Dirga akhirnya menoleh, wajahnya penuh beban. "Kamu benar. Ada sesuatu yang salah. Dan itu salahku."
Anna menunggu, jantungnya berdegup kencang.
Dirga menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku pernah mengatakan sesuatu yang kejam padamu, Kinan. Sesuatu yang tidak seharusnya aku ucapkan, bahkan Kirana menitipkanmu padaku..."
Anna terdiam, tetapi sorot matanya mendesaknya untuk melanjutkan.
"Kamu tahu aku mencintai Kirana," ujar Dirga pelan, suaranya nyaris berbisik. "Ketika dia meninggal, aku kehilangan segalanya. Rasa sakit itu begitu besar, dan aku tidak tahu harus melampiaskannya ke mana. Dan... aku melampiaskannya padamu."
Dirga menatap Anna, matanya penuh rasa bersalah. "Aku mengatakan hal yang mengerikan."
---
Di kepalanya, Anna kini melihat Dirga. Ada Dirga di sana, di depan papan panjat dinding itu! Saat itu Dirga lari menghambur ke arah tubuh Kirana yang sudah tak berdaya, memeriksa tanda-tanda vitalnya dan berteriak pada Kinan, "Panggil ambulan!"
Namun Kinan tetap diam, tubuhnya membeku hingga orang-rang berkerumun dan salah satunya memanggilkan ambulan. Tampak rona wajah Dirga sepucat kertas, hanya memegangi pergelangan tangan Kirana. Mereka masuk ambulan, melewati rumah putih itu, menuju unit gawat darurat rumah sakit.
Dudi, dokter Hasan, Dirga. Ada di sana. Mereka mengerubungi tubuh Kirana. Kinan hendak mendekatinya namun Dirga menghalangi jalannya, seolah tak mengijinkan mendekat.
Tak lama, tampak Dirga melangkah mundur hingga ke dinding. Kakinya tak mampu menahan tubuhnya, dia ambruk terduduk.