Yang mendapat manfaat hanya Nazwa, karena popularitasnya kemudian naik akibat kegaduhan (seperti biasanya) yang timbul diantara kaum "cebongers dan kadrun."
Pemerintah dan pemirsa justru merugi karena tidak mendapat manfaat seutuhnya dari program wawancara tersebut.
Misi dan strategi pemerintah yang ingin diketahui warga akhirnya menguap karena moderator (pewawancara) menggiring pembicaraan ke polemik frasa pulang kampung dan mudik.
Sebegitu pentingkah frasa pulang kampung dan mudik itu dibahas di Istana Negara?
Mengapa Nazwa tidak bertanya saja kepada ahli bahasa Indonesia kekhususan Semantik untuk menjelaskan kebingungannya tersebut?
Dalam sebuah wawancara tentu saja ada sebuah kesepakatan (tertulis maupun tidak tertulis) antara pewawancara (untuk mendapatkan informasi) dengan narasumber (yang memberikan informasi)
Ibarat berdagang, supaya cengli (fair) kedua belah pihak harus sama-sama cuan.
Nazwa mendapat informasi yang fresh from the oven, sedangkan Jokowi bisa menjelaskan program kerjanya lewat wawancara tersebut. Jadi keduanya harus cincai.
Itulah etika dari sebuah wawancara (apalagi ketika sipewawancara adalah seorang tamu)
Sependek pengetahuan penulis, berita (termasuk wawancara) adalah sebuah fakta yang dikabarkan apa adanya. Didukung oleh informasi berimbang dari beberapa pihak, dan sipemberita dilarang membuat opini.
Opini adalah milik pembaca, dan mereka itu berhak percaya atau tidak terhadap isi berita tersebut.