Ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat. Dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan keduatelapak tangannya ketika dalam sholat dan haji.
Menurut Quraish Shihab ayat ini yang menegaskan bahwa kepada para pria yang ingin nikah, ditunjukan tuntunan berikut, yakni tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita yang telah bercerai dengan suaminya dengan perceraian yang bersifat bain, yakni yang telah putus hak bekas suaminya untuk rujuk kepadanya kecuali dengan akad nikah baru sesuai syarat-syaratnya. Tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu pada saat masa tunggu (..iddah) mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan dengan sendirian, yakni tidak tegas dan terang-terangan menyebut maksud menikahinya. Ayat ini tidak secara mutlak melarang para pria mengucapkan sesuatu kepada wanita-wanita yang sedang menjalani masa iddah, tetapi kalau ingin mengucapkan kata-kata kepadanya, ucapankanlah kata-kata yang ma'ruf, sopan dan terhormat, sesuai dengan tuntunan
Pendapat ulama terkait surat al Baqarah ayat 221 menurut ibn Katsir
Menurut Ibnu Katsir (w. 1373) dalam tafsirnya, avat ini merupakan pengharaman dari Allah SWT kepada kaum mukminin untuk menikahi perempuan-perempuan musyrik dari kalangan para penyembah berhala. Kemudian jika makna yang dikehendaki bersifat umum,
maka termasuk ke dalamnya setiap perempuan musyrik dari; dari kalangan Ahlul kitab,maupun penyembah berhala. Ahlul kitob, orang-orang yang mempunyai kitab adalah sebutan bagi komunitas yang mempercayai dan berpegang kepada agama yang memiliki kitab suci yang berasal dari Tuhan selain al-Quran. Berdasarkan petunjuk al-Quran, ulama tafsir dan fiqih sepakat menyatakan komunitas Yahudi dan Nasrani adalah ahlul kitab, sedangkan komunitas lainnya diperselisihkan. Al-Quran menyebut kaum Yahudidan Nasrani dengan panggilan ahlul kitab untuk membedakan mereka dan kaum penyembah berhala. Dalam tafsirnya mengenal ayat ini, al-Maraghi (w. 1952) menjelaskan ) bahwa janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik yang tidak memiliki kitab, sehingga mereka mau beriman kepada Allah dan membenarkan Nabi Muhammad SAW, kemudian kata "musyrik" dalam al-Quran yang mempunyai makna senada dengan ayat ini ialah firman Allah berikut ini:
"Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari Tuhanmu" (QS. Al-Baqarah: 105).
Pendapat ulama terkait surat an-Nisa' ayat 19 menurut ibnu katsir dan qutrubiÂ
Ibnu Kathir dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini berfungsi untuk melarang praktik yang ada pada masa Jahiliyah di mana suami-suami di zaman itu sering mengharamkan atau melepaskan istri mereka hanya karena alasan tertentu seperti perbedaan agama atau ketidakcocokan. Ayat ini datang untuk menegaskan bahwa seorang suami tidak boleh sembarangan mengharamkan istri yang telah sah dinikahinya tanpa alasanyang dibenarkan oleh hukum Islam. Dalam pandangan ini, ayat ini juga menunjukkan kewajiban untuk memperlakukan wanita dengan baik dan tidak semena-mena dalam hubungan pernikahan. sedangkan menurut Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini dengan menekankan bahwa Allah memerintahkan suami untuk menjaga dan menghormati hak-hak istri mereka. Ulama ini menjelaskan bahwa ayat ini bukan hanya mengharamkan perbuatan menjatuhkan talak tanpa alasan yang jelas, tetapi juga melarang suami untuk tidak memberikan hak-hak istri, seperti mahar, nafkah, dan perlakuan yang adil, yang merupakan kewajiban dalam pernikahan. Dalam pandangannya, ayat ini merupakan peringatan bagi suami agar tidak sewenang-wenang dalam memutuskan hubungan rumah tangga
Surat al baqarah ayat 221 menjelaskanÂ
 mengenai larangan bagi umat Islam untuk menikahi orang-orang yang musyrik (yang menyekutukan Allah) baik itu wanita musyrik yang menikah dengan pria Muslim, maupun sebaliknya, pria musyrik yang menikahi wanita Muslim. Larangan ini bertujuan untuk menjaga keimanan dan keharmonisan dalam rumah tangga serta untuk menghindari pengaruh buruk dari keyakinan yang bertentangan dengan Islam larangan Menikah dengan Musyrik:, karena perbedaan akidah yang mendalam akan menyebabkan ketidaksefahaman dalam rumah tangga, yang pada akhirnya bisa merusak iman. Allah menekankan bahwa lebih baik menikah dengan seorang Muslim (walaupun seorang budak atau orang yang memiliki status sosial rendah) daripada dengan orang musyrik.