Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kusembur Sirih Sampai Perih

7 April 2020   08:59 Diperbarui: 7 April 2020   09:20 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image by bahanamahasiswa.com

"Tolong ambil sirihnya mbah, dekat lemari makan!"

"Kapurnya engga mbah?."

Aku harus pastikan karena biasanya setelah duduk pasti ada permintaan yang lain. Jalan perlahan, perlahan-lahan dan sengaja dibuat lambat.

"Ndooooo, kopinya sekalian ya. Tadi ibumu sudah buatkan. Cepat bawa keburu dingin ndak enak nanti."

Benar saja,sudah hapal betul kebiasaan si mbah ini.

Kuperhatikan si Mbah, giginya sudah mulai merah.
"Hangat, enak sekali di mulut mbahmu ini. Cuaca adem terus ya Ndo, kasihan ibumu jemurannya lama kering."

"Nanti juga kering mbah."

"Lo bukan, nanti jemurannya jamuran kalau tidak ada mataharinya Ndo."

Duh, si Mbah kaya drakula, nyirih sambil ngomong, kan merahnya jadi ke bibir, terus luruh ke bawah, berasa mau gigitin aku jadinya.

"Ada apa itu di rumah Pa RT, ribut bener. Mbah jadi rusak konsentrasinya."

"Gaya nya si Mbah, konsentrasi apa si Mbah?"

"Lo ini , kalau konsentrasi buyar, yang mbah gigit idah sendiri bagaimana?"

"Itu lo Mbah, sekarang di Kota lagi ramai tentang Corona. Ssssssst Mbah diam dulu biar aku jelaskan ya. Virus ini sudah mewabah, sampai-sampai orangkota sudah tidak boleh pulang, tidak boleh kemana-mana, diam saja di rumah."

"Lo begitu, kan bosan kalau di rumah terus. Mbah saja 5 menit di kursi pinginnya lari-lari ko"

"Mbah, virusnya jahat, menularnya cepat, sekarang di dunia sudah jutaan orang yang kena virus ini, di Indonesia setiap hari bertambah korbannya. Kita justru harus ikut basmi virus ini dengan diam di rumah, udah itu aja Mbah".

Tiba-tiba si Mbah, lari ke belakang lalu tunggang langgang membuka pagar rumah dengan sekuat tenaga.

"eh.. Mbah mau ke mana?"

"RT, Mbah ke Pa RT mau mandi"

"Hah, mandi?"

"Nad...Mbahmu itu lo ngamuk-ngamuk di Rumah Pak RT"

"Ngamuk, ko bisa"

"Tadi si Mbah tanya sama Pak RT, apa itu virus? Sama nda sama tikus. Terus Pak RT jelasin Panjang lebar, ehhh si Mbah langsung ngamuk, katanya kampung ini nda boleh ada tikus, eh virus eh dua-duanya boleh kayannya."

Ih, Moza tidak jelas, aku bergegaa menyusul si Mbah.

"Mbah pulang yuk, mau maghrib nanti Mbah masuk angin'"

"Nda, nda mau Mbah. Tadi kata Pa RT, tetangga kita yang di kota mau pada pulag ke sini.Nanti kalau mereka bawa penyakit itu bagaimana, mbah mau basmi"

"Mbah mereka tetangga kita lo"

"Lah ko kamu bodoh to Ndo, Mbah aja ngerti sama penjelasan Pak RT"

Akhirnya aku bisa bawa pulang Mbah, susahnya minta ampun. Mbah ini memang sangat peduli sama kampungnya, Mbah ini Jawara Kampung.

Adzan Shubuh sudah terdengar syahdu, aku bergegas bangunkan Mbah untuk sama-sama ke mesjid.

Mbah tidak ada, jam masih menunjukkan jam 4 pagi, ini bukan kebiasaan Mbah.

Panik, aku cari ke sekeliling rumah, mbah tidak ada.

"Mbaaaaaaaaaaaah...mbaaaaaah"

Ya Allah, mbah kemana. Mbah ini kalau masih gelap suka gelagapan jalannya, aku takut mbah jatuh.

Aku cari mbah, semoga mbah ada di Mesjid. Tidak ada.

"Pak RT, lihat Mbah? Mbah tidak ada di rumah, aku panik nih Pa."

"Hahahahah, mbahmu itu ya, aku aja sampai bingung lihat Mbah"

"Mbah kenapa, kok bapak tertawa?"

"Mbahmu, ikut bikin pagar perbatasan. Sebentar lagi selesai sepertinya, bahkan Mbah ingin isi kultum subuh ini."
Mbah? Kultum Subuh? Gustiiii, Mbahku kenapa toooo...

"Assalamualaikum koncokuuuuu...."

"Waalaikumsalaaaaaaaam Mbah Ning..."

"Langsung saja yah, Cuma dikasih lima menit saja soalnya. Kalian sudah lihat TV belum?"

"Sudah Mbaaaah"

"Sudah tahu corona?"

"Sudah Mbaaaah"

"Ini bahaya, sangat menyeramkan. Aku nda mau kampung kita yang bersih tiba-tiba jadi penyakitan. Jadi tadi aku sama karang taruna sudah buat pagar perbatasan, kita harus bergotong royong dan kompak menolak kedatangan tetangga kita dari kota."

"Tapi mereka saudara kita Mbah, kalau sampai lebaran mereka tidak bisa bertemu kita bagaimana?"

"Nah ini yang mau ta kemplang, eh Surti memang kamu yakin anakmu sehat?"

"Sehat lah Mbah, dia aman"

"Kalau di jalan dia bertemu yang sakit bagaimana?. Bilan anakmu, nda usah jadi pulang, aku nda akan ijinkan."

"Dengar ya, saat ini kita masih bisa duduk berdempet-dempet di Mesjid ini, kamu tahu di Kota? Jumatan sudah tak boleh, besok puasa saja tidak boleh ada tarawih, kalau masih mengkhawatirkan, Shalat Ied saja tidak ada. Apa kamu mau begitu?"

"Semakin banyak yang bandel kayak sampeyan semakin lama virusnya jalan-jalan"

Seluruh masjid tepuk tangan, aku bangga sama Mbah. Jawara kampun ini tudak asal ngomong.

Pak RT angguk-angguk kepala, Bude Surti menunduk bingung.

"Pokone, di gerbang kampung hanya ada 2 jalan"

"Satu jalan khusus untuk kita penduduk kampung. Ingat kalian pergi seperlunya. Di Gerbang kalian akan ditanya mau kemana, berapa lama, sama siapa?. Nah satu jalan lagi khusus untuk tetangga kita yang bandel yang baru datang dari kota"

"Lah itu boleh masuk Mbah?"

"Iya boleh, jalannya aku arahin ke Kuburan. DI situ ada gubuk agak besar, jadi kalau sampeyan ngotot anak sampeyan datang, Cuma boleh diam di gubuk saja, makan seadanya di sekitar kebun, air masak sendiri. Pak RT sudah siapkan untuk pembakarannya."

"Jahat si Mbah"

"Sampeyan yang jahat, anak sampeyan satu datang lalu satu kampung masuk Rumah sakit semua, ga bisa solat dempetan, ga bisa shalat Ied. Siapa yang jahat hah? hah?"

"Mba surtttiiiiiiiii yang jahat..."

Satu masjid teriak semua.

"Aku bakal sembur pakai sirihku, kalau sampeyan ngotot suruh anakmu mudik, nda boleh."

Mba Surti ndumel, bibir manyun, mata larak lirik, sayangnya tidak ada yang mendukungnya.

"Mohon maaf ya, sekadar menambahkan yang Mbah Ning sampaikan, bahwa yang disampaikan Mbah Ning ini benar, kalau kita mau kampung kita sehat, aman ya mau nda mau harus tegas. Penyakit ini bukan main-main. Korbannya sudah sangat banyak. Kita masih ingin duduk berdampingan bu?"

"Masiiiiiiihhhh..."

"Kita masih mau bertemu dalam keadaan sehat walafiat?"

"Masiiiihhhh...."
Tiba-tiba Mbah bangun dari duduknya dan menyambar microphone Pak RT.

"Kalian kalau rindu di tahan dulu , virus ini akan membuat pilu bila kita membiarkan saudara kita memaksakan dia punya mau. Bukan rindu yang terobati, tapi tandu yang diratapi"

"JANGAAAAAAN MUDIIIIIIIIK, bilangin anak sampeyan semua ya!!!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun