"Aku akan menikah di usia tiga puluh tahun atau tidak sama sekali."
Kalimat itu yang terngiang saat udah dalam bus. Menuju tempat tinggal Reni. Mini bus kelas ekonomi membuat suasana riuh, pengap, berhimpitan, sama seperti perasaanku. Setelah satu tahun lalu aku meninggakan kota kelahiran Reni, kami memang jarang bertemu. Kami tinggal di kota yang berbeda, menjadikan aku harus menempuh jarak sedikit jauh agar bisa menemuinya.
    Pagi ini sudah terlalu mendesak untuk menemuinya. Tidak seperti biasa. Seperti seorang sahabat yang akan bertemu setelah berpisah sekiah lama, bahagia kan? Tapi, apakah pagi ini aku tidak bahagia? Ah tentu saja bahagia, bagaimana tidak bahagia bertemu sahabat yang parasnya murah senyum dan terlihat kocak saat berbicara, ya meskipun sedikit cerewet. Cemas, perasaan selama perjalanan di dalam bus lebih tepatnya aku merasa cemas yang berlebih. Seburu-buru apapun niatku, bus kelas ekonomi ini masih seperti siput sekalipun kata sopir melaju dengan cepat.
    Untuk menemui Reni, aku harus mengantre waktunya. Dia mengajar di salah satu taman bermain terbaik di kotanya. Kamu tahu kan apa istilah dari sekolah terbaik? Tentu mempunyai jam mengajar dan kegiatan yang ketat, di mana dia tidak bisa seenaknya keluar di jam yang tidak ditentukan. Proses perizinan kepada pihak sekolah yang begitu formal, belum lagi mengurus administrasi yang bisa aku bilang amat sangat detail. Tentunya hal detail itu membutuhkan waktu yang banyak.
    " Ren, aku udah di perjalanan nih, kita enaknya ketemu di mana ya? Apa aku nunggu di rumah makan deket sekolahmu aja kali ya?"  Isi pesanku.
    Reni membacanya, tapi dia kelabakan. 10.30 WIB baru saja selesai mengajar, sedangkan 10.15 WIB aku sudah sampai Jalan Merpati, tempat yang kurang dari sepuluh menit lagi aku sampai. Dan aku memahami tidak sempatnya membalas pesanku karena kerepotannya menjadi pengajar. Seusia anak taman bermain harus menjadi pendamping yang maksimal, menunggunya sampai dijemput setelah belajar, merapikan administrasi, laporan harian kondisi kelas, masih untung dia tidak dapat jatah meyapu kelas.
    Ah wajar saja kalau pun nanti Reni telat. Benar saja, sebelum pukul 10.30 WIB aku sudah turun dari bus. Pikiranku disertai ling-lung yang entah dengan alasan apa aku langsung masuk di rumah makan Serba Pedas dekat Reni bekerja. Masuk rumah makan sendiri? Oh, sudah biasa bagiku, dan memang aku terbiasa menyelesaikan hal sendiri.
    "Selamat pagi kak, silakan bisa memilih menu dan meja nomor berapa?"
    "Saya di nomor 16 atas ya mbak. Menunya nanti aja nungguin teman." Mengambil daftar menu dan menuju ruang terbuka lantai atas. Ya, tempat itu menjadi favorit kami tepatnya satu tahun lagu. Sekiranya setelah satu tahun lalu Reni yang menumpahkan segala bebannya denganku. Gini giirannya dia yang harus menjadi aku pada saat itu.
    Setengah jam sudah, Reni belum juga tiba. Kamu tahu kan seseorang yang sedang resah dan menunggu. Dadamu pasti seolah sedang menahan racun sampai tenggorokan, dahi berkerut dan pandangan tak fokus.
    "La, maaf aku telat banget ya, tadi tuh super repot banget. Anak-anak rewel, teman sekantorku juga malah banyak yang minta tolong. Aduh capek banget. Tahu sendiri kan aku naik motor juga nggak bisa cepet, tadi tu........," ah, iyain aja Ren, cerewetnya tiba-tiba mengiang sebelum dia duduk. Tapi aku lega.
    "Udah ngomongnya? Duduk gih pesen makan apa gitu, laper tau nungguin," aku menyela dan sedikit cemberut palsu.
    "Aduhh, iya iya. Mbak? (Ia melambaikan tangan dan pelayan menghampiri kami) Duh, maaf banget, repot banget ni." Dia masih sibuk dengan barang bawaannya dan membenahi dandanannya. Dia memang cantik, bahkan dia tidak bisa pergi tanpa seperangkat alat riasnya.
    "Udah deh, udah cantik, masih dipoles mulu. Iri aku tu nanti." Candaanku bermuka serius menatap Reni, batinku sambil bergejolak, aku akan mengatakan sesuatu, dan sudah menebak reaksinya setelah aku bercerita nanti.
    "Iya dong biar makin cantik, cantik gini aja aku masih sendiri. Kalau kamu sih wajar ya, kan emang nggak peduli sama gituan heheh. Oh iya bulan depan gimana? Jadi daftar kerja bareng nggak? Aku sudah nggak betah banget ni di tempat kerjaku sekarang, aduh..... (Reni mulai seperti kereta saat bicara, panjang dan susah putusnya di mana), kan lumayan tuhkalau kita bisa satu tim."
    "Ren aku mau narik omongan kita tahun kemarin deh."
    "Maksud kamu apa sih?"
    "Iya omongan kita waktu itu, setelah kamu curhat sama aku tentang masalahmu, sakitmu, terus kita ngomong di sini?"
    "Hah, apain sih, aku nggak ngerti deh." Ingatan dia buruk, tapi aku hargai ekspresi dia yang mencoba menemukan jawaban mana yang tepat dari maksudku.
    "Ren, tahun ini aku mau nikah. Maaf."
    "Nikah sama siapa kamu tuh, uh bercanda aja deh. Jauh-jauh nemuin aku Cuma mau candain aku kaya gini." Seketika dia berubah dan mengiraku bercanda. Dia lanjut bersolek dan sesekali melirikku.
    Pelayan datang dan membawa pesanan kami.
    "Udah ih makan aja dulu. Serius amat natapnya. Biasanya kamu makan banyak loh."
    "Ren serius aku mau nikah."
    Kami menjadi dingin, sedingin kota itu dalam siang yang cerah.
    "Kenapa?"
    Aku diam. Reni mulai mendatarnya bibir merahnya. Aku sadar bahwa aku meninggalkan isi obrolan serius kami satu tahun lalu.
    "Aku harus mengambil keputusan ini Ren."
    "Kenapa?" Dia semakin mendesak.
    "Ren, setelah aku pulang aku baru sadar kalau latar belakang pandangan kita tentang menikah dan bahagia itu beda. Beda, beda banget Ren."
    "Kamu tahu kan La, sepanjang ini kamu berproses untuk apa?"
     Aku meletakkan sendok. Menatap meja, namun suara memanah telinga Reni. " Aku sangat setuju dengan pendapatmu kalau hal yang paling dasar dari tujuan kita adalah bahagia. Aku paham jika kebahagiaan itu bisa menjadi asupan penting dalam langkah kita. Tapi Ren....,"
    "Tapi apa La? Maaf ni aku bingung harus kecewa atau senang. Aku hanya nggak mau apa yang aku alami dulu terjadi sama kamu."
    "Tapi ren, setelah kita menapak di tempat berbeda, alasan menjadi bahagia kita pun berbeda."
***
Kami sama-sama memiliki ketakutan. Dia merasa takut, dalam proses pemulihan penyakit psikologinya tidak ada teman yang mendampinginya lagi. Sedang aku? Aku juga takut jika keputusan yang aku ambil adalah sebuah kesalahan.
    Reni dua tahun jauh lebih tua dari aku, beberapa terakhir dia didiagnosis depresi berat. Bagian tubuhnya yang lain juga sudah divonis sakit yang bisa menyebabkan tidak bisa memiliki buah hati jika ia kelak menikah. Bebannya menjadi berat saat titik terendahnya, orang yang sekian tahun ia gantungkan harap untuk menggantikan posisi ayahnya untuk mencintai seutuhnya justru berpaling. Aku paham, itu adalah pengalaman yang buruk. Menjadikan dia merasa tidak baik menerima hatinya untuk siapapun.
Dia bukannya tidak bahagia. Ayahnya adalah single parent, ia terbiasa tercukupi perhatian meskipun tidak seimbang. Maka dia selalu memandang hidup adalah bahagia. Di mana tolak ukur kehidupannya adalah bersama orang yang mencintai dia.
    Sejak saat itu pula dia memandang bahwa tujuan dalam meraih bahagia jalan satu-satunya bukan hanya menikah. Ia sangat menjaga nilai kebahagiakan dalam setiap keputusannya. Dia lebih menjaga arti cinta dan mencintai dari pada sekadar kata "status hubungan". Saat itu ia membuat gambar dalam mimpinya, jika kehidupan yang penuh cinta adalah ketika ia mampu menerima dan diterima secara sadar. Kamu tahu kan secara sadar? Itu berarti dalam setiap titik selisih pun pasangan akan kembali pada tujuan mereka. Maka dia bisa saja tidak menikah jika tidak ada yang menerima dia dengan segala pemikirannya. Tapi, dia santai karena memang dia sudah menyiapkan hidupnya untuk segala kondisi.
    " Ren, andai kan kata dokter benar kamu tidak bisa punya anak gimana?" Celetusku yang memang suasana saat itu lebih santai.
    "La, kenapa setiap menikah selalu dikaitkan dengan ekspektasi orang tentang punya anak. Seolah-olah menikah jika tidak beranak akan menjadi tabu dan hina dan menyampingkan esensi bahagia dalam menikah itu. Menikah adalah anugrah La, jadi untuk apa kita jadikan beban hanya karena kita tidak normal dimata orang. Aku tidak mengatakan aku tidak ingin punya anak La. Aku ingin seperti wanita lainnya. Itulah sebabnya saat ini aku lebih mengutamakan keselematan bahagiaku di atas segalanya."
    "Jadi itu yang memutuskan kamu untuk tidak menikah yang dibilang orang umurmu sudah ideal ini?"
    " Ya, aku akan menentukan idealku sendiri. Jadi aku akan menikah di usia tiga puluh tahun atau tidak sama sekali."
    " Berani sekali kamu nggak mau nikah. Eh, tapi Ren omong-omong ada benarnya juga sih kamu." Aku mulai itu berpikir.
    " Hmmm jadi kamu setuju kan sama keputusan aku ini ahahhah." Kami tertawa lepas.
***
    Reni melanjutkan makannya, ia sambil menggerutu dalam hati. Dan entah apa yang ia masih pendam.
    " Aku amat sangat setuju dengan perkataanmu dulu. Esensi dalam kehidupan kita adalah bahagia. Aku amat sangat paham mengapa kamu begitu memandang prioritas soal bahagia ini. Aku sudah mendengarkanmu Ren. Bahkan saat aku berkeputusan ini, aku sedang merenungkan perkataanmu. Berkat bahagia aku bisa menjalankan kewajiban maupun kehidupanku secara seporsinya. Dan aku nyaman."
    Reni minum, dan setengah dalam gelasnya tertenggak, dan aku masih melanjutkan penjelasannya.
    " Ren, kamu mengejar bahagiamu sendiri karena kamu terbiasa ditinggakan sendiri sejak awal. Sedangkan aku, aku harus bahagia diantara harapan banyak orang."
    " Apa kamu juga akan meninggalkanku setelah menikah nanti? Apa aku juga akan kamu lupakan seperti Gun saat itu? "
    " Sebentar Ren, setahun ini aku sudah memutuskan pulang. Aku kacau Ren, aku harus menata ulang alurku. Sejak saat itu aku merenung. Setelah kepergian saudaraku, bahagiaku bukan lagi menjadi bahagiku sendiri lagi Ren. Ada bahagia kakak ipar yang harus aku tanggung, ada bahagia orang tua yang harus aku penuhi. Tentunya juga ada bahagiaku yang harus aku selesaikan."
    " Apa kamu akan menghilang?" Cecarnya.
    " Maaf aku merubah cara pandang kita setahun lalu. Bahagiaku adalah ketika beban orang yang mencintaiku bisa kuringankan."
    " Apa menikah bisa membuat mereka ringan? Lalu bagaimana dengan kalian setelahnya?"
    " kamu pasti nggak mendengarkan dengan baik, atau pura-pura ( sedikit jengkel). Menjadikan beban mereka melemah dan titik harapan mereka dalam puncak adalah bahagiaku Ren. Itu artinya aku juga harus menomor sekiankan apa yang menjadi hakku. kita harus sama-sama beruntung, kamu sudah bisa menjadi bahagia atas hak kuasa atas dirimu. Dan aku harusnya juga bisa belajar bahagia dari kamu. Bahwa bahagia hanyalah kepuasan batin dari apa yang sudah kita sederhanakan dan ikhlaskan."
    " La, apa kamu akan susah aku temui?"
    " Bisa jadi."
    Makan siang kami berakhir pada hal yang terpendam, tertutup, dan mencoba jujur hanya pada pikiran masing-masing. Sebab, dalam ketakutan itulah sebetulnya aku maupun Reni sedang mencoba memberontak pada bahagia.
    Kami keluar, dan menyapa siang dengan melepas senyum kaku. Aku tahu Reni akan kuat menjadi wanita yang bebas dalam keterkurungannya situasi pribadinya. Pun, dia mengharapkan bahwa pernikahanku kelak adalah hal yang ringan, sebab menjadi berat bukan lagi "BAHAGIA".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H