KRIIIIIING
Bel berbunyi nyaring terdengar hingga gerbang sekolah menengah atas di Desa Bojong Gede. Sekolah yang tidak terlalu besar, dan hanya ada 6 kelas, terdiri dari 2 kelas dari masing-masing tingkat. Guru yang bertugas hari itu berdiri di depan gerbang sekolah untuk menyambut siswa siswi dengan penuh kebahagiaan.
"Ayo anak-anak, jangan sampai terlambat masuk kelas, kurang dari lima menit lagi pelajaran dimulai." Ujar salah seorang guru.
Salah seorang siswa berlari menuju kelas agar tidak terlambat mengikuti pelajaran, karena menurutnya, hari pertama sekolah, kesan pertama sangat penting untuk ditunjukkan kepada guru dan teman-temannya. Sesampainya di depan pintu kelas, dia melihat dari meja depan hingga belakang, semuanya penuh, karena sepertinya semua telah terisi oleh teman-teman barunya.
"Hei, ini ada satu bangku kosong di depan saya." Ujar salah seorang siswi kepadanya.
"Oh, iya, terima kasih ya" ungkapnya sambil berjalan dan tersenyum.
"Kamu dari SMP mana?" tanya siswi tersebut kepadanya.
"Saya dari SMP Swasta di Depok" jawab siswa tersebut.
"Wah, jauh ya sampai ke desa kecil seperti ini, padahal Depok kan kota yang berkembang, kenapa pindah ke desa ini?"
"Iya, jadi..." belum selesai berbincang, guru datang dan memulai kelas dengan membacakan beberapa ayat Al Qur'an terlebih dahulu.
"Assalamualaikum, perkenalkan, nama bapak Taqyudin, kalian bisa panggil bapak 'Pak Taqy', begitu ya. Bapak wali kelas kalian, kelas X IPS." Buka Pak Taqy memperkenalkan diri. Hari itu berlanjut dengan mengabsen para peserta didik dan memperkenalkan diri masing-masing. Para siswa bergantian memperkenalkan dirinya dengan berdiri di tempat masing-masing.
"Nama saya Daris, lengkapnya Daris Dzulkarnaen, berasal dari SMP Swasta Ibnu Al Haytham, masih jomblo, dan belum ingin pacaran." Ujarnya polos dan disambut tawa ole teman-temannya, termasuk siswi yang duduk di belakangnya. Pak Taqy ikut tersenyum.
"Memang yang mau sama kamu siapa Ris?" ujar pak Taqy sambil tersenyum diiringi tawa siswa di kelas.
Hari pertama sekolah dilalui dengan riang dan penuh canda tawa. Daris akhirnya tahu bahwa nama siswi yang duduk di belakangnya bernama Kamilah. Daris berkenalan pula dengan salah seorang siswa di kelasnya bernama Nabil. Nabil memiliki perawakan yang kurus, dan tidak terlalu tinggi, namun memiliki dominasi yang kuat saat berargumