Prinsip "Bad news is a good news" rupanya sudah terlanjur mendarah daging dalam dunia jurnalisme tanah air sat ini. "Berita" pun sekarang dikemas dengan konsep ala "sinetron."
Penggiringan opini oleh pewawancara menjadi hal yang lumrah. Pewawancara itu pun tanpa merasa malu tega "meminjam tangan" dengan mengutip opini (secara parsial) dari orang-orang yang berseberangan dengan narasumber untuk memojokkan sinarasumber tadi.
Sebaliknya bagi beberapa orang tertentu, media wawancara justru dipakai untuk "mengeluarkan isi perutnya." Wawancara tidak lagi menjadi media informasi berguna bagi masyarakat, melainkan menjadi ajang sumpah serapah, pelampiasan sakit hati atau balas dendam.
Beberapa televisi memang sengaja mendesain acara-acara "wawancara" seperti ini untuk mencari makan. Kedua belah pihak memang sama-sama cuan. Media dapat rating bagus, sedangkan narasumber sontak menjadi pahlawan bagi kaum "halu..."
***
Secara teoritis, Pool test Hafidz ini adalah ide luar biasa terutama menyangkut pemangkasan biaya swab test Covid-19 yang sangat mahal itu.
Penulis bukanlah ahli virologi yang mengerti tentang virus. Tetapi ada hal yang mengganggu pemikiran penulis yang fakir ilmu ini mengenai sampel mukus dari setiap individu itu.
Yang pertama tentu saja "sampel mukus orang satu RT" dimasukkan ke dalam satu VTM (Virus Transfer Medium) lalu setelah itu dimasukkan reagen, dan kemudian keluar hasilnya setelah beberapa hari. Ide ini revolusioner betul.
Penulis tidak tahu apakah swab test kit itu bisa membaca "tanpa tersesat" mukus orang satu RT yang bisa saja adalah campuran dari beberapa jenis penyakit mulai dari Campak, TB, virus Meningitis, Cytomegalovirus, EBV hingga Hepatitis misalnya.
Yang kedua adalah sampel mukus kedua, yang menjadi sampel cadangan seandainya ditemukan positif Covid-19 pada tes pertama dari satu RT tadi.