"Duh, mana sih." Aku sudah duduk gelisah di kantin gara-gara menunggu Hera dan Rindu yang tidak kunjung datang.
"Nungguin Elang?" Pertanyaan dari Jesi mengejutkan. Cewek ini seperti jelangkung saja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar.
"Iya nih, sayangku itu kok lama banget datangnya." Aku mengubah gaya bicaraku jadi mendesah manja-manja seperti gaya Jesi.
"Hahaha, kamu bohong kan? Aku tadi lihat Elang naik ke laboratorium  urinalisa. Aku saja dari sana." Jesi pura-pura tertawa sambil menutup mulut dengan tangan, berlagak anggun.
"Kamu tuh yang bohong. Elang baru saja datang. Tuh." Aku menunjuk ke parkiran motor. Elang tampak menghentikan motor untuk parkir.
Jesi menghentakkan kaki merasa kesal. "Ingat taruhan kita? Aku nggak akan kalah."
Aku memegang tangan Jesi yang hendak meninggalkanku. "Aku nggak bilang kalau mau diajak taruhan."
Jesi melemparkan senyum sinis. "Terserahlah, yang jelas aku tidak akan melepaskan Elang untuk cewek sepertimu."
"Apa maksudmu?" Aku meninggikan suara karena tersinggung.
"Elok! Apa-apaan ini?" Suara Elang terdengar marah.
"Sakit. Tolong bilang ke Mbak Elok supaya nglepasin tanganku," rengek Jesi sambil menggoyang-goyang tangan Elang. Drama banget.