Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tiga Hal Penting untuk Mengurangi Dampak Banjir Jakarta

4 Januari 2020   01:55 Diperbarui: 6 Januari 2020   08:36 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir merendam kawasan Jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo, Jakarta - Antara/Nova Wahyudi

Kali ini penulis ingin membahas masalah banjir ini secara teknis saja dengan mengabaikan hal politis. Hal teknis itu bisa diukur dan bahasanya pun gampang dipahami, walaupun terkadang kurang santun...

Banjir yang melanda Jakarta pada pergantian tahun kemarin mungkin adalah salah satu banjir terbesar yang melanda Jakarta dan sekitarnya. Korban tewas pun hingga 30 orang. Turut berduka bagi keluarga yang ditinggalkan almarhum/almarhumah, dan juga bagi saudara/i yang terdampak musibah ini.

Padahal menurut BMKG curah hujan yang kemarin itu belum lagi mencapai puncaknya.

Sebenarnya banjir ini adalah masalah klasik yang selalu melanda Jakarta, namun anehnya kita semua seperti tidak berdaya untuk mengatasinya.

Jakarta dengan luas wilayah 661,5 km2 ditinggali sekitar 12 juta jiwa (9,6 juta jiwa pada 2010, versi PBB) jelas sangat tidak ideal untuk dihuni. Apalagi RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang diklaim berkisar 8-10%, itu pun masih diragukan kebenarannya karena hanya berdasarkan asumsi saja.

Apalagi banyak RTH yang sudah berubah menjadi tempat UMKM dengan atap tertutup.

Idealnya RTH (termasuk hutan kota) bagi setiap kota itu berkisar 30% dari luas wilayah, yang berfungsi sebagai penyerap air dan juga paru-paru kota.

Jakarta sendiri adalah dataran rendah yang dialiri oleh tiga belas sungai yang membelah kota ini. Sebagian permukaan tanahnya bahkan lebih rendah dari permukaan air laut ketika terjadi pasang naik.

Sungai tersebut setiap harinya membawa ribuan ton sedimen beserta sampah dari daerah Jawa Barat. Ketika terjadi hujan lebat di daerah Jawa Barat, maka bencana banjir sudah menanti Jakarta!

Banjir itu bukan hanya membawa air saja, tetapi juga ribuan ton sampah! Ibarat "Orang Gunung" yang makan nangkanya, orang Jakarta yang terkena getahnya.

Satu hal penting lagi, permukaan tanah Jakarta turun beberapa cm setiap tahunnya. Penyebabnya karena warganya setiap hari menyedot jutaan liter air dari perut bumi Jakarta, namun tidak pernah mengembalikannya lagi.

Bahkan air bekas mandinya pun dikirim ke selokan untuk kemudian diteruskan ke Teluk Jakarta. Hanya pipis dan feses BAB saja yang dikirim ke perut bumi lewat septic tank. Ketika jarak septic tank terlalu dekat dengan sumur bor, maka warga melakukan proses yang disebut sebagai recycling...

Mengapa warga menyedot air dari tanah?

Itu karena PDAM Jakarta hanya mampu memenuhi kebutuhan air bersih bagi sekitar 30% saja dari seluruh warganya. Padahal kalau PDAM bisa memenuhi semua kebutuhan air bersih warga, maka permukaan tanah Jakarta otomatis tidak akan turun!

Jadi penulis me-review sekali lagi penyebab banjir Jakarta.

  • Pertama, RTH tidak ideal tersebab kerapatan penduduk (bangunan)
  • Kedua, Topografi yang rendah.
  • Ketiga, Penyedotan air tanah yang kemudian menambah beban poin kedua.

Kalau kita sudah bisa mengidentifikasi sumber masalah, maka langkah kita untuk mencari solusi menjadi kian mudah.

"Ketentuan adalah ketentuan, dan prinsip adalah prinsip yang tidak boleh dilanggar, tetapi justru ingin ditegakkan." Dari sinilah kita memulai langkah pertama untuk penanganan banjir ini.

Ketika Prinsip dan Ketentuan dilanggar, maka percuma saja kita bicara penanganan banjir!

***

PERTAMA. Penduduk Jakarta akan terus bertambah adalah satu keniscayaan. Baik lewat kelahiran anggota baru maupun lewat urbanisasi.

Di sisi lain, adalah tanggung jawab kita bersama untuk mengupayakan luas RTH mencapai 20%-30% agar anak cucu kita bisa hidup dengan aman, nyaman dan terhindar dari banjir.

Jalan terbaik adalah dengan melakukan "Resizing," relokasi dan reklamasi.

Sayangnya reklamasi yang sudah berjalan dengan baik selama ini justru menjadi terhenti gegara kepentingan politik dan ekonomi (termasuk oleh pengembangnya sendiri) yang pada akhirnya justru memicu konflik sosial.

Prinsipnya, pulau reklamasi adalah untuk menambah wilayah DKI Jakarta bagi pemukiman dan kegiatan pendukung semua lapisan masyarakat, bukan untuk menjadi Kawasan resort mewah semata!

Namun tentu saja pembangunan di pulau reklamasi itu akan berbasis bangunan bertingkat untuk memaksimalkan lahan yang ada. Dan luas RTH pun harus sesuai dengan angka ideal 30%.

Lantas, berapa luas lahan reklamasi yang dibutuhkan?

Yang pertama tentu saja Pemprov Jakarta harus punya perencanaan berapa jumlah penduduk pada 50 tahun mendatang misalnya.

Kalau luas DKI Jakarta sekarang adalah 661,5 km2, dengan kebutuhan RTH minimal sekitar 20% X 661,5 km2 yaitu 132 km2 dikurangi RTH yang tersedia (anggap saja 5%) berkisar 33 km2.

Jadi RTH yang harus dibebaskan berkisar 132-33 = 99 km2.

Artinya jumlah penduduk pada luas area 99 km2 tersebut plus pertumbuhan penduduk untuk lima puluh tahun ke depan menjadi rujukan untuk perencanaan luas reklamasi beserta bangunan tempat tinggal/usaha penduduk nantinya.

"Resizing" itu seperti begini:

Misalnya ada sebuah rumah yang ditempati sepasang pasutri tua dengan halaman seluas 2000 m2. Ketika lahan tersebut kemudian dikonversi menjadi sebuah bangunan Flat/Apartemen studio berlantai 15, maka akan didapat 450 unit apartemen yang bisa dihuni oleh 900-1800 orang!

Ketika penduduk terus bertambah, sementara lahan tidak bertambah, maka solusinya hanya satu. Apartemen!

KEDUA, Topografi yang rendah.

Dari sudut teknis (kalau ada dana) topografi yang rendah tidak menjadi halangan agar terhindar dari banjir. Wong di Dubai banyak hotel mewah dibangun sampai 20 meter di bawah permukaan air laut!

Sebagian besar wilayah negeri Belanda pun berada dibawah permukaan air laut. Namun rumah penduduknya tidak terendam banjir juga.

Ada dua tantangan pokok dalam upaya mengendalikan banjir Jakarta ini.

1. Banjir rob di Utara Jakarta.

Pemanasan global dan efek rumah kaca, kemudian mencairkan jutaan ton es di Utara Bumi yang secara signifikan telah menaikkan permukaan air laut.

Kondisi itu ternyata berdampak juga pada perubahan arah dan kecepatan angin yang terkadang membuat gelombang laut menjadi ekstrim di beberapa pantai.

Solusi rob ini memang hanya satu, pemasangan tanggul yang dilengkapi klep otomatis untuk menahan air laut masuk ke daratan. Di belakang tanggul juga dipasang parit yang dilengkapi pompa.

Tujuannya agar ketika air laut berhasil melewati tanggul, air tersebut tidak langsung menyerbu daratan, tetapi tertahan di parit. Air laut di dalam parit kemudian dipompa kembali ke laut.

Sebaliknya ketika terjadi banjir di daratan Jakarta, air kemudian mengalir ke laut melalui pintu klep otomatis yang terdapat di bawah permukaan tanggul.

Cara kerja pintu klep otomatis ini persis seperti klep pada sumur bor. Ketika pompa air menyala, maka klep pada pipa akan terbuka. Otomatis air dari sumur mengalir ke toren. Sebaliknya ketika pompa air mati, klep akan tertutup. Air akan tertahan di pipa, dan tidak turun ke sumur.

2. Banjir kiriman dari Selatan Jakarta.

Banjir kiriman ini memang mirip-mirip dengan "mabok kiriman." Ada orang minum miras oplosan di luar, lalu masuk diskotek/cafe untuk numpang joged doang. Air berkumpul di Katulampa, tapi joged nya di Kampung Pulo!

Lantas bagaimana solusinya?

Seperti diceritakan diatas, banjir kiriman ini selalu membawa tiga hal. Air bah, sedimen dan sampah. Hal ini tentu berpengaruh terhadap desain/dimensi saluran sebagai media penyalur banjir dari Selatan ke laut Jakarta di Utara.

Pemerintah Hindia Belanda dulu membuat jaringan kanal (tersier, sekunder hingga primer) untuk mengatasi banjir lokal dan rob, dan terbukti sangat manjur.

Namun jaringan kanal tersebut tidak didesain untuk mengatasi banjir kiriman. Itulah sebabnya Pemerintah Hindia Belanda kemudian melestarikan Kawasan puncak, dan tidak sembarangan memberikan izin mendirikan bangunan di sana.

Kawasan puncak adalah benteng pertama untuk menahan banjir bagi Batavia. Tanaman teh kemudian dipakai Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi tanah terhadap air hujan agar tidak terjadi erosi.

Lapisan tanah lembut di tebing yang terjal memang sangat rawan erosi apabila dibiarkan terbuka.

Masalah utama bagi seluruh sungai di Jakarta adalah sedimentasi yang sangat tinggi. Pemprov DKI biasanya melakukan pengerukan dua kali setahun. Tapi itu jelas tidak cukup.

Idealnya volume air yang lewat saluran harus sesuai dengan luas penampang saluran sebenarnya. Tetapi kenyataannya volume air yang lewat mungkin hanya 70% saja karena dasar saluran dipenuhi endapan lumpur.

Saya teringat pengalaman dulu ketika bekerja di perusahaan kontraktor untuk membangun dua bendungan irigasi milik PU dan sebuah bendungan PLTM hydro milik PLN.

Sebenarnya di bawah pintu intake bendungan, sudah ada satu buah pintu keluar yang berfungsi juga sebagai spillway. Pintu ini dibuka ketika banjir datang agar tidak merusak bendungan, dan juga untuk membuang sedimen yang terperangkap di bawah pintu intake.

Tapi pintu spillway ini saja ternyata tidak cukup, karena masih banyak sedimen masuk ke saluran primer.

Di antara pintu intake dan pipa penstock (nantinya akan memutar turbin) kemudian dibangun sebuah saluran sepanjang 250 meter yang berfungsi sebagi sandtrap (penangkap pasir) .

Secara berkala pintunya akan dibuka untuk membuang pasir yang mengendap. Dalam hal proyek PLTM hydro, tidak ditemukan masalah karena selisih ketinggian pintu pembuangan dengan sungai dibawahnya ada sekitar 10 meter.

Sebaliknya dengan sandtrap milik PU yang elevasinya justru dibawah permukaan air banjir sungai, hiks. Rumitnya lagi, elevasi kemiringan saluran mulai dari saluran primer ke saluran sekunder ke saluran tersier/kwartier hingga petak sawah pun hanya 3% saja.

Artinya kudu hati-hati ketika mengukur dan mengawasi tukang di lapangan. Salah-salah, malah air dari sawah petani yang masuk ke saluran PU! Kalau sudah begini bersiap-siaplah melihat petani marah sembari mengacungkan golok ke wajah kita!

Nah, seharusnya saluran-saluran di Jakarta juga bisa dipasang sandtrap pada jarak setiap satu kilometer misalnya. Lalu bagaimana cara membuang lumpur yang terjebak di sandtrap itu?

Aduh mohon maaf ya, ini bersifat teknis jangan dibawa ke politik! 50 tahun yang lalu pun orang Amerika sudah pergi ke bulan padahal mereka itu tidak punya sayap!

Nah kita ini sejak zaman perang dunia pertama hingga zaman saiki, masih tetap mengeruk saluran dengan excavator, lalu kemudian lumpurnya diangkut dengan truk terbuka. Limbahnya pun kemudian berceceran di sepanjang jalan kenangan...

Nah ide penulis, lumpur dari sandtrap tadi disedot dengan pipa dregging seperti pada kapal keruk. Metode kerjanya mirip seperti vacuum cleaner.

Atau simpelnya seperti metode menyedot WC, lalu lumpurnya dibawa dengan kendaraan khusus seperti truk tinja. Kerjanya pun menjadi bersih, rapi dan higienis.

Dengan demikian volume air yang lewat saluran pun sesuai dengan luas penampang saluran sebenarnya.

KETIGA, Dampak dari penyedotan air tanah

Di atas sudah dijelaskan kalau PDAM hanya bisa menyuplai kebutuhan bagi 30% warga (berkisar 3,6 juta jiwa) Sisa yang 8,4 juta jiwa lagi kemudian menyedot air dari bumi untuk memenuhi kebutuhannya.

Kalau setiap individu butuh 30 liter untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus) per hari, maka jumlah air yang disedot adalah 8,4 juta dikali 30 liter sama dengan 252 juta liter per hari.

Berapa yang dikembalikan ke bumi? 8,4 juta dikali flush dari kakus...

Artinya bumi tetap rugi bandar, dan permukaan tanah pun menjadi turun!

Nah ide penulis, air dari floor drain kamar mandi, wastafel dan bak cuci piring disalurkan terlebih dahulu ke "septic tank khusus berongga" yang limpasan salurannya berakhir ke parit.

Air dari septic tank berongga ini kemudian akan kembali mengisi pori-pori tanah yang mengering. Inilah yang disebut pure recycling.

Sebelumnya memang sudah lama ada sosialisasi pembuatan sumur resapan dan lubang biopori.

Hal ini jelas sangat membantu kekeringan tanah tadi.

Akan tetapi sodara-sodara sebangsa setanah air, kalau ternyata hujan tidak turun-turun juga selama berbulan-bulan seperti pada beberapa waktu lalu, apa yang  bisa kemudian kita berikan kepada bumi?

Jadi kombinasi "septic tank khusus berongga," lubang biopori dan sumur resapan akan membuat bumi bisa kembali tersenyum.

Kalau ternyata air bersih itu sangat vital bagi penurunan permukaan tanah, mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak membuat program anggaran khusus, misalnya dalam 20 tahun ke depan kebutuhan air bersih bagi warga semuanya harus 100% disuplai PDAM?

Sekali lagi karena pertanyaan dan jawabannya tidak bersifat teknis, maka penulis tak mampu menjawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun