Sejak itu, si bocah tak pernah lagi berniat minggat dari rumah betapa pun marah dan kecewanya dia karena suatu hal antara orangtua dan anak. Begitulah ceritanya."
"Jadi begitu, ya? Tapi kok Mama tega membiarkan kamu pergi, tidak berusaha membujuk atau menghalangimu, Blo?" May-may penasaran.
"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya secara naluriah Mama mengerti tidak ada gunanya menghalangi aku karena itu hanya membuatku yang sedang marah bertambah marah. Entah Mama pernah tahu atau tidak, tapi menurutku ini mirip seperti perumpaman Ajahn Chah yang pernah kubaca dari penuturan salah satu muridnya."
"Perumpamaan tentang apa?"
"Tentang kerbau yang mengamuk. Ketika seekor kerbau mengamuk, jangan pernah coba-coba menghentikannya kecuali kamu ingin terluka. Biarkan dia mengamuk dan lari menjauh. Kamu hanya perlu mengawasinya saja. Cepat atau lambat si kerbau pasti akan tenang kembali dan cape berlari, pada saat itulah kamu bisa mendekatinya dan menuntunnya kembali ke kandangnya."
"Keren! Tapi Mama tidak cemas membiarkanmu pergi sejauh itu?"
"Ah, tidak! Waktu itu lingkungan perumahan kita masih cukup aman kok, tidak seperti sekarang yang mulai agak rawan. Kurasa kalau kasusnya dengan kamu, mungkin ceritanya akan agak berbeda."
May-may terdiam. Sepertinya dia merenungkan sesuatu.
 "Aku jadi kangen Mama, nih," katanya lirih.
Jomblo tersenyum, dia ulurkan tangannya untuk mengucek-ucek rambut adiknya.
"Kalaiu begitu, sana, temui dan peluklah Mama."