Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berdamai dengan Tagar Indonesia Terserah

23 Mei 2020   17:47 Diperbarui: 23 Mei 2020   17:43 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tagar #Indonesia Terserah menjadi trending topik diberbagai Media Sosial tanah air akhir-akhir ini. Berbagai gambar dokter dan paramedis dengan tulisan #Indonesia Terserah, muncul sebagai bentuk protes terhadap masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan Covid-19, dan juga kebijakan Pemerintah yang mulai melonggarkan PSBB.

Tagar ini kemudian menimbulkan polemik. Disatu sisi masyarakat paham akan persoalan yang dihadapi oleh para nakes (tenaga kesehatan) yang sudah berjuang sekuat tenaga (termasuk menggadaikan keselamatan dirinya sendiri) demi merawat pasien-pasien Covid-19 ini.

Sebagian dari nakes ini terpaksa tinggal terpisah dari keluarga, agar keluarga mereka ini tidak tertular virus Covid-19 yang mungkin saja sudah menginfeksi diri mereka.

Bekerja di tengah-tengah pasien Covid-19 itu ibarat berada di sarang Kobra. Walaupun sudah memakai APD (Alat Pelindung Diri) tetap saja bahaya mengintai. Sedikit kebocoran pada APD bisa fatal akibatnya. 

Belakangan, ruang ganti pakaian (tempat melepas APD) diduga menjadi tempat para nakes ini terpapar virus Covid-19.

Yang namanya virus, tentu saja tidak ada obatnya. Tindakan preventif yang bisa kita lakukan adalah menjaga kesehatan lewat pola hidup sehat dengan berolah raga, mengkonsumsi makanan bergizi dan istirahat yang cukup.

Menjaga kebersihan tubuh dengan mandi dan sering-sering mencuci tangan dengan sabun, memakai masker (bila memungkinkan dengan faceshield juga) serta melakukan physical distancing ketika berada di luar rumah.

Covid-19 adalah jenis virus corona baru yang sangat berbahaya karena penyebarannya yang begitu cepat. Virus ini juga terindikasi bisa beradapatasi/bermutasi dengan lingkungan barunya, sehingga menyulitkan para ahli untuk mengidentifikasi dan membuat vaksin bagi virus ini.

Sekalipun para ahli bisa ataupun sudah berhasil menemukan vaksin Covid-19 ini, mereka pasti akan menyembunyikannya dari publik untuk saat ini.

Setelah bisa diproduksi secara massal (ekonomis) barulah vaksin ini dilepas ke seluruh dunia.

"Homo Homini Lupus" (manusia adalah serigala bagi sesamanya) Bisnis tetaplah bisnis. Vaksin Covid-19 ini tentu saja bernilai ekonomi tinggi, melebihi "emas hitam" (minyak bumi) yang harganya kini terperosok ke tingkat harga terendah itu.

Siapa yang memegang vaksin Covid-19, dialah yang akan mengontrol dunia ini.

Dengan demikian, praktis tak ada yang bisa kita lakukan saat ini untuk mengatasi Covid-19 selain daripada "berdamai " (menjaga jarak) dengannya.

Fight melawan Covid-19 adalah tindakan bodoh bin tolol, karena akan berakhir pada area 2 X 1 m, lalu dimakamkan dengan protokol Covid-19.

Covid-19 ini benar-benar membuat negara menderita "lahir dan batin!" Mungkin tak banyak yang tahu kalau biaya perawatan pasien Covid-19 ini bisa membuat negara bangkrut.

Tanggal 6 April 2020 lalu, Kementerian Keuangan mengeluarkan surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK.02/2020 sebagai pedoman bagi Rumah Sakit mengajukan klaim ke Kementerian Kesehatan untuk mengganti biaya perawatan pasien Covid-19.

Surat ini kemudian menjadi rujukan untuk menghitung tarif klaim pasien rawat inap Covid-19.

Untuk pasien Covid-19 tanpa komplikasi, biaya perawatan di ruang ICU dengan ventilator Rp 15,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 12 juta per hari.

Lalu perawatan di ruang isolasi tekanan negatif dengan ventilator Rp 10,5 juta, tanpa ventilator Rp 7,5 juta. Sedangkan perawatan di ruang isolasi non tekanan negatif dengan ventilator Rp 10,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 7,5 juta per hari.

Untuk pasien Covid-19 dengan komplikasi, biaya perawatan di ruang ICU dengan ventilator Rp 16,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 12,5 juta per hari. Lalu perawatan di ruang isolasi tekanan negatif dengan ventilator Rp 14,5 juta, tanpa ventilator Rp 9,5 juta. Sedangkan perawatan di ruang isolasi non tekanan negatif dengan ventilator Rp 14,5 juta per hari dan tanpa ventilator Rp 9,5 juta per hari.

Tentunya negara hanya mau menanggung pasien yang memang benar-benar miskin. Sedangkan bagi pasien kategori mampu, dipersilahkan untuk membayar biaya perawatan secara mandiri.

Berdasarkan ketentuan tarif diatas, setidaknya biaya perawatan pasien Covid-19 itu bisa mencapai Rp 100 juta -- Rp 200 juta!

Bayangkan kalau ada sepuluh ribu orang saja warga miskin yang menjadi pasien Covid-19 dan harus dirawat di Rumah Sakit. Maka setidaknya negara harus membayar biaya perawatan mereka itu sebesar Rp 1-2 triliun secara cuma-cuma!

Ambyar tenan! Warga miskin, tidak bayar pajak, tidak mau pakai masker, terus disantuni Bansos, dan kini negara pun dipaksa harus membayar biaya perawatan kesehatan mereka itu.

Padahal mereka ini belum tentu bersedia "berdiri di depan" ketika negara menghadapi kesulitan termasuk ketika dicaci-maki para pegkhianat dari dalam negeri sendiri!

(Catat, penulis menyebut negara sebagai bangsa, bukan kepala negara!)

***

Tidak semua memang dokter berdiri di garda terdepan dalam menghadapi Covid-19 ini. Sebagian lagi justru nelangsa, terdampak oleh  Covid-19 ini, sama seperti masyarakat lain pada umumnya.

Seorang rekan penulis yang berprofesi sebagai dokter gigi, sudah tiga bulan ini tidak membuka warung (praktik) padahal itu adalah mata pencahariannya selama puluhan tahun.

Sialnya beliau ini pun bukan seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) yang mendapat gaji bulanan.

Bersama dokter spesialis Mata dan THT,  profesi dokter gigi memang paling rawan terinfeksi Covid-19, terutama oleh pasien carrier, OTG (Orang Tanpa Gejala)

Apalagi pasien gigi, pastinya akan terus membuka mulut (tempat dimana droplet justru bersemayam) selama dokter merawat giginya.

Seandainya sipasien tadi positif Covid-19, maka dropletnya akan bertebaran ke seluruh ruangan praktik, mengenai dokter dan asistennya. Hinggap di dental unit, kursi, wastafel hingga ke seluruh benda-benda yang ada di ruang praktik.

Akibatnya bisa ditebak, pasien-pasien berikutnya akan terpapar Covid-19 juga.

Jangan lupa juga, pada awalnya dokter-dokter yang menjadi korban Covid-19 itu adalah dokter gigi.

Kini dokter gigi (dan juga dokter spesialis THT) ibarat memakan buah simalakama. Dimakan mati ayah tak dimakan mati ibu. Kalau tak praktik mati kelaparan, kalau praktik mati dimakan Covid-19!

Lalu bagaimana kabar dari Rumah Sakit?

Rumah Sakit rujukan Covid-19 tentu saja panen pasien yang membludak termasuk tagihan.

Diatas kertas pemasukan memang banyak dari klaim pasien Covid-19, tetapi entah kapan pencairannya dari BPJS...

Sebaliknya dengan Rumah Sakit non rujukan Covid-19 yang kini "benar-benar sakit!"

Pemasukan dari pasien (rawat inap/rawat jalan) anjlok hingga tinggal 15%.

Kalau tidak terpaksa, orang tak akan mau pergi ke Rumah Sakit. Jangankan pasien, dokternya juga awalnya banyak yang tak mau datang ke Rumah Sakit tempat ia selama ini mencari makan!

Rumah Sakit kemudian mengandalkan para dokter jaga yang umumnya masih muda-muda (mumpung idealismenya masih tinggi) itu sebagai garda terdepan di IGD!

Selebihnya dokter spesialis berpraktik lewat telemedicine...

Jadi semua dokter dan nakes berharap agar pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan bisa kembali normal. Syarat utamanya tentu saja semua warga tanpa terkecuali, bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk memutus perkembangan Covid-19 ini lewat social distancing, physical distancing dan pola hidup sehat. Tanpa komitmen itu, semuanya akan sia-sia belaka.

***

"Berpuasa" selama dua setengah bulan, bukanlah perkara mudah, dan belum pernah pula dilakukan orang secara berjamaah diseluruh dunia ini.

"Iblis bahkan tuhan" (mungkin karena tuhannya berbeda-beda) pun tak mampu mempersatukan orang. Akan tetapi sebuah mahluk bernama Covid-19 ini kemudian mampu mempersatukan semua manusia untuk dikurung dan dijajah di dalam rumah mereka sendiri!

Manusia pada dasarnya adalah mahluk bebas dalam egonya sendiri. Terkurung begitu lama dalam sebutan karantina mandiri membuat mereka menderita lahir batin.

Sebagian mungkin sudah putus asa, terutama bagi mereka yang menjadi pengangguran dan kehilangan pendapatan. Apalagi sampai kini pun, belum ada tanda-tanda Covid-19 ini mengendurkan penjajahannya atas umat manusia.

Rasa frustasi itulah yang kemudian membuat banyak masyarakat kemudian menyerbu mal dan pasar-pasar dan jalanan, dengan mengabaikan protokol keselamatan Covid-19.

Apalagi pemerintah yang tampaknya sudah frustasi itu pun kemudian berniat untuk melonggarkan PSBB. Gayung bersambut, warga pun tumpah ruah ke jalan untuk merayakan "Hari Kebangkitan Nasional"

Bagi penulis sendiri, situasi ini tampak seperti memakan buah simalakama. Kita memang tidak mungkin mampu berkurung terus, tetapi sebaliknya dengan melonggarkan protokol kesehatan, kita juga akan "mampus" dihajar Covid-19. Jadi kita harus mencari win-win solution bagi masalah ini.

Apapun yang terjadi (dimanapun kita berada) tetaplah menjalankan protokol kesehatan secara ketat, bukan hanya untuk kita sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain.

Sumber,

https://nasional.kontan.co.id/news/mau-tahu-biaya-perawatan-pasien-covid-19-simak-yuk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun