Awalnya banyak warga yang terkejut ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyambangi kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Banyak warga menduga kalau Anies sudah menyerah dengan segala persoalan di Jakarta, dan kemudian meminta bantuan kepada Pusat untuk mengatasinya.
Hal ini mirip dengan kasus Bansos bagi warga Jakarta yang terdampak pandemi kemarin itu, dimana program itu seharusnya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta sendiri. Namun karena kas Jakarta cekak, maka tanggung jawab itu kemudian dipikulkan kepada Pemerintah Pusat.
Namun penulis tidak percaya begitu saja. Apalagi "juragan" ini adalah orang smart, penganut paham "out of the box" yang memakai pendekatan komunikasi antitesis yang jelas berbeda dari orang kebanyakan.
Masih terngiang dalam ingatan ketika Anies jelang kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu melontarkan pernyataan, bahwa sungai di Jakarta menjadi bersih adalah hasil dari rancangan Fauzi Bowo (Foke) bukan Ahok.Â
Orang kemudian menelusuri mesin pencari Google dan mengetik, "Sungai bersih karena Foke." Eh, malah Mr. Google mengkoreksi kalimat tersebut dengan sebuah kalimat "pertanyaan dan sekaligus pernyataan," Mungkin maksud Anda adalah: "sungai bersih karena Ahok."
Dalam sekejap mata Prof. Dr. Anies Baswedan dirisak dan "dirusak" warga! Ahokers kemudian tertawa terbahak-bahak karena merasa penantang petahana itu tjulun banget.
Akan tetapi, pernyataan Anies Baswedan tentang "sungai bersih" ini, bukanlah pernyataan asal-bunyi seperti "gaya bunyi Roy Suryo" misalnya. Penulis tertarik mengamati gaya komunikasi/kampanye Anies ini, karena hal itu memang sudah diperhitungkannya dengan sangat matang.
Tahu bahwa petahana sangat kuat, keras dan didukung anak-anak muda, Anies kemudian memakai gaya bertarung yang berbeda. Anies mendekati lawan dengan "gaya berkawan."
Anies mencoba "mencitrakan" bahwa keberhasilan membersihkan sungai-sungai di Jakarta itu merupakan program kesinambungan dari beberapa gubernur yang menjabat di Jakarta sebelumnya. Dimulai dari Foke, Jokowi dan kemudian dilanjutkan oleh Ahok. Jadi kalaupun Anies nantinya terpilih menjadi gubernur, maka program sungai bersih itupun pasti akan tetap berjalan juga.
Inilah yang penulis sebut sebagai strategi smart out of the box. Alih-alih menyerang langsung seperti AHY-Sylvi, Anies justru mencoba menyejajarkan dirinya dengan Ahok (yang berhasil membuat sungai Jakarta bersih)
Case closed, tapi Anies kini sadar kalau para anak muda itu sangat teliti, dan selalu terhubung dengan mbah google. Namun jumlah orang seperti ini cuma sedikit. Yang lebih banyak justru orang yang terhubung dengan portal "aneh-aneh dan ena-ena."
Polemik sungai kemudian selesai, walaupun pada akhirnya setelah Anies terpilih, justru sungai jahanam itu pulalah yang kemudian membanjiri rumah warga. Hahaha..
Namanya juga politisi. Janji politik itu selalunya cair dan menyesuaikan diri dengan dinamika yang berkembang di masyarakat. Lha wong DPRD DKI Jakarta saja (diluar PSI) sebagai representatif dari seluruh warga adem-ayem saja, ngapain pula Anies harus mendengar suara cempreng warganya sendiri, hahaha...
***
Ternyata pertemuan Anies dengan LBP itu adalah pertemuan biasa yang merupakan salah satu dari rangkaian koordinasi LBP dengan para kepala daerah untuk membahas berbagai isu, khususnya di bidang infrastruktur dan transportasi. Sebelumnya LBP sudah bertemu dengan gubernur Jateng, Jabar, Jatim, dan Yogyakarta. Anies sendiri meminta dukungan pemerintah pusat terkait tiga hal yang menjadi permasalahan utama Jakarta, di antaranya pengendalian banjir yang disebabkan oleh rob, tanggul, dan sungai.
Dalam hemat penulis, pertemuan ini tentunya tidak akan menghasilkan apa-apa bagi kemaslahatan warga Jakarta. Pertama tentunya karena kas Pemprov DKI Jakarta sendiri sudah cekak. Lalu pakai apa Anies untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Kedua, Anies yang koppig ini pastinya akan tetap ngotot dengan konsep "Naturalisasi," yang dia sendiri juga tidak paham dan tidak mampu mengimplementasikan konsep tersebut. Artinya konsep "Naturalisasi" itu memang tidak akan pernah dilaksanakan, salah satunya karena duitnya juga sudah tidak ada lagi, hahaha...
Ketika banjir bandang awal 2020 lalu, Menteri PUPR bersitegang dengan Anies terkait pembebasan lahan untuk pekerjaan Normalisasi kali Ciliwung sepanjang 33 kilometer. Padahal itu adalah kesepakatan bersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemprov DKI Jakarta sebelumnya.
Hingga 2017, sudah dilakukan normalisasi sungai sepanjang 16 km. Akan tetapi, dari 2018 hingga 2020 tidak ada kegiatan normalisasi sungai karena Pemprov DKI Jakarta tidak mau membebaskan lahannya. Alasannya karena janji kampanye Anies dulu tidak akan ada penggusuran. Lantas kemana duit anggaran untuk pembebasan lahan tersebut?Â
Namun setelah banyak korban tewas akibat banjir bandang tersebut, Pemprov DKI Jakarta kemudian "menggeser" rumah liar warga di bantaran kali. Tangis dan ratapan, hingga umpatan warga tetap saja tak mampu mengusik "hati" excavator yang tega menggeser rumah warga tersebut.
Hingga akhir 2020 kemarin telah dilakukan pembebasan lahan saluran sepanjang 8,2 km dari sisa 17 km tersebut. Namun demikian, tidak jelas apakah pada 2021 telah dialokasikan anggaran normalisasi sungai untuk lahan 8,2 km tersebut.
Akan tetapi bisa saja Anies akan mencoba strategi smart-nya itu sekali lagi. Sadar bahwa kas Jakarta sudah bokek dan dia tidak akan mampu melaksanakan pekerjaan normalisasi maupun "naturalisasi" sungai Ciliwung tersebut, maka Anies kemudian mendatangi "Lord" yang seorang problem solver tersebut.
Lha, kenapa tidak mendatangi pejabat yang berwenang, yaitu Menteri PUPR? Bukankah sejak tahun 2018 lalu Menteri PUPR pun sudah menunggu Anies agar bisa diajari konsep naturalisasi ala Anies tersebut?Â
Gampang ditebak. Kalau sekiranya Anies bertandang ke Kementerian PUPR, pasti akan timbul kegaduhan. Warga terutama Ahokers akan nyinyir dan gaduh, Tuhan tidak suka.
LBP adalah orang yang tepat. Dia problem solver yang selalu punya cara dan strategi untuk mengatasi setiap masalah, termasuk urusan normalisasi kali Ciliwung ini. Itulah sebabnya dia disebut Lord! Jadi Anies tidak perlu bertemu dengan Menteri PUPR, biar LBP saja yang membahasnya dengan pak Basuki. Anies dan warga Jakarta terima beres saja, kali Ciliwung ini pasti akan selesai di-normalisasi.
LBP pun tentunya tidak ingin Menteri PUPR itu stres karena adu retorika dengan Anies, hehehe...
Namun, sependek pengetahuan penulis, bukan hanya masalah banjir saja yang seharusnya dibahas Anies dengan LBP, sebab ada beberapa kasus yang harus dicarikan jalan keluarnya agar warga tidak menyeret-nyeret nama KPK lagi untuk memeriksa Anies.
Beberapa hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut,
Pertama, Rumah DP Nol Rupiah.
Dari sejak awal pun program ini adalah sebuah hil yang mustahal karena jelas-jelas tidak masuk di akal! Terbukti kemudian, tiga tahun program ini berjalan, progresnya pun tidak sampai 0,3 persen!Â
Awalnya program ini ditujukan bagi warga miskin yang kesulitan menyediakan DP pembelian rumah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, tercatat 4 sampai 5 juta warga DKI belum memiliki rumah.
Anies awalnya menargetkan penyediaan 300.000 unit rumah selama 5 tahun atau 60.000 unit rumah per tahun. Namun, 3 tahun berselang hanya tersedia 780 unit rumah, atau hanya 0,26 persen dari target. Dari angka tersebut, jumlah yang dihuni pun hanya 278 unit saja!
Tragisnya lagi, dana pembelian lahan untuk Rumah DP Nol Rupiah tersebut kemudian ditilep anak buah Anies sendiri. Anehnya lagi Anies justru lebih memilih untuk menggelontorkan dana APBD triliunan rupiah untuk dana pembelian lahan korupsi ini daripada untuk mengatasi banjir Jakarta!
Nah, kalau dalam masalah banjir Jakarta kemarin Anies berani "mengajari" Menteri PUPR cara mengatasi banjir lewat konsep naturalisasi (padahal ia sama sekali tidak punya kompetensi di bidang Teknik sipil) maka dalam kasus korupsi lahan Rumah DP Nol Rupiah ini Anies lebih memilih tutup mulut. Ia seketika kehilangan gaya retorikanya. Entahlah, mungkin beliau ini lagi sakit gigi.
Kedua, dana Commitment Fee Formula E sebesar Rp 560 miliar.
Seperti diketahui, Pemprov DKI telah menyetorkan uang commitment fee sebesar Rp 360 miliar (untuk pelaksanaan tahun 2020) dan Rp 200 miliar (untuk pelaksanaan tahun 2021) kepada panitia Formula E, tapi balapan ini tidak jadi dilaksanakan.
Hingga kini tidak ada penjelasan dari Anies mengenai dana sebesar Rp 560 miliar tersebut. Padahal seharusnya dana tersebut bisa dipakai untuk keperluan yang lebih penting lainnya, termasuk untuk bansos bagi warga Jakarta yang terdampak pandemi.
Ketiga, APBD DKI Jakarta tidak berpihak kepada warga kebanyakan
Pada APBD 2020 lalu, Pemprov DKI memprioritaskan anggaran event yang mencapai Rp 1,5 triliun (termasuk Formula E Rp 1,2 triliun). Namun, anggaran pembangunan sekolah dan gelanggang olahraga masing-masing justru dipotong sebesar Rp 455,4 miliar dan Rp 320,5 miliar. Di sisi lain, anggaran sangat minim untuk normalisasi dan tanggul pantai guna mengatasi banjir, pembangunan Light Rail Transit (LRT), dan infrastruktur air bersih.
Bahkan, belakangan anggaran pembangunan LRT dan air bersih dihapus akibat defisit APBD. Selain itu, di dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menggunakan pinjaman dari Kementerian Keuangan, tidak ada pula kegiatan pembangunan normalisasi sungai, tanggul pantai, LRT, dan air bersih.
Catat, permukaan Jakarta itu terus saja turun karena 70% rumah tangga menyedot air tanah bagi kebutuhan air bersih mereka. Sementara itu PAM hanya mampu melayani 30% sisanya saja. Jadi sejak semula APBD DKI Jakarta ini memang tidak berpihak kepada warga kebanyakan.
