"Tapi ren, setelah kita menapak di tempat berbeda, alasan menjadi bahagia kita pun berbeda."
***
Kami sama-sama memiliki ketakutan. Dia merasa takut, dalam proses pemulihan penyakit psikologinya tidak ada teman yang mendampinginya lagi. Sedang aku? Aku juga takut jika keputusan yang aku ambil adalah sebuah kesalahan.
    Reni dua tahun jauh lebih tua dari aku, beberapa terakhir dia didiagnosis depresi berat. Bagian tubuhnya yang lain juga sudah divonis sakit yang bisa menyebabkan tidak bisa memiliki buah hati jika ia kelak menikah. Bebannya menjadi berat saat titik terendahnya, orang yang sekian tahun ia gantungkan harap untuk menggantikan posisi ayahnya untuk mencintai seutuhnya justru berpaling. Aku paham, itu adalah pengalaman yang buruk. Menjadikan dia merasa tidak baik menerima hatinya untuk siapapun.
Dia bukannya tidak bahagia. Ayahnya adalah single parent, ia terbiasa tercukupi perhatian meskipun tidak seimbang. Maka dia selalu memandang hidup adalah bahagia. Di mana tolak ukur kehidupannya adalah bersama orang yang mencintai dia.
    Sejak saat itu pula dia memandang bahwa tujuan dalam meraih bahagia jalan satu-satunya bukan hanya menikah. Ia sangat menjaga nilai kebahagiakan dalam setiap keputusannya. Dia lebih menjaga arti cinta dan mencintai dari pada sekadar kata "status hubungan". Saat itu ia membuat gambar dalam mimpinya, jika kehidupan yang penuh cinta adalah ketika ia mampu menerima dan diterima secara sadar. Kamu tahu kan secara sadar? Itu berarti dalam setiap titik selisih pun pasangan akan kembali pada tujuan mereka. Maka dia bisa saja tidak menikah jika tidak ada yang menerima dia dengan segala pemikirannya. Tapi, dia santai karena memang dia sudah menyiapkan hidupnya untuk segala kondisi.
    " Ren, andai kan kata dokter benar kamu tidak bisa punya anak gimana?" Celetusku yang memang suasana saat itu lebih santai.
    "La, kenapa setiap menikah selalu dikaitkan dengan ekspektasi orang tentang punya anak. Seolah-olah menikah jika tidak beranak akan menjadi tabu dan hina dan menyampingkan esensi bahagia dalam menikah itu. Menikah adalah anugrah La, jadi untuk apa kita jadikan beban hanya karena kita tidak normal dimata orang. Aku tidak mengatakan aku tidak ingin punya anak La. Aku ingin seperti wanita lainnya. Itulah sebabnya saat ini aku lebih mengutamakan keselematan bahagiaku di atas segalanya."
    "Jadi itu yang memutuskan kamu untuk tidak menikah yang dibilang orang umurmu sudah ideal ini?"
    " Ya, aku akan menentukan idealku sendiri. Jadi aku akan menikah di usia tiga puluh tahun atau tidak sama sekali."
    " Berani sekali kamu nggak mau nikah. Eh, tapi Ren omong-omong ada benarnya juga sih kamu." Aku mulai itu berpikir.