Haruna Soemitro, Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, belakangan ini menjadi bahan pembicaraan dikalangan pecinta sepak bola Indonesia. Komentarnya dalam sebuah Interview di salah satu Kanal Youtube, dianggap telah membuat “gaduh” sepak bola dan Timnas Indonesia oleh banyak kalangan.
Tagar "Haruna Out" juga mencuat di Sosial Media, dari Twitter hingga Instagram. Respon “Counter Attack” terhadap komentar Haruna dari beberapa Tokoh Suporter, Pemerhati Sepak bola, Pandit, dan bahkan hingga Petinggi salah satu klub Liga 1 Indonesia, meluncur bertubi-tubi bak “anak panah” yang menghujam.
Sebagai Anggota Exco, yang punya peran penting dalam kebijakan-kebijakan PSSI, komentar-komentar Haruna di dalam tayangan tersebut dianggap kontroversial, bahkan tidak sedikit yang menganggap sosok lama dalam jagad sepak bola Indonesia ini bersikap “kontra-revolusioner”.
Setidaknya ada tiga hal yang dianggap kontroversial sekaligus kontra-revolusioner dari komentar-komentar Haruna Soemitro. Yang pertama adalah ketika Haruna menyebutkan bahwa Shin Tae-Yong adalah seorang yang anti-kritik, karena dalam salah satu rapat PSSI dengan Staf Kepelatihan Timnas, Tae-Yong dinilai tersinggung dengan kritikan-kritikan Haruna.
Haruna mengkritik kinerja Tae-Yong yang ia nilai sama saja dengan Pelatih Kepala Timnas di era-era sebelumnya. Menurut Haruna, kegagalan Shin Tae-Yong dalam membawa Timnas Indonesia meraih Trofi Juara AFF Suzuki Cup 2020, dianggap kurang sepadan dengan segala fasilitas dan permintaan yang sudah diminta oleh Pelatih asal Korea Selatan itu.
Apalagi ketika di awal perjanjian kontraknya dengan PSSI, eks Juru Latih Seongnam Ilhwa ini sanggup menerima "tantangan" PSSI, yaitu setidaknya mampu meraih dua gelar kampiun untuk Timnas Indonesia.
Masih menurut Haruna, Timnas Indonesia sudah terlalu lama menunggu gelar juara di berbagai ajang kompetisi, terutama kompetisi sepak bola di regional ASEAN.
Sejak gelaran pertama AFF Cup dari 1996 hingga yang terakhir kemarin, Timnas hanya mampu paling pol meraih hasil Runner-up, yang bahkan sudah sebanyak 6 kali.
Dalam ajang Pesta Olah Raga Negara-negara Asia Tenggara (SEA Games) pun, Kontingen Sepak bola Indonesia juga belum pernah merebut emas kembali sejak SEA Games 1991 di Manila.
Bagi Haruna, ia secara pribadi lebih mementingkan hasil daripada sekedar proses. Bahwa tujuan akhir dalam Pertandingan Sepak bola adalah kemenangan, begitupun juga dengan tujuan akhir dari sebuah kompetisi. Apalagi dengan terlalu lamanya Timnas puasa gelar, setidaknya menjadikan gambaran bagi Haruna, bahwa pada akhirnya yang menentukan kesuksesan dari sebuah proses adalah hasil itu sendiri.
Komentar ke dua Haruna, yang juga dianggap tak kalah kontroversial adalah soal skandal pengaturan skor (Match Fixing). Haruna berpendapat, bahwa Match Fixing tidak perlu dijadikan perhatian berlebih dalam membangun Sepak bola Indonesia, dan tak perlu untuk kemudian diberantas.
Karena menurut Haruna, para pelaku Match Fixing ini bukan dari Football Familly. Bahkan ia menyarankan kepada PSSI untuk tidak terbawa arus pemberantasan Match Fixing.
Dan masih menurut Haruna, seharusnya PSSI melihat Match Fixing secara lebih proporsional, bahwa apakah benar ada Match Fixing, dan baru kemudian mencari solusi untuk mengatasinya.
Meskipun di sisi lain, dari komentar-komentarnya, Haruna tampak tahu bahwa Sepak bola Indonesia juga punya pasar yang cukup besar dalam dunia perjudian.
Komentar kontroversial Haruna yang terakhir adalah soal naturalisasi pemain. Termasuk dalam hal ini, Haruna juga mengkritik Program Naturalisasi di era Kepelatihan Shin Tae-Yong.
Bagi Haruna, Program Naturalisasi pemain sejak era Cristian Gonzales belum berdampak pada prestasi Timnas. Haruna mengatakan, ia termasuk rezim yang tidak setuju dengan naturalisasi pemain, baginya naturalisasi pemain harus apple to apple dengan pemain lokal.
Haruna bahkan mempertanyakan kualitas salah satu Pemain Keturunan yang ada dalam Proyek Naturalisasi Shin Tae-Yong, yaitu Sandy Walsh. Ia mempertanyakan urgensi dari proses naturalisasi Sandy Walsh, karena Sandy dianggap punya posisi yang sama dengan Asnawi Mangkualam yaitu Bek Kanan.
Haruna pun tak segan membandingkan kualitas Sandy dengan para pemain lokal seperti Asnawi. Sandy Walsh sendiri adalah pemain berdarah Indonesia yang sedang berkarir di kasta teratas Liga Belgia (Jupiler Pro League), yaitu K.V. Mechelen.
Masih menurut Haruna, ia mengharapkan untuk jangan sampai kedatangan pemain naturalisasi, justru menghilangkan kesempatan bagi anak bangsa sendiri untuk menunjukkan kualitasnya.
Ia lebih mendukung jika yang dinaturalisasi adalah pemain yang berposisi sebagai Penyerang, tentunya dengan kualitas yang mumpuni dan di atas rata-rata pemain lokal.
Haruna juga tak segan menyebut Sandy Walsh adalah pemain dari klub antah brantah, bahkan ia juga membandingkan para pemain naturalisasi dalam proyek Shin Tae-Yong ini dengan para pemain muda dari Brazil yang ada di Madura United.
Disini, saya tidak sedang mengajak anda untuk membahas seluk beluk aktivitas Haruna Soemitro dalam Sepak bola Indonesia. Karena sudah banyak tulisan-tulisan menarik lainnya, yang membahas profil dan sepak terjang Direktur Madura United ini di kancah Persepakbolaan Tanah air.
Saya juga tidak sedang “me-roasting” Haruna Soemitro, karena bagaimanapun beliau punya banyak pengalaman dan kompetensi dalam mengurus sepak bola di Indonesia, itu dibuktikan dengan posisinya sekarang sebagai Exco di PSSI.
Karena bagaimanapun, di negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi ini, semua orang berhak untuk mengemukakan pendapatnya. Dan sejatinya memang tak masalah jika Haruna Soemitro kemudian mengemukakan pendapatnya. Toh tidak sepenuhnya pendapat-pendapat Haruna tersebut bisa dinilai sebagai sebuah kesalahan.
Yang juga harus diingat sampai anda selesai membaca tulisan ini, bahwa tak ada kebencian dari saya secara pribadi kepada Haruna Soemitro. Juga bukan berarti saya sedang menkultuskan Shin Tae-Yong sebagai indivdu.
Disini saya hanya akan meramaikan serta “ikut-ikutan” memberi respon sekaligus memberikan perspektif lain, terhadap komentar-komentar Haruna yang dianggap kontroversial itu.
Proses yang Berprogres
Sebagai pemerhati Sepak bola kelas “plankton”, Saya mencoba memahami kenapa label “Kontra-revolusioner” pantas disematkan kepada Haruna terkait komentar-komentar Kontroversialnya.
Memang betul bahwa tujuan akhir pertandingan adalah kemenangan, begitupun dengan tujuan akhir daripada kompetisi. Tepat, jika Haruna menyebut bahwa pada akhirnya yang menentukan kesuksesan dari sebuah proses adalah hasil.
Jika konteks di dalam komentar Haruna tersebut bukan untuk sepak bola Indonesia, khususnya Timnas, mungkin rasanya tidak akan menjadi kontroversial. Namun yang sedang Haruna bicarakan adalah Timnas Indonesia.
Timnas yang punya penggemar militan dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan Awam Sepak bola sekalipun. Dari Bakul Rujak hingga Bakul Saham yang beberapa mungkin tak tahu nama Franz Beckenbauer ataupun Johan Cruyff, tapi akan tetap ikut-ikutan “misuh” ketika Timnas kebobolan dalam sebuah pertandingan.
Tetunya, sebagai penggemar sepak bola, kita sama-sama tahu bahwa yang menentukan sebuah hasil adalah proses yang berprogres. Artinya, jika kita bicara capaian sebuah Tim Sepak bola, tidak ada satupun tim yang mencapai hasil maksimal tanpa proses yang disertai progress yang baik. Bahkan, sebuah Tim yang berlabel Underdog pun, tetap harus melalui berbagai macam proses dalam perjalanannya.
Jika bicara proses, tak usah harus ke Tim Sepak bola, ketika anda ingin makan Mie Instan saja pun juga butuh proses untuk memasaknya. Kecuali anda ingin “menggado-nya” mentah-mentah. Bahkan untuk “menggado” Mie Instan pun anda juga perlu proses untuk membuka bungkusnya, membuka bumbunya, meremas Mie-nya, dan seterusnya.
Dan sejak kapan pula Restoran Cepat Saji akan langsung menyajikan makanan yang bahkan baru anda pikirkan, tanpa anda harus memesannya terlebih dahulu?
Master Tarno yang Master of Traditional Magician saja, harus terlebih dahulu membeli alat sulap sebelum mantra aksi sulapnya ia ucapkan, “Sanghyangrawitbetarawenang.. megabetaraaa..megabetaraaa..lawa..”, dan kemudian beraksi dengan “prok-prok jadi apa..” yang legendaris itu.
Proses untuk mencapai sebuah hasil yang maksimal serta memuaskan memang tidak bisa dilalui hanya dalam waktu singkat, namun jika proses yang dilalui sudah terlampau lama namun tak kunjung membuahkan hasil yang maksimal, bukankah bisa jadi ada kesalahan atau ketidaktepatan dalam proses tersebut? Apakah proses tersebut memiliki progres yang meningkat, atau menurun, atau bahkan sama sekali tak ada?
Mungkin disini Haruna Soemitro agak sedikit jet lag, ketika menyampaikan pendapatnya tentang proses perjalanan Timnas Indonesia dari era ke era.
Sehingga beliau mungkin agak sedikit terguncang juga, dan lupa akan proses-proses yang dilalui Timnas Indonesia, yang pada akhirnya tetap minim gelar dan prestasi seperti sekarang.
Jika Haruna lebih objektif dalam melihat ke belakang, apakah ada proses-proses yang dilalui oleh Timnas Indonesia yang progresif dan berkesinambungan?
Jika bicara raihan gelar juara terakhir Timnas di kompetisi ternama ASEAN. Indonesia terakhir kali menyabet gelar juara di ompetisi ternama regional ASEAN, yaitu ketika berhasil meraih medali Emas dari Cabang Sepak Bola SEA Games 1991 di era Kepelatihan Anatoly Polosin.
Kala itu Ferryl Raymond Hattu dan kawan-kawan, berhasil menyingkirkan Thailand lewat babak adu penalti dengan skor 4-3 di laga final. Itulah kala terakhir Timnas Juara di kompetisi ternama regional ASEAN, kurang lebih dua tahun sebelum tahun kelahiran saya.
Sudah barang tentu, jika kita mau objektif, "mandeg-nya" prestasi Timnas dalam kurun waktu 3 dasawarsa terakhir ini disebabkan oleh banyak faktor.
Kembali, jika kita bicara proses, maka pergantian Kursi Kepelatihan di Timnas adalah salah satu faktornya. Karena dari Kursi Kepelatihan Timnas inilah yang akan menentukan proses berkembangnya sebuah Tim, dari yang Underdog bisa sampai ke posisi yang diunggulkan, atau sebaliknya.
Padahal, jika kita mau melihat ke belakang lagi, apakah ada Kursi Kepelatihan Timnas Indonesia yang bisa dipertahankan oleh Pelatih dengan jangka waktu yang lama?
Dari daftar para eks Pelatih Timnas Indonesia sejak era Anatoly Polosin, hanya ada 2 Pelatih yang memiliki durasi kontrak lumayan panjang dengan PSSI yaitu 3 tahun, diantaranya adalah Peter Withe (2004-2007) dan Shin Tae-Yong (2020-2023). Sedangkan rata-rata Pelatih Timnas Indonesia setelah era Polosin hanya memiliki kontrak dengan durasi hanya 1 tahun.
Karena durasi kontrak seorang Pelatih Sepak bola, sangat berpengaruh dalam program-program yang akan dibuat dan diterapkan kepada Tim yang sedang dilatih.
Sudah barang tentu, ketika Pelatih mampu menyiapkan dan menerapkan program-programnya ke Tim yang ia latih, juga tidak bisa dijadikan jaminan bahwa Tim tersebut otomatis bakal langsung juara. Butuh progres yang baik dan berkesinambungan untuk mencapai gelar juara yang dimau itu.
Kini, di era “Ssaem” Shin Tae-Yong, yang baru saja dikritik oleh Haruna Soemitro, dengan durasi Kontraknya sejak 2020 hingga 2023, apakah Tae-Yong akan mampu membuktikan hasil terbaik dari proses-proses yang sedang ia terapkan ke Timnas?
Apalagi “Ssaem” Shin diminta untuk menangani tiga Tim sekaligus, yaitu Timnas U-19, Timnas U-23, dan Timnas Senior. Belum lagi Tae-Yong juga dihadapkan dengan berbagai macam halangan serta keterbatasan.
Dari soal minimnya kualitas fisik dan mental pemain, pola hidup para pemain yang kurang baik, teknik dasar permainan yang dinilai masih belum baik, kompetisi yang sempat "mandeg" karena efek Pandemi, dan masih banyak yang lainnya.
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika kita menyebut apa yang sedang dilakukan Tae-Yong di Timnas Indonesia adalah Revolusi. Karena memang perombakan yang dilakukan Tae-Yong di Timnas Indonesia terbilang menyeluruh.
Dari segi usia, Skuad Timnas Senior rata-rata didominasi oleh para pemain muda, dengan rata-rata usia keseluruhan pemain adalah 23,8 tahun, setidaknya itu yang terlihat di Gelaran AFF Cup 2020 kemarin.
Dari segi fisik dan mental, Tae-Yong menerapkan kedisiplinan tinggi terhadap tiap individu pemain, baik di saat latihan maupun bertanding. Ketika para pemain ini ditempa fisik dan mentalnya saat latihan, banyak diantaranya yang merasa kaget terhadap pola latihan yang diberikan Tae-Yong.
Bahkan tanpa harus malu, di beberapa momen, Tae-Yong menyebutkan bahwa pada awalnya mayoritas pemainnya di Timnas merasa asing dengan latihan angkat beban (weight training).
Belum lagi jika bicara teknik dan filosofi bermain, Tae-Yong sempat mengkritisi dan merubah teknik dasar para pemainnya, seperti passing dan kontrol bola. Alasan memasang lebih banyak pemain muda di skuadnya pun juga bukan tanpa dasar.
Tae-Yong ingin membuat dan membangun Rantai Filosofi Sepak bola yang baru untuk Timnas Generasi sekarang dan selanjutnya. Itu bisa diartikan juga bahwa Tae-Yong ingin memututs Rantai Filosofi Sepak bola yang lama di Tubuh timnas, dengan cara membawa lebih sedikit pemain senior. Dan hasilnya bisa kita lihat setidaknya dari penampilan Timnas Senior di Gelaran AFF Suzuki Cup 2020.
Meskipun skala kecil, tapi yang dilakukan Tae-Yong adalah sebuah Revolusi, Revolusi Timnas Indonesia. Dan ketika orang sekaliber Haruna Soemitro, yang adalah salah satu dari 12 Anggota Exco PSSI, kemudian seolah tidak mengaggap berbagai proses yang sudah dan sedang dilakukan Tae-Yong, serta lebih menekankan pada hasil yang diraih. Bukankah tidak berlebihan jika sikap semacam itu bisa dianggap sebagai sikap yang kontra-revolusioner?
Dan Haruna Soemitro, yang bertahun-tahun bergelut di dunia Kepengurusan sepak bola, seharusnya mampu dan sadar dalam “menangkap” hal-hal tersebut. Mungkin tidak hanya Haruna seorang diri, tetapi semua Stakeholder dan Publik Sepak bola di Indonesia.
Seyogyanya semua bisa lebih arif dan objektif dalam melihat, memutuskan, serta mendukung perkembangan sepak bola Indonesia. Yang lagi-lagi sedang berproses dan mengharap progres yang lebih baik.
Untuk Match Fixing, saya merasa bahwa secara pribadi tidak punya kapasitas dan pengetahuan yang lebih untuk membahas hal ini. Karena bagi saya, Match Fixing ini seperti nafas orang yang sehabis makan Sambal Petai, “tak terlihat wujudnya, namun terasa menusuk baunya ke sela-sela hidung kita”.
Sebenarnya saya punya perumpamaan lain yang lebih dahsyat dan legendaris, namun seyogyanya janganlah kita terlalu “saru” dalam ucapan dan tulisan. Norma kesopanan harus tetap di kedepankan, dan saya rasa Pak Haruna dan Shin Tae-Yong akan sama-sama setuju soal ini.
(Baca Juga: "Duri dalam Daging" dan "Kambing Hitam" Timnas Indonesia)
Sedangkan perihal Naturalisasi pemain, tidak sepenuhnya bahwa pendapat Haruna adalah tidak tepat. Saya pribadi setuju dengan pendapat Haruna soal Proyek Naturalisasi pemain yang harus apple to apple dengan Pemain Lokal.
Karena seperti kata Tae-Yong, bahwa Proyek Naturalisasi ini bukanlah proyek jangka panjang. Proyek ini adalah permintaan khusus dari Shin Tae-Yong ke PSSI, sebagai salah satu opsi untuk mewujudkan target yang diberikan dari PSSI kepada Tae-Yong sendiri, yaitu Juara AFF Suzuki Cup 2020 dan SEA Games 2021.
Toh menurut Tae-Yong, sejatinya Proyek Naturalisasi yang ia minta bukanlah murni menaturalisasi Pemain Asing menjadi WNI, melainkan Tae-Yong tetap mengedepankan dan mempertimbangkan “Darah Indonesia” yang mengalir dalam tubuh para calon Pemain Naturalisasi Ini.
Soal posisi mana yang akan Tae-Yong isi dengan Pemain hasil Naturalisasi, untuk saya pribadi, itu adalah hak prerogratif Tae-Yong sebagai Pelatih Kepala.
Karena soal posisi pemain adalah bagian dari strategi yang juga menjadi domain dari Staf Pelatih. Sebagai pecinta dan penikmat Timnas Indonesia, saya hanya bisa berharap yang terbaik dari Proyek Naturalisasi ini.
Dari Der Kaiser untuk Sepak Bola Indonesia
Panjang lebar membahas soal Haruna dan Shin Tae-Yong. Jika kita membahas soal pengembangan sepak bola Indonesia lewat pemaian muda, khususnya untuk Timnas, tentunya kita tidak boleh lupa dengan Seorang Legenda hidup dari Tanah Bavaria. The One and Only, Franz Anton Beckenbauer.
Dan kenapa tiba-tiba saya ajak anda bahas Beckenbauer? Karena ternyata Der Kaiser, pernah memberikan saran yang berupa rekomendasi untuk PSSI dalam rangka perbaikan dan pengembangan kualitas sepak bola Indonesia.
Mengutip Biografi Azwar Anas (Ketua Umum PSSI 1991-1999) ''Teladan dari Ranah Minang'', Proyek Primavera memakan dana sekitar Rp8 miliar, bersama Proyek Primavera ada juga Proyek Baretti serta Pendidikan Calon Pelatih ke Eropa. Bersama 22 pemain dari kelompok umur 17-21, tiga pelatih juga diberangkatkan.
Proyek tersebut dicetuskan bedasarkan rangkuman rekomendasi Franz Beckenbaur, Legenda Timnas Jerman dan Bayern Munchen, yang diundang Azwar Anas ke Indonesia.
"Sesuai rekomendasi Beckenbauer, beberapa langkah diambil PSSI untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia, pertama mendatangkan instuktur untuk para pelatih, pelatihan wasit-wasit, mendidik calon timnas di Eropa, serta membentuk kesebelasan Primavera dan Baretti (kelompok umur 15-17 tahun) mereka dilatih di (akademi) klub Sampdoria," ungkap Abrar Yusra, penulis biografi Azwar Anas, mengutip Historia.id.
Jika kita mundur jauh ke belakang, tentang Proyek PSSI Primavera dan PSSI Baretti, pertama dimulai adalah pada tahun 1993. PSSI Primavera sendiri adalah program pengembangan pemain muda, hasil kerjasama antara PSSI dengan salah satu klub Serie A dari Genoa yang saat itu punya nama besar, yaitu Sampdoria. Proyek ini juga didanai oleh Pengusaha Indonesia yang sekaligus Pecinta Sepak bola, yaitu Nirwan Dermawan Bakrie.
Dalam Proyek PSSI Primavera, PSSI mengirimkan sebanyak 27 pemain muda dalam 2 gelombang, yang kemudian disebut PSSI Primavera I (1993/1994) dan PSSI Primavera II (1994/1995). Para pemain muda ini di kirim ke markas Il Samp di Genoa, untuk kemudian dimasukkan kedalam Skuad Sampdoria U-19, yang akan diikutkan dalam Kompetisi Primavera (Campionato Nazionale Primavera) musim 1993/1994 dan 1994/1995.
(Baca Juga: Pemain Abroad: Kisah Petualangan Para Agen Perubahan Sepak Bola Indonesia)
Sedangkan Proyek PSSI Baretti adalah program pengembangan pemain kelompok usia 16 (U-16) yang juga dilakukan di Italia pada 1995/1996. Proyek ini adalah kelanjutan dari PSSI Primavera.
Dari proyek PSSI Primavera Sendiri, lahir beberapa nama pemain yang kelak mendapatkan “bintangnya” di kancah Sepak bola Tanah Air. Bahkan beberapa diantaranya sempat bergabung dengan klub Luar Negeri sebagai Pemain Abroad.
Diantara Pemain Abroad ini adalah Kurnia Sandi yang bergabung di Sampdoria (1995/1996), Bima Sakti Tukiman di Helsingborg IF (1995/1996), dan Kurniawan Dwi Yulianto di FC Luzern (1994/1995). Nama terakhir bahkan baru saja mendapatkan kontrak dari klub Serie B, Como 1907, sebagai Assisten Pelatih.
(Baca Juga: Kurniawan dan Jejak Para Pelatih Indonesia di Mancanegara)
Dari seorang Franz Beckenbauer, kita bisa belajar bahwa serumit-rumitnya pembangunan dan pengembangan sepak bola di sebuah Negara, akan berhasil dilakukan jika melalui proses dan progres yang jelas serta berkesinambungan. Tentunya, keseriusan adalah faktor yang paling mendasar dalam membangun ekosistem Sepak bola yang baik dan berkembang.
Dan untuk menuju progres yang baik, dalam menciptakan sebuah Tim yang memiliki masa depan yang cerah, salah satu prosesnya bisa dimulai dari pengembangan pemain muda. Karena secara Filosofi dan Teknik, pemain muda masih punya cukup banyak kesempatan dan waktu untuk berkembang. Pembentukan karakter dan mental juga akan lebih mudah dibentuk ketika seorang pemain ada di usia muda.
Jikapun diperlukan sebuah Revolusi dalam membentuk dan membangun Ekosistem sepak bola yang baik dan berkembang, maka pengembangan pemain muda adalah gerbangnya.
(Sumber: bola.kompas.com ; historia.id ; bola.com ; transfermarkt.com ; goal.com ; panditfootball.com)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI