2. Banjir kiriman dari Selatan Jakarta.
Banjir kiriman ini memang mirip-mirip dengan "mabok kiriman." Ada orang minum miras oplosan di luar, lalu masuk diskotek/cafe untuk numpang joged doang. Air berkumpul di Katulampa, tapi joged nya di Kampung Pulo!
Lantas bagaimana solusinya?
Seperti diceritakan diatas, banjir kiriman ini selalu membawa tiga hal. Air bah, sedimen dan sampah. Hal ini tentu berpengaruh terhadap desain/dimensi saluran sebagai media penyalur banjir dari Selatan ke laut Jakarta di Utara.
Pemerintah Hindia Belanda dulu membuat jaringan kanal (tersier, sekunder hingga primer) untuk mengatasi banjir lokal dan rob, dan terbukti sangat manjur.
Namun jaringan kanal tersebut tidak didesain untuk mengatasi banjir kiriman. Itulah sebabnya Pemerintah Hindia Belanda kemudian melestarikan Kawasan puncak, dan tidak sembarangan memberikan izin mendirikan bangunan di sana.
Kawasan puncak adalah benteng pertama untuk menahan banjir bagi Batavia. Tanaman teh kemudian dipakai Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi tanah terhadap air hujan agar tidak terjadi erosi.
Lapisan tanah lembut di tebing yang terjal memang sangat rawan erosi apabila dibiarkan terbuka.
Masalah utama bagi seluruh sungai di Jakarta adalah sedimentasi yang sangat tinggi. Pemprov DKI biasanya melakukan pengerukan dua kali setahun. Tapi itu jelas tidak cukup.
Idealnya volume air yang lewat saluran harus sesuai dengan luas penampang saluran sebenarnya. Tetapi kenyataannya volume air yang lewat mungkin hanya 70% saja karena dasar saluran dipenuhi endapan lumpur.
Saya teringat pengalaman dulu ketika bekerja di perusahaan kontraktor untuk membangun dua bendungan irigasi milik PU dan sebuah bendungan PLTM hydro milik PLN.