Di rumah, Cak Gepeng teringat kata-kata Cahyo tentang kuitansi-kuitansi blong di warung kopi tadi. Kuitansi-kuitansi blong yang mungkin beredar di proyek pemerintah. Entah apakah maksud kata ‘blong’ yang digunakan itu sebagai kosong dalam artian kuitansi yang sudah ditandatangani dan bermaterai tapi nilai nominalnya kosong. Atau kata ‘blong’ lebih mengacu pada kata dijarah seperti yang digunakan pada kalimat ‘rumahnya baru saja diblong maling’.
Yang jelas di mana ada kuitansi blong, di situ ada angka-angka yang dimetaforakan, dilebih-lebihkan, atau dibuat seolah-olah menyerupai sesuatu yang mirip dengan yang dimaksud.
“Aku kira otak-atik metafora hanyalah pekerjaan para penyair,” celoteh Cak Gepeng.
Maka ketika orang yang menandatangi dan menyerahkan kwitansi blong diminta menjadi saksi di muka pengadilan, pernyataan mereka akan berbunyi: tidak pernah menerima sejumlah uang yang tertera dalam “kwitansi telah terima dari ning ning ning uang sejumlah nong nong nong untuk pembayaran gung gung gung pada tanggal sekian yang ditandatangai oleh saksi.”
Malam ini Cak Gepeng sengaja tidur agak larut. Dia ingin mengetahui apakah benar ada kuitansi blong berseliweran pada proyek pemerintah. Karena itu dia rapal lagi mantra-mantra yang pernah diajarkan oleh guru spiritualnya dulu. Lalu dengan menggedrukkan kakinya ke tanah muncul sosok lelaki berhidung panjang dengan tangan memegang perut yang mulai membuncit. Petruk.
“Ada kabar apa, Truk, Petruk?”
“Njenengan itu, lho, hari raya tidak memberi THR, imlekan tidak ada angpo, sekarang tiba-tiba memanggil terus bertanya ada kabar apa. Mbok ya bertanya, Truk, Petruk, apa kamu sudah makan?”
“Ya sudah, aku ulang. Truk, Petruk, apa kamu sudah makan?”
“Belum, Mbah.”
“Kenapa belum makan?”
“Dimarahi romo, Mbah.”