"Udah ih makan aja dulu. Serius amat natapnya. Biasanya kamu makan banyak loh."
    "Ren serius aku mau nikah."
    Kami menjadi dingin, sedingin kota itu dalam siang yang cerah.
    "Kenapa?"
    Aku diam. Reni mulai mendatarnya bibir merahnya. Aku sadar bahwa aku meninggalkan isi obrolan serius kami satu tahun lalu.
    "Aku harus mengambil keputusan ini Ren."
    "Kenapa?" Dia semakin mendesak.
    "Ren, setelah aku pulang aku baru sadar kalau latar belakang pandangan kita tentang menikah dan bahagia itu beda. Beda, beda banget Ren."
    "Kamu tahu kan La, sepanjang ini kamu berproses untuk apa?"
     Aku meletakkan sendok. Menatap meja, namun suara memanah telinga Reni. " Aku sangat setuju dengan pendapatmu kalau hal yang paling dasar dari tujuan kita adalah bahagia. Aku paham jika kebahagiaan itu bisa menjadi asupan penting dalam langkah kita. Tapi Ren....,"
    "Tapi apa La? Maaf ni aku bingung harus kecewa atau senang. Aku hanya nggak mau apa yang aku alami dulu terjadi sama kamu."