cara tersopan orang Sulsel untuk menghormati lawan bicara)

Sudah hari terakhir, aku baru sadar bahwa Pak Haji yang kocak dan selalu baik, ternyata memanggil namaku Body bukan bermaksud mengejek, tetapi itulah cara paling sopan untuk mengormati aku. Maklum, teman-teman juga suka bercanda memanggilku Sambu Paria karena sering masak sayur paria (pare).

Sekitar jam 08.00, lapangan di depan Kecamatan Tinambung sudah dipenuhi mahasiswa berjaket merah. Sekeliling lapangan terpasang umbul-umbul dan spanduk bertuliskan UNIVERSITAS HASANUDDIN Gelombang XLII POLMAS. Rombongan Rektor juga sudah masuk barisan upacara. Kami dari desa Lekopa'dis yang letaknya tak jauh dari tempat upacara, justru datang agak terlambat. Maklum, sepanjang perjalanan, warga masih ada saja yang menyetop rombongan kami untuk sekedar memberi oleh-oleh.

Sebagai Koordinator Kabupaten, Ali (Teknik Sipil) ditunjuk menjadi komandan upacara. Waktu barisan diistirahatkan, di belakang kami terdengar bisik-bisik yang mengganggu jalannya upacara. Tiba-tiba bisik itu sampai ke telingaku, "Mana Ody?" Kulihat Pak Jani (supervisor) memeriksa barisan belakang, kemudian beliau menarik aku keluar dari barisan.

Aku langsung pucat, sebab kalau urusan dengan Pak Jani biasanya untuk mencari-cari kesalahan mahasiswa! Pagi itu rasanya malu, grogi dan salah tingkah sebab menjadi perhatian peserta KKN lain. Dan kejadiannya justru pada hari penutupan. Ah, salah apa lagi, ya?

Ternyata Ibu Todding datang mencariku ke tempat upacara. Dia memeluk buah pepaya yang sangat besar. "Ody, pepaya ini matang di pohon. Kami siapkan untuk oleh-oleh. Maaf Bapak tidak bisa datang, jadi hanya titip salam," kata si ibu. Aku langsung meraih pepaya yang terlihat berat (dan memang berat) dari dekapan di badan Bu Todding yang imut-imut.

Tak selesai sampai di situ, Bu Todding melanjutkan, "Ody, di sana masih ada satu becak oleh-oleh buat kamu." Suasana upacara pagi itu cukup hening. Jadi ketika Ibu Todding berkata-kata, seluruh hadirin di lapangan bisa mendengar kalimatnya. Serta merta bisik-bisik menjadi ramai, "Satu becak?!"

Pak Jani ikut menemani kami ke becak yang dicarter Bu Todding. Wow!? Ada pisang tanduk bersisir-sisir, pisang kepok setandan, pisang mas beberapa sisir terselip-selip, kelapa dalam karung, entah berapa buah. Talas dan singkong yang sepertinya baru dicabut dari tanah dan diikat seadanya. Sirsak matang dan mengkal, dan ada beberapa bungkusan tersusun rapi.

Bu Todding menjelaskan, "Bungkusan itu kue-kue khas Mamasa. Nanti sampai di rumah baru kau buka nah." Dan yang paling membikin 'wow', ada sepasang ayam, jago dan betina yang ikut jadi penumpang dalam becak tersebut.

Daeng becak tertawa lebar, "Mudah-mudahan ayam-ayam ini tidak berkelahi selama di jalan." Bingungku belum habis memikirkan 19 buah kelapa dari Pak Haji, sekarang Bu Todding datang dengan oleh-oleh sebecak penuh. Terlihat peluh di dahi Bu Todding. Sela-sela ketiaknya juga basah oleh keringat. Jangan-jangan beliau mengalah jalan kaki demi ayam dan lain-lain.

"Eh itu dia Ody!" terdengar seruan dari balik bus. Ternyata rombongan warga desa yang beberapa hari lalu memperkuat tim voli. Mereka memakai seragam tim dan membawa janur-janur keris. Beberapa dari mereka menyerahkan bungkusan oleh-oleh kepadaku. Daeng becak masih sibuk memindahkan oleh-oleh Bu Todding ke dalam bus. Sekarang ada lagi tambahan oleh-oleh dari tim voli.

Pak Jani datang mendekatiku, "Tak diragukan, kamu dapat nilai A untuk mata kuliah KKN." Terdengar juga bisik-bisik dari barisan belakang peserta upacara, "Barunya kulihat ada yang kasih oleh-oleh sebecak." Bisik-bisik lain, "Belum ada mi mahasiswa yang dioleh-olehi ayam hidup. Edede"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun