Jadi semua dokter dan nakes berharap agar pandemi ini cepat berlalu agar kehidupan bisa kembali normal. Syarat utamanya tentu saja semua warga tanpa terkecuali, bekerja sama dan sama-sama bekerja untuk memutus perkembangan Covid-19 ini lewat social distancing, physical distancing dan pola hidup sehat. Tanpa komitmen itu, semuanya akan sia-sia belaka.
***
"Berpuasa" selama dua setengah bulan, bukanlah perkara mudah, dan belum pernah pula dilakukan orang secara berjamaah diseluruh dunia ini.
"Iblis bahkan tuhan" (mungkin karena tuhannya berbeda-beda) pun tak mampu mempersatukan orang. Akan tetapi sebuah mahluk bernama Covid-19 ini kemudian mampu mempersatukan semua manusia untuk dikurung dan dijajah di dalam rumah mereka sendiri!
Manusia pada dasarnya adalah mahluk bebas dalam egonya sendiri. Terkurung begitu lama dalam sebutan karantina mandiri membuat mereka menderita lahir batin.
Sebagian mungkin sudah putus asa, terutama bagi mereka yang menjadi pengangguran dan kehilangan pendapatan. Apalagi sampai kini pun, belum ada tanda-tanda Covid-19 ini mengendurkan penjajahannya atas umat manusia.
Rasa frustasi itulah yang kemudian membuat banyak masyarakat kemudian menyerbu mal dan pasar-pasar dan jalanan, dengan mengabaikan protokol keselamatan Covid-19.
Apalagi pemerintah yang tampaknya sudah frustasi itu pun kemudian berniat untuk melonggarkan PSBB. Gayung bersambut, warga pun tumpah ruah ke jalan untuk merayakan "Hari Kebangkitan Nasional"
Bagi penulis sendiri, situasi ini tampak seperti memakan buah simalakama. Kita memang tidak mungkin mampu berkurung terus, tetapi sebaliknya dengan melonggarkan protokol kesehatan, kita juga akan "mampus" dihajar Covid-19. Jadi kita harus mencari win-win solution bagi masalah ini.
Apapun yang terjadi (dimanapun kita berada) tetaplah menjalankan protokol kesehatan secara ketat, bukan hanya untuk kita sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain.
Sumber,