"H-7 Lebaran," Pak Anwar dan keluarganya selalu mudik ke Brebes untuk berlebaran di rumah orangtuanya. Semua anggota keluarga ikut, kecuali Bum-bum, kunyuk (monyet) nakal yang berasal dari kampung (Brebes) juga.
Ketika mudik, Bum-bum biasanya dititipkan ke Pak Sihombing, tetangga sebelah rumah Pak Anwar.
Bum-bum ini sama sekali belum pernah mudik maupun pulang kampung. Jadi setiap Lebaran, Bum-bum bisa tetap menikmati ketupat Jakarta, bukan ketupat Brebes...
Jagad netizen kemudian riuh memperdebatkan frasa pulkam (pulang kampung) dan mudik tadi, tetapi penulis sama sekali tidak tertarik untuk membahas "recehan" seperti itu.
Penulis justru tertarik kepada "niatan" Nazwa Shihab yang justru berusaha menggiring opini  "pulkam-mudik" menjadi lebih penting daripada isu "strategi pemerintah dalam mengantisipasi pergerakan masyarakat menjelang Lebaran nanti."
Seperti kita ketahui, wawancara itu dilakukan sebelum Presiden Jokowi menetapkan pelarangan untuk mudik. Dan tugas utama Nazwa dengan wawancara itu adalah untuk mendapatkan jawaban langsung dari Presiden Jokowi, "Mengapa pemerintah hanya mengimbau, tetapi tidak melarang orang untuk mudik"
Menurut Presiden Jokowi sendiri, ada tahapan-tahapan (termasuk pengadaan logistik dan medis) yang perlu dipersiapkan Pemerintah Pusat dan Daerah sebelum akhirnya menetapkan PSBB.
Seandainya wawancara itu terlambat dilakukan Nazwa, maka sia-sialah wawancara itu karena jawaban untuk pertanyaan itu kemudian terjawab keesokan harinya...
Tak lama setelah wawancara itu, Presiden Jokowi kemudian menetapkan pelarangan total untuk mudik.
Akhirnya, apakah manfaat yang didapat masyarakat dari "perjuangan" Nazwa untuk mewawancarai Presiden Republik Indonesia secara langsung tersebut?
Apakah manfaat yang didapat oleh Presiden Republik Indonesia, yang sudah bersedia meluangkan waktunya kepada Nazwa untuk sebuah wawancara, agar warganya itu bisa memahami program yang diusung Pemerintah?