Anies yang smart ini kemudian "berani" mendatangi LBP dan meminta bantuan Pusat untuk mengatasi masalah transportasi dan pengendalian banjir tersebut. Padahal ia sendiri justru mengalihkan/menghilangkan dana proyek penting tersebut dari APBD DKI Jakarta, dan kemudian mengalihkannya untuk balapan Formula E, Proyek trotoar dan pembelian lahan (korupsi) Rumah DP Nol Rupiah!
Untuk apa beli lahan kalau rumahnya sendiri tidak laku? Bagaimana bisa laku kalau cicilannya Rp 3 juta per bulan? Dengan cicilan segitu, menurut ketentuan yang berlaku (total cicilan maksimal 30% dari penghasilan) maka pembelinya minimal harus bergaji Rp 10 juta/bulan.
Kalau orang bergaji minimal Rp 10 juta/bulan itu namanya bukan orang miskin Bambang!
Sudahlah miskin, janganlah lagi diperbodohi, apalagi di-pehape! Dimana-mana orang miskin tidak akan mungkin bisa beli rumah. Tidak di New York, London, Paris, Singapura hingga Singaparna di Jawa Barat sana. Lha, bisa makan kenyang saja sudah disyukuri, konon beli rumah lagi!
Itulah sebabnya negara (Pemerintah Daerah) harus berpihak kepada orang miskin dengan cara menyewakan rumah (secara murah) kepada orang miskin, bukan malah menjualnya!
Teranyar, penghasilan orang miskin di Jakarta kini bukan lagi Rp 10 juta/bulan, melainkan Rp 14 juta/bulan! Gila benar! Kini penghasilan peminat Rumah DP Nol Rupiah sudah dinaikkan pula menjadi Rp 14 juta/bulan. Dengan penghasilan segitu, "orang miskin" kini bisa mencicil hingga Rp 4,2 juta/bulan. Bukan itu saja, orang miskin pun kini sanggup menyewa ART dan membeli mobil LGCC secara cicilan. Tentunya bakalan banyak warga yang mau menjadi "Crazy Poor Jakarta!"karena menjadi "Crazy Rich Surabaya" pastinya sangat sulit...
Keempat, Pembangunan Light Rail Transit (LRT) fase II masih 0 persen
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta, pembangunan LRT direncanakan sekitar 110 kilometer yang terbagi dalam 7 rute. Selain RPJMD, proyek ini juga tercantum di dalam Peraturan Presiden (Perpres) no. 55 tahun 2018 tentang rencana induk transportasi Jabodetabek tahun 2018-2029 dan Perpres no. 56 tahun 2018 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pembangunan LRT fase I dimulai 22 Juni 2016 hingga awal 2019 telah merampungkan rute perintis Kelapa Gading-Velodrome sepanjang 5,8 kilometer dan bangunan depo yang mampu menampung kereta untuk seluruh rute LRT. Namun pembangunan LRT fase II tidak kunjung dimulai. Seperti telah diuraikan di atas, dana pembangunan LRT fase II memang telah dihapus dari APBD DKI Jakarta 2020 lalu. Kalau dananya sudah raib, apalagi yang mau dibangun?
Namun rasanya proyek kebanggan di era Asian Games 2018 ini tak akan mungkin dibiarkan mangkrak begitu saja seperti proyek Hambalang. Entahlah, mungkin Pusat lebih suka menunggu saja kehadiran Plt Gubernur yang baru. Mungkin saja ada "orang Pusat" yang tidak suka kalau Anies yang akan meresmikan LRT fase II ini nantinya, apalagi proyek ini kan tidak masuk APBN.
Sebenarnya masih banyak lagi persoalan pelik Jakarta yang seharusnya segera mendapat penanganan yang tepat dari pihak-pihak terkait. Penulis mungkin akan menuliskannya dikesempatan lain. Mari kita tunggu dan lihat perkembangan selanjutnya.
Salam hangat,
Referensi,
https://www.kompasiana.com/chokky
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H