" Hmmm jadi kamu setuju kan sama keputusan aku ini ahahhah." Kami tertawa lepas.
***
    Reni melanjutkan makannya, ia sambil menggerutu dalam hati. Dan entah apa yang ia masih pendam.
    " Aku amat sangat setuju dengan perkataanmu dulu. Esensi dalam kehidupan kita adalah bahagia. Aku amat sangat paham mengapa kamu begitu memandang prioritas soal bahagia ini. Aku sudah mendengarkanmu Ren. Bahkan saat aku berkeputusan ini, aku sedang merenungkan perkataanmu. Berkat bahagia aku bisa menjalankan kewajiban maupun kehidupanku secara seporsinya. Dan aku nyaman."
    Reni minum, dan setengah dalam gelasnya tertenggak, dan aku masih melanjutkan penjelasannya.
    " Ren, kamu mengejar bahagiamu sendiri karena kamu terbiasa ditinggakan sendiri sejak awal. Sedangkan aku, aku harus bahagia diantara harapan banyak orang."
    " Apa kamu juga akan meninggalkanku setelah menikah nanti? Apa aku juga akan kamu lupakan seperti Gun saat itu? "
    " Sebentar Ren, setahun ini aku sudah memutuskan pulang. Aku kacau Ren, aku harus menata ulang alurku. Sejak saat itu aku merenung. Setelah kepergian saudaraku, bahagiaku bukan lagi menjadi bahagiku sendiri lagi Ren. Ada bahagia kakak ipar yang harus aku tanggung, ada bahagia orang tua yang harus aku penuhi. Tentunya juga ada bahagiaku yang harus aku selesaikan."
    " Apa kamu akan menghilang?" Cecarnya.
    " Maaf aku merubah cara pandang kita setahun lalu. Bahagiaku adalah ketika beban orang yang mencintaiku bisa kuringankan."
    " Apa menikah bisa membuat mereka ringan? Lalu bagaimana dengan kalian setelahnya?"