"Ya," jawab Dirga tanpa mengangkat kepalanya.
Nada acuh tak acuhnya membuat Anna geram. "Kenapa aku tidak ingat dia? Kenapa namanya seperti dihapus dari hidupku? Bahkan Papa dan Mbok Yem tidak pernah menyebutkan dia."
Dirga akhirnya menutup laptopnya dan menatap Anna. Tatapannya tajam, tapi tidak ada amarah di sana, hanya kelelahan. "Kamu tidak ingat karena kamu tidak mau ingat. Otakmu menghapus Kirana untuk melindungimu dari rasa sakit. Trauma itu terlalu berat untukmu."
Anna menatap Dirga dengan bingung. "Trauma apa? Apa yang sebenarnya terjadi pada Kirana?"
Dirga menghela napas panjang, matanya tampak sedikit redup. "Kirana meninggal tiga tahun lalu. Dia kecelakaan di dekat kampusmu. Kamu... kamu ada di sana ketika itu terjadi."
Anna terkejut. "Aku? Aku ada di sana?"
"Ya," jawab Dirga, suaranya melembut. "Dia sedang menyeberang jalan. Kamu melihat semuanya dari seberang jalan. Ketika dia tertabrak, kamu berlari ke arahnya. Kamu yang pertama memegang tangannya... dan kamu yang terakhir mendengar suaranya."
Anna merasakan kepalanya berdenyut, dan gambaran samar mulai muncul dalam pikirannya---seorang perempuan dengan senyum lembut, pandangan mata penuh cinta, dan suara terakhir yang lirih. "Dia bilang apa?" tanya Anna, suaranya hampir berbisik.
Dirga terlihat ragu, tetapi akhirnya ia menjawab. "Dia bilang, 'Jagalah Kinan. Jangan biarkan dia sendirian.' Itu kata-kata terakhirnya sebelum dia pergi."
Air mata Anna mengalir tanpa bisa ia tahan. Rasa kehilangan yang mendalam menghantamnya, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin apakah itu milik Kinanti atau dirinya sendiri.
---