Mohon tunggu...
Pipit ZL ceritaoryza.com
Pipit ZL ceritaoryza.com Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Anna dan Kinan (8/10)

13 Januari 2025   21:02 Diperbarui: 14 Januari 2025   04:41 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab 8 -- Sisi Gelap Kirana

Anna berdiam diri di kamar sepanjang malam. Pikirannya terus berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.

Ketika pagi tiba, Dirga mengetuk pintu kamarnya. Tidak ada sapaan lembut atau basa-basi, hanya ketukan tegas yang membuat Anna merasa seperti seorang tahanan. "Ayo sarapan," ujarnya dari balik pintu.

"Aku tidak lapar," jawab Anna datar.

Dirga membuka pintu tanpa izin. "Aku nggak tanya kamu lapar atau nggak, Kinan! Kamu harus makan. Dokter bilang tubuhmu masih butuh banyak energi."

Anna mendesah, merasa lelah menghadapi sikapnya. "Kenapa kamu selalu memaksakan kehendak? Kalau aku nggak mau, aku nggak mau."

Dirga menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, menatap Anna dengan tatapan sinis. "Karena aku tahu kamu nggak akan peduli sama kesehatanmu kalau aku nggak ada di sini untuk mengingatkan. Dan kalau kamu sakit lagi, aku yang harus repot. Jadi, makanlah."

Anna melemparkan bantal ke arahnya. "Kamu menyebalkan sekali!"

Dirga menghindar dengan mudah, lalu tersenyum kecil yang penuh ejekan. "Aku tahu. Sekarang ayo makan, sebelum aku menyeretmu ke ruang makan."

Anna tidak punya pilihan selain mengikuti, tetapi di dalam hatinya ia bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang Kirana---tanpa bantuan Dirga yang selalu menyebalkan ini.nAnna duduk di ruang makan, sendoknya bergerak malas di atas piring.

Dirga duduk di seberang Kinan di meja makan, sesekali melirik ke arah Kinan yang terlihat mencoba menghindari tatapannya. Kinan sedang berusaha memotong ayam di piringnya, tetapi entah kenapa tangannya sedikit gemetar.

"Kamu selalu setegang ini saat makan malam denganku, Kinan?" tanya Dirga tiba-tiba, suaranya datar tetapi dengan nada menggoda.

Anna menatapnya dengan bingung. "Tidak... aku hanya---"

"Kamu hanya apa?" potong Dirga, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Gugup karena aku terlalu dekat?"

Pipi Anna langsung memerah. Dia buru-buru memfokuskan pandangannya ke piring. "Aku tidak gugup."

Dirga tersenyum kecil, lalu mengambil gelas di depannya. "Benarkah? Karena wajahmu berkata sebaliknya."

Anna, yang masih bergulat dengan rasa asingnya di tubuh Kinan, merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Lelaki ini menyebalkan," pikirnya, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencuri pandang ke arahnya.

Ketika Dirga menyadari tatapannya, dia menaikkan satu alis, seolah menangkap basah Kinan sedang memperhatikannya. "Kalau kamu selesai memperhatikan aku, mungkin aku bisa bantu motong ayamnya," katanya dengan nada penuh sindiran.

Kinan langsung menunduk, dadanya terasa sesak antara malu dan kesal. Sementara itu, wajah Dirga tampak puas, dengan senyum kecil yang menghiasi bibirnya.

Dirga duduk di seberangnya, tampak sibuk memeriksa dokumen di laptopnya sambil sesekali menyeruput kopi. Keheningan itu begitu berat, hingga akhirnya Anna tidak bisa menahan dirinya lagi untuk mencari tahu tentang Kirana.

"Kirana adalah kakakku?" tamyanya pelan, mencoba memulai pembicaraan.

"Ya," jawab Dirga tanpa mengangkat kepalanya.

Nada acuh tak acuhnya membuat Anna geram. "Kenapa aku tidak ingat dia? Kenapa namanya seperti dihapus dari hidupku? Bahkan Papa dan Mbok Yem tidak pernah menyebutkan dia."

Dirga akhirnya menutup laptopnya dan menatap Anna. Tatapannya tajam, tapi tidak ada amarah di sana, hanya kelelahan. "Kamu tidak ingat karena kamu tidak mau ingat. Otakmu menghapus Kirana untuk melindungimu dari rasa sakit. Trauma itu terlalu berat untukmu."

Anna menatap Dirga dengan bingung. "Trauma apa? Apa yang sebenarnya terjadi pada Kirana?"

Dirga menghela napas panjang, matanya tampak sedikit redup. "Kirana meninggal tiga tahun lalu. Dia kecelakaan di dekat kampusmu. Kamu... kamu ada di sana ketika itu terjadi."

Anna terkejut. "Aku? Aku ada di sana?"

"Ya," jawab Dirga, suaranya melembut. "Dia sedang menyeberang jalan. Kamu melihat semuanya dari seberang jalan. Ketika dia tertabrak, kamu berlari ke arahnya. Kamu yang pertama memegang tangannya... dan kamu yang terakhir mendengar suaranya."

Anna merasakan kepalanya berdenyut, dan gambaran samar mulai muncul dalam pikirannya---seorang perempuan dengan senyum lembut, pandangan mata penuh cinta, dan suara terakhir yang lirih. "Dia bilang apa?" tanya Anna, suaranya hampir berbisik.

Dirga terlihat ragu, tetapi akhirnya ia menjawab. "Dia bilang, 'Jagalah Kinan. Jangan biarkan dia sendirian.' Itu kata-kata terakhirnya sebelum dia pergi."

Air mata Anna mengalir tanpa bisa ia tahan. Rasa kehilangan yang mendalam menghantamnya, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin apakah itu milik Kinanti atau dirinya sendiri.

---

Setelah percakapan itu, Anna mulai merasakan keanehan pada ingatannya. Potongan-potongan kecil mulai muncul, tetapi semuanya terasa asing. Ia mulai meragukan siapa dirinya sebenarnya. Dia teringat papan panjat dinding itu...

Samar-samar ada potongan-potongan penglihatan. Kirana menarik tangannya kencang, hampir membantingnya ke trotoar. Kinan menjerit melihat sebuah mobil menyambar tubuh Kirana di hadapannya.

Tubuhnya limbung, terhuyung. Ingatan yang muncul kemudian adalah rumah kos putri yang dilewatinya dalam ambulance. Rumah putih itu tampak cantik sekali, sementara tubuh Kirana terkulai di atas blankar menuju ruang gawat darurat rumah sakit.

Dudi. Anna melihat ada Dudi di sana, sedang berbincang dengan ayahnya yaitu dokter Hasan.

Di mana Dirga?

---

Anna duduk di tepi ranjang, tubuhnya terasa lemas setelah semua kenyataan yang ia ingat. Perasaan bersalah semakin mencekiknya, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Dirga yang membuat hatinya gelisah. "Dirga," katanya pelan, memecah keheningan. "Kenapa kamu selalu terlihat... merasa bersalah padaku? Apa ada sesuatu yang tidak aku ingat?"

Dirga terdiam, sorot matanya gelap. Ia menunduk, seolah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.

"Aku tahu Kirana meninggal karena menyelamatkanku," lanjut Anna, suaranya bergetar. "Tapi kenapa aku merasa... ini lebih buruk dari itu?"

Dirga menghela napas panjang, lalu berdiri dari tempatnya. Ia berjalan ke jendela, memandang keluar tanpa melihat apa pun. "Kamu tidak perlu tahu," katanya akhirnya, nadanya datar.

"Tapi aku harus tahu!" sergah Anna. "Aku sudah cukup lama hidup dalam kebingungan. Aku berhak tahu kenapa aku tidak bisa mengingat Kirana... kenapa aku merasa ada sesuatu yang sangat salah antara aku dan kamu."

Dirga akhirnya menoleh, wajahnya penuh beban. "Kamu benar. Ada sesuatu yang salah. Dan itu salahku."

Anna menunggu, jantungnya berdegup kencang.

Dirga menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku pernah mengatakan sesuatu yang kejam padamu, Kinan. Sesuatu yang tidak seharusnya aku ucapkan, bahkan Kirana menitipkanmu padaku..."

Anna terdiam, tetapi sorot matanya mendesaknya untuk melanjutkan.

"Kamu tahu aku mencintai Kirana," ujar Dirga pelan, suaranya nyaris berbisik. "Ketika dia meninggal, aku kehilangan segalanya. Rasa sakit itu begitu besar, dan aku tidak tahu harus melampiaskannya ke mana. Dan... aku melampiaskannya padamu."

Dirga menatap Anna, matanya penuh rasa bersalah. "Aku mengatakan hal yang mengerikan."

---

Di kepalanya, Anna kini melihat Dirga. Ada Dirga di sana, di depan papan panjat dinding itu! Saat itu Dirga lari menghambur ke arah tubuh Kirana yang sudah tak berdaya, memeriksa tanda-tanda vitalnya dan berteriak pada Kinan, "Panggil ambulan!"

Namun Kinan tetap diam, tubuhnya membeku hingga orang-rang berkerumun dan salah satunya memanggilkan ambulan. Tampak rona wajah Dirga sepucat kertas, hanya memegangi pergelangan tangan Kirana. Mereka masuk ambulan, melewati rumah putih itu, menuju unit gawat darurat rumah sakit.

Dudi, dokter Hasan, Dirga. Ada di sana. Mereka mengerubungi tubuh Kirana. Kinan hendak mendekatinya namun Dirga menghalangi jalannya, seolah tak mengijinkan mendekat.

Tak lama, tampak Dirga melangkah mundur hingga ke dinding. Kakinya tak mampu menahan tubuhnya, dia ambruk terduduk.

Papa datang sejurus kemudian, hanya melewati Kinan. Tangisnya pecah, memeluk tubuh Kirana.

Kinan masih berdiri di dekat pintu masuk, kakinya seperti dipaku di atas lantai rumah sakit. Matanya terkunci ke arah Papa, hatinya sakit. Papa tak pernah sehancur itu, bahkan saat Mama meninggal, pun saat Kinan berkali-kali masuk rumah sakit. Papa selalu tegar di samping Kirana. Namun kini, Kirana telah pergi...

Fokusnya Kinan membuatnya tak menyadari saat tiba-tiba Dirga berdiri di hadapannya, "Seharusnya kamu yang mati, bukan Kirana! Karena kamu yang lemah, kamu yang selalu sakit, sementara Kirana sehat dan kuat..."

---

"Jadi... kamu menyalahkanku," ujarnya, suaranya hampir tak terdengar.

"Tidak!" potong Dirga cepat, mendekat. "Aku tidak sungguh-sungguh. Aku hanya... aku hanya terlalu marah pada dunia, pada takdir, dan aku melampiaskannya padamu. Aku tidak pernah bermaksud..."

Dirga terdiam, suaranya pecah. "Tapi kata-kata itu menghancurkanmu, aku tahu. Aku melihat bagaimana kamu berubah setelah itu. Kamu berhenti berbicara tentang Kirana, berhenti menyebut namanya, bahkan berhenti melakukan hal-hal yang biasa kamu lakukan bersama dia. Aku tahu itu salahku. Dan aku akan menyesali kata-kata itu selama sisa hidupku."

Anna terdiam, air mata mengalir di pipinya. Sekarang semuanya masuk akal. Rasa bersalah yang menghantui Kinan, trauma yang membuat ingatannya tentang Kirana terhapus, semuanya berasal dari satu momen kejam itu, membuat Kinan harus rutin bertemu dengan dokter Yudi, psikiater.

Kamu tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan pada Kinan. Dia... dia menghancurkan dirinya sendiri karena kata-kata itu.

Dirga hanya bisa menunduk, tidak mampu menatap Kinan lagi. "Aku tahu. Dan aku mencoba memperbaikinya, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya."

Anna memandangnya lama, rasa sakit milik Kinan dan rasa kasihan pada Dirga bercampur di dadanya. Ia ingin marah, ingin berteriak pada Dirga, namun juga ingin memeluknya, melepaskannya dari rasa bersalah.

Kenapa aku merasakan sakit teramat sangat? Sakit ini milik Kinan, bukan milik Kirana, bukan milikku!

Potongan-potongan ingatan itu hadir kembali. Saat Dirga melingkarkan cincin di jari Kinan. Wajahnya tampak muram. Hari itu seharusnya hari saat ia melamar Kirana, bukan Kinanti!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun