" kamu pasti nggak mendengarkan dengan baik, atau pura-pura ( sedikit jengkel). Menjadikan beban mereka melemah dan titik harapan mereka dalam puncak adalah bahagiaku Ren. Itu artinya aku juga harus menomor sekiankan apa yang menjadi hakku. kita harus sama-sama beruntung, kamu sudah bisa menjadi bahagia atas hak kuasa atas dirimu. Dan aku harusnya juga bisa belajar bahagia dari kamu. Bahwa bahagia hanyalah kepuasan batin dari apa yang sudah kita sederhanakan dan ikhlaskan."
    " La, apa kamu akan susah aku temui?"
    " Bisa jadi."
    Makan siang kami berakhir pada hal yang terpendam, tertutup, dan mencoba jujur hanya pada pikiran masing-masing. Sebab, dalam ketakutan itulah sebetulnya aku maupun Reni sedang mencoba memberontak pada bahagia.
    Kami keluar, dan menyapa siang dengan melepas senyum kaku. Aku tahu Reni akan kuat menjadi wanita yang bebas dalam keterkurungannya situasi pribadinya. Pun, dia mengharapkan bahwa pernikahanku kelak adalah hal yang ringan, sebab menjadi berat bukan lagi "BAHAGIA".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H