Nah, kalau dalam masalah banjir Jakarta kemarin Anies berani "mengajari" Menteri PUPR cara mengatasi banjir lewat konsep naturalisasi (padahal ia sama sekali tidak punya kompetensi di bidang Teknik sipil) maka dalam kasus korupsi lahan Rumah DP Nol Rupiah ini Anies lebih memilih tutup mulut. Ia seketika kehilangan gaya retorikanya. Entahlah, mungkin beliau ini lagi sakit gigi.
Kedua, dana Commitment Fee Formula E sebesar Rp 560 miliar.
Seperti diketahui, Pemprov DKI telah menyetorkan uang commitment fee sebesar Rp 360 miliar (untuk pelaksanaan tahun 2020) dan Rp 200 miliar (untuk pelaksanaan tahun 2021) kepada panitia Formula E, tapi balapan ini tidak jadi dilaksanakan.
Hingga kini tidak ada penjelasan dari Anies mengenai dana sebesar Rp 560 miliar tersebut. Padahal seharusnya dana tersebut bisa dipakai untuk keperluan yang lebih penting lainnya, termasuk untuk bansos bagi warga Jakarta yang terdampak pandemi.
Ketiga, APBD DKI Jakarta tidak berpihak kepada warga kebanyakan
Pada APBD 2020 lalu, Pemprov DKI memprioritaskan anggaran event yang mencapai Rp 1,5 triliun (termasuk Formula E Rp 1,2 triliun). Namun, anggaran pembangunan sekolah dan gelanggang olahraga masing-masing justru dipotong sebesar Rp 455,4 miliar dan Rp 320,5 miliar. Di sisi lain, anggaran sangat minim untuk normalisasi dan tanggul pantai guna mengatasi banjir, pembangunan Light Rail Transit (LRT), dan infrastruktur air bersih.
Bahkan, belakangan anggaran pembangunan LRT dan air bersih dihapus akibat defisit APBD. Selain itu, di dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menggunakan pinjaman dari Kementerian Keuangan, tidak ada pula kegiatan pembangunan normalisasi sungai, tanggul pantai, LRT, dan air bersih.
Catat, permukaan Jakarta itu terus saja turun karena 70% rumah tangga menyedot air tanah bagi kebutuhan air bersih mereka. Sementara itu PAM hanya mampu melayani 30% sisanya saja. Jadi sejak semula APBD DKI Jakarta ini memang tidak berpihak kepada warga kebanyakan.
Anies yang smart ini kemudian "berani" mendatangi LBP dan meminta bantuan Pusat untuk mengatasi masalah transportasi dan pengendalian banjir tersebut. Padahal ia sendiri justru mengalihkan/menghilangkan dana proyek penting tersebut dari APBD DKI Jakarta, dan kemudian mengalihkannya untuk balapan Formula E, Proyek trotoar dan pembelian lahan (korupsi) Rumah DP Nol Rupiah!
Untuk apa beli lahan kalau rumahnya sendiri tidak laku? Bagaimana bisa laku kalau cicilannya Rp 3 juta per bulan? Dengan cicilan segitu, menurut ketentuan yang berlaku (total cicilan maksimal 30% dari penghasilan) maka pembelinya minimal harus bergaji Rp 10 juta/bulan.
Kalau orang bergaji minimal Rp 10 juta/bulan itu namanya bukan orang miskin Bambang!