Dirga duduk di seberang Kinan di meja makan, sesekali melirik ke arah Kinan yang terlihat mencoba menghindari tatapannya. Kinan sedang berusaha memotong ayam di piringnya, tetapi entah kenapa tangannya sedikit gemetar.
"Kamu selalu setegang ini saat makan malam denganku, Kinan?" tanya Dirga tiba-tiba, suaranya datar tetapi dengan nada menggoda.
Anna menatapnya dengan bingung. "Tidak... aku hanya---"
"Kamu hanya apa?" potong Dirga, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Gugup karena aku terlalu dekat?"
Pipi Anna langsung memerah. Dia buru-buru memfokuskan pandangannya ke piring. "Aku tidak gugup."
Dirga tersenyum kecil, lalu mengambil gelas di depannya. "Benarkah? Karena wajahmu berkata sebaliknya."
Anna, yang masih bergulat dengan rasa asingnya di tubuh Kinan, merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Lelaki ini menyebalkan," pikirnya, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencuri pandang ke arahnya.
Ketika Dirga menyadari tatapannya, dia menaikkan satu alis, seolah menangkap basah Kinan sedang memperhatikannya. "Kalau kamu selesai memperhatikan aku, mungkin aku bisa bantu motong ayamnya," katanya dengan nada penuh sindiran.
Kinan langsung menunduk, dadanya terasa sesak antara malu dan kesal. Sementara itu, wajah Dirga tampak puas, dengan senyum kecil yang menghiasi bibirnya.
Dirga duduk di seberangnya, tampak sibuk memeriksa dokumen di laptopnya sambil sesekali menyeruput kopi. Keheningan itu begitu berat, hingga akhirnya Anna tidak bisa menahan dirinya lagi untuk mencari tahu tentang Kirana.
"Kirana adalah kakakku?" tamyanya pelan, mencoba memulai pembicaraan.