Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Fenomena Mudik ala Najwa Shihab hingga Pool Test ala Dahlan Iskan

4 Mei 2020   01:32 Diperbarui: 4 Mei 2020   01:29 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Najwa Shihab, sumber: indozone.id

Ada dua hal penting yang menarik perhatian penulis menjelang akhir bulan April kemarin, dan topiknya pun masih terkait pandemi Covid-19.

Yang pertama tentu saja adalah kehebohan yang berasal dari wawancara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka pada Selasa, 21 April 2020 kemarin.

Entah bagaimana caranya, pembahasan soal frasa pulang kampung dan mudik dalam wawancara itu kemudian menjadi bahan pergunjingan  di berbagai media.

Sedangkan yang kedua adalah ide Pool test Covid-19 dari Hafidz, seorang alumnus ITB Bandung untuk penanggulangan Covid-19 lewat metode dobel swab tes.

Menurut Dahlan Iskan lewat laman www.disway.id, kalau metode Hafidz ini diterapkan, maka lockdown menjadi tidak penting. PSBB tidak penting. Social distancing tidak penting.

Asal ide pool test ini dijalankan, Covid-19 pun bisa diatasi. Bisnis pun tetap bisa berjalan.

***

Ahmad dan beberapa rekannya dari Brebes adalah kelompok pembersih kolam renang di rumah-rumah seputaran Kemang dan Cilandak. Di Jakarta mereka ini tinggal disebuah kontrakan di bilangan Ragunan.

Setiap dua bulan sekali Ahmad "Pulang Kampung" ke Brebes, bergantian dengan rekan-rekannya tersebut. Ahmad dan rekan-rekannya itu tidak pernah mudik karena keluarganya memang tetap tinggal di kampung (Brebes)

Pak Anwar yang tinggal di bilangan Kemang adalah salah satu pelanggan Ahmad. Dua kali seminggu Ahmad datang untuk membersihkan dan merawat kolam renang di rumah Pak Anwar.

Kebetulan Pak Anwar orang Brebes juga, dan rumah orangtuanya pun berdekatan pula dengan rumah keluarga Ahmad.

"H-7 Lebaran," Pak Anwar dan keluarganya selalu mudik ke Brebes untuk berlebaran di rumah orangtuanya. Semua anggota keluarga ikut, kecuali Bum-bum, kunyuk (monyet) nakal yang berasal dari kampung (Brebes) juga.

Ketika mudik, Bum-bum biasanya dititipkan ke Pak Sihombing, tetangga sebelah rumah Pak Anwar.

Bum-bum ini sama sekali belum pernah mudik maupun pulang kampung. Jadi setiap Lebaran, Bum-bum bisa tetap menikmati ketupat Jakarta, bukan ketupat Brebes...

Jagad netizen kemudian riuh memperdebatkan frasa pulkam (pulang kampung) dan mudik tadi, tetapi penulis sama sekali tidak tertarik untuk membahas "recehan" seperti itu.

Penulis justru tertarik kepada "niatan" Nazwa Shihab yang justru berusaha menggiring opini  "pulkam-mudik" menjadi lebih penting daripada isu "strategi pemerintah dalam mengantisipasi pergerakan masyarakat menjelang Lebaran nanti."

Seperti kita ketahui, wawancara itu dilakukan sebelum Presiden Jokowi menetapkan pelarangan untuk mudik. Dan tugas utama Nazwa dengan wawancara itu adalah untuk mendapatkan jawaban langsung dari Presiden Jokowi, "Mengapa pemerintah hanya mengimbau, tetapi tidak melarang orang untuk mudik"

Menurut Presiden Jokowi sendiri, ada tahapan-tahapan (termasuk pengadaan logistik dan medis) yang perlu dipersiapkan Pemerintah Pusat dan Daerah sebelum akhirnya menetapkan PSBB.

Seandainya wawancara itu terlambat dilakukan Nazwa, maka sia-sialah wawancara itu karena jawaban untuk pertanyaan itu kemudian terjawab keesokan harinya...

Tak lama setelah wawancara itu, Presiden Jokowi kemudian menetapkan pelarangan total untuk mudik.

Akhirnya, apakah manfaat yang didapat masyarakat dari "perjuangan" Nazwa untuk mewawancarai Presiden Republik Indonesia secara langsung tersebut?

Apakah manfaat yang didapat oleh Presiden Republik Indonesia, yang sudah bersedia meluangkan waktunya kepada Nazwa untuk sebuah wawancara, agar warganya itu bisa memahami program yang diusung Pemerintah?

Yang mendapat manfaat hanya Nazwa, karena popularitasnya kemudian naik akibat kegaduhan (seperti biasanya) yang timbul diantara kaum "cebongers dan kadrun."

Pemerintah dan pemirsa justru merugi karena tidak mendapat manfaat seutuhnya dari program wawancara tersebut.

Misi dan strategi pemerintah yang ingin diketahui warga akhirnya menguap karena moderator (pewawancara) menggiring pembicaraan ke polemik frasa pulang kampung dan mudik.

Sebegitu pentingkah frasa pulang kampung dan mudik itu dibahas di Istana Negara?

Mengapa Nazwa tidak bertanya saja kepada ahli bahasa Indonesia kekhususan Semantik untuk menjelaskan kebingungannya tersebut?

Dalam sebuah wawancara tentu saja ada sebuah kesepakatan (tertulis maupun tidak tertulis) antara pewawancara (untuk mendapatkan informasi) dengan narasumber (yang memberikan informasi)

Ibarat berdagang, supaya cengli (fair) kedua belah pihak harus sama-sama cuan.

Nazwa mendapat informasi yang fresh from the oven, sedangkan Jokowi bisa menjelaskan program kerjanya lewat wawancara tersebut. Jadi keduanya harus cincai.

Itulah etika dari sebuah wawancara (apalagi ketika sipewawancara adalah seorang tamu)

Sependek pengetahuan penulis, berita (termasuk wawancara) adalah sebuah fakta yang dikabarkan apa adanya. Didukung oleh informasi berimbang dari beberapa pihak, dan sipemberita dilarang membuat opini.

Opini adalah milik pembaca, dan mereka itu berhak percaya atau tidak terhadap isi berita tersebut.

Prinsip "Bad news is a good news" rupanya sudah terlanjur mendarah daging dalam dunia jurnalisme tanah air sat ini. "Berita" pun sekarang dikemas dengan konsep ala "sinetron."

Penggiringan opini oleh pewawancara menjadi hal yang lumrah. Pewawancara itu pun tanpa merasa malu tega "meminjam tangan" dengan mengutip opini (secara parsial) dari orang-orang yang berseberangan dengan narasumber untuk memojokkan sinarasumber tadi.

Sebaliknya bagi beberapa orang tertentu, media wawancara justru dipakai untuk "mengeluarkan isi perutnya." Wawancara tidak lagi menjadi media informasi berguna bagi masyarakat, melainkan menjadi ajang sumpah serapah, pelampiasan sakit hati atau balas dendam.

Beberapa televisi memang sengaja mendesain acara-acara "wawancara" seperti ini untuk mencari makan. Kedua belah pihak memang sama-sama cuan. Media dapat rating bagus, sedangkan narasumber sontak menjadi pahlawan bagi kaum "halu..."

***

Ilustrasi Dahlan Iskan, sumber: disway.id
Ilustrasi Dahlan Iskan, sumber: disway.id
Dahlan Iskan lewat laman www.disway.id, menjelaskan ide Pool test Covid-19 Hafidz ini secara gamblang.

Secara teoritis, Pool test Hafidz ini adalah ide luar biasa terutama menyangkut pemangkasan biaya swab test Covid-19 yang sangat mahal itu.

Penulis bukanlah ahli virologi yang mengerti tentang virus. Tetapi ada hal yang mengganggu pemikiran penulis yang fakir ilmu ini mengenai sampel mukus dari setiap individu itu.

Yang pertama tentu saja "sampel mukus orang satu RT" dimasukkan ke dalam satu VTM (Virus Transfer Medium) lalu setelah itu dimasukkan reagen, dan kemudian keluar hasilnya setelah beberapa hari. Ide ini revolusioner betul.

Penulis tidak tahu apakah swab test kit itu bisa membaca "tanpa tersesat" mukus orang satu RT yang bisa saja adalah campuran dari beberapa jenis penyakit mulai dari Campak, TB, virus Meningitis, Cytomegalovirus, EBV hingga Hepatitis misalnya.

Yang kedua adalah sampel mukus kedua, yang menjadi sampel cadangan seandainya ditemukan positif Covid-19 pada tes pertama dari satu RT tadi.

Edan benar kalau melakukan tes berbiaya mahal dengan menggunakan sampel beberapa hari yang lalu (bukan sampel real time)

Bisa saja seseorang itu tadinya negatif. Lalu ia ketemu dengan selingkuhannya (seorang carrier)

Dua hari kemudian ia positif! Tapi karena sampel tes yang dipakai adalah swab mukus 3 hari lalu, maka otomatis hasilnya akan negatif.

Lalu seseorang tadi rendesvouz dengan selingkuhan lainnya, seorang ibu genit beranak delapan, penjual gorengan yang laris manis. Akhirnya satu kecamatan positif!

Sebagai seorang mantan wartawan, Pemimpin Redaksi dan juga sekaligus konglomerat media, Dahlan Iskan seharusnya sadar betul akan konten yang ditulisnya itu. Bukankah sebaiknya Dahlan Iskan melakukan penelitian mendalam sebelum menulis idenya tersebut?

Tidakkah ide Pool test Covid-19 ala Hafidz ini "terlalu berat" untuk dituliskan pada laman www.disway.id?

Sebagai seorang veteran yang baru kembali menulis setelah lama bertapa, konten disway sebaiknya cukup yang ringan-ringan saja tetapi tetap up-todate.

Apalagi Dahlan Iskan itu punya gaya menulis yang spesifik dan keren, walaupun terkadang sedikit usil. Gaya penulisannya itulah yang digandrungi orang. Terkadang "tidak penting apa yang ingin anda tulis, tetapi bagaimana cara anda menuliskannya." Dan Dahlan Iskan memiliki konsep itu.

Akan tetapi di sini kita membicarakan Covid-19, dan ini merupakan masalah global. Sebuah pandemi. Jadi kita harus sangat berhati-hati agar tidak tersesat dan menyesatkan banyak orang.

***

Tidak ada gading yang tak retak dan tidak ada pula gundul yang tak botak!

Sebagai manusia biasa, kita pun tak terlepas dari kesalahan. Baik karena kurang cermat ataupun lalai. Sama seperti Najwa Shihab, Dahlan Iskan adalah nama besar dalam jurnalisme tanah air dan tentu saja mempunyai banyak penggemar melalui tulisannya itu.

Akan tetapi jurnalis zaman now itu bukanlah dokter atau rohaniawan yang niatannya memang untuk memperbaiki yang kurang baik agar menjadi baik.

Zaman memang sudah berubah. Jurnalis bermental rohaniawan pun hidupnya belum tentu lebih sejahtera daripada pegawai negeri golongan II.A.

Jurnalis zaman now kini tampil bak selebriti dengan kehidupan glamor dan penuh sensasi. Tujuannya bukan mencari "salah-benar atau baik-buruk" melainkan sensasi, kegaduhan dan rating.

Kinerja diukur bukan dari keberhasilan mengungkap sebuah kasus saja, melainkan seberapa besar polemik yang timbul di masyarakat akibat dari pengungkapan kasus tersebut.

Jurnalisme zaman now kini tidak perduli lagi dengan idealisme atau "kebenaran." Sebab kebenaran itu memang tidak absolut dan hanya soal sudut pandang semata.

Sebab "diposisi mana anda berdiri dan kemudian memandang, disitulah terletak kebenaran itu."

Sumber: kemendagri.go.id/pdf | disway.id | liputan6.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun