Papa datang sejurus kemudian, hanya melewati Kinan. Tangisnya pecah, memeluk tubuh Kirana.
Kinan masih berdiri di dekat pintu masuk, kakinya seperti dipaku di atas lantai rumah sakit. Matanya terkunci ke arah Papa, hatinya sakit. Papa tak pernah sehancur itu, bahkan saat Mama meninggal, pun saat Kinan berkali-kali masuk rumah sakit. Papa selalu tegar di samping Kirana. Namun kini, Kirana telah pergi...
Fokusnya Kinan membuatnya tak menyadari saat tiba-tiba Dirga berdiri di hadapannya, "Seharusnya kamu yang mati, bukan Kirana! Karena kamu yang lemah, kamu yang selalu sakit, sementara Kirana sehat dan kuat..."
---
"Jadi... kamu menyalahkanku," ujarnya, suaranya hampir tak terdengar.
"Tidak!" potong Dirga cepat, mendekat. "Aku tidak sungguh-sungguh. Aku hanya... aku hanya terlalu marah pada dunia, pada takdir, dan aku melampiaskannya padamu. Aku tidak pernah bermaksud..."
Dirga terdiam, suaranya pecah. "Tapi kata-kata itu menghancurkanmu, aku tahu. Aku melihat bagaimana kamu berubah setelah itu. Kamu berhenti berbicara tentang Kirana, berhenti menyebut namanya, bahkan berhenti melakukan hal-hal yang biasa kamu lakukan bersama dia. Aku tahu itu salahku. Dan aku akan menyesali kata-kata itu selama sisa hidupku."
Anna terdiam, air mata mengalir di pipinya. Sekarang semuanya masuk akal. Rasa bersalah yang menghantui Kinan, trauma yang membuat ingatannya tentang Kirana terhapus, semuanya berasal dari satu momen kejam itu, membuat Kinan harus rutin bertemu dengan dokter Yudi, psikiater.
Kamu tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan pada Kinan. Dia... dia menghancurkan dirinya sendiri karena kata-kata itu.
Dirga hanya bisa menunduk, tidak mampu menatap Kinan lagi. "Aku tahu. Dan aku mencoba memperbaikinya, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya."
Anna memandangnya lama, rasa sakit milik Kinan dan rasa kasihan pada Dirga bercampur di dadanya. Ia ingin marah, ingin berteriak pada Dirga, namun juga ingin memeluknya, melepaskannya dari rasa bersalah.