“Modelmu! Sama saja kalian berdua. Sudah jangan bangunkan aku lagi. Aku mau tidur.”
“Sumonggo, Mbah Putri, hehehe,” imbuh Gareng sambil cengar-cengir.
“Jangan mudah heran, Mbah,” Gareng melanjutkan. “Di zaman yang banjir bantuan dan modal dari luar negeri ini tidak ada yang tidak mungkin. Ada anggaran yang harus diserap. Ada anggaran yang harus dikelola. Ada anggaran yang harus dihabiskan. Ketersediaan itu harus dimanfaatkan. Mungkin orang-orang yang mengelola uang ratusan juta itu sadar program-program yang diadakan tidak membawa banyak manfaat.
“Karena itu daripada uang itu habis tak berbekas, lebih baik masuk kantong sendi. Siapa tahu bisa dirupakan mobil. Siapa tahu bisa diwujudkan dalam bentuk tanah. Siapa tahu bisa diputar menjadi saham yang menguntungkan. Siapa tahu juga bisa dijadikan modal maju jadi calon Bupati atau Gubernur. Kalau diberikan kepada anda atau saya, apa hasilnya? Paling-paling habis buat makan sehari-hari.”
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan itu, Reng, Gareng?”
“Saya ini merasa kasihan terhadap Den Dursara. Baru saja menjabat sebagai kepala penanaman modal, sudah tersandung kasus korupsi. Meski pun saya tidak mendapat bagian proyek, tetap saja saya merasa trenyuh. Jelek-jelek begini, saya juga pernah ikut proyek yang dikerjakan Den Dursara. Den Dursara hanya menjalankan perintah kang bagus Suyudana. Seharusnya kang baguse itu juga harus diperiksa. Dijadikan saksi. Dan jika perlu diusut. Sebab yang memilih Durasta, yang mengepalai perkumpulan depot dan losmen di Astino, ya kang bagus Suyudono.
“Tidak adil namanya jika kang bagus Suyudono tidak terciprat tlutuhnya. Belum lagi rayi tercinta rayi bagus Dursasana yang menjabat sbeagai kepala inspektorat. Seharusnya semua orang yang terlibat dimintai pertanggungjawaban.
“Konon rayi bagus Dursasana berkata kepada Den Dursara: ‘Sudah dilaksanakan saja, kalau ada masalah kan walikota ikut bertanggungjawab menyelesaikan, beliau tidak mau kegiatan ini ditunda lagi’. Tapi kata-kata ini hanya konon, lho, Mbah.”
“Terus maksud kamu Suyudono juga harus diselidiki?”
“Siapa yang berani? Eyang Bisma matanya langsung melotot jika ada yang membicarakan kang bagus Suyudono. Sepertinya sang prabu tidak boleh diganggu gugat. Eyang Bisma memutuskan, perkara ini harus berhenti sampai Den Bagus Dursara, Durasta, atau Durgandha. Jika perlu si anak kusir suryaputra, Karna, dilibatkan. Atau Durmuka, Bogadenta, Kertarmarma. Siapa saja, asal jangan Suyudono. Sebab Suyudono merupakan simbol negara Astinapura. Jika sampai simbol negara tersandung kasus korupsi, lalu pejabat-pejabat di bawahnya seperti apa? Apa kira-kira tidak mencontoh pimpinannya?”
“Sudah, Reng, Gareng, diam dulu! Kepalaku jadi pusing. Lalu Sengkuni ke mana kok tidak nampak batang keningnya?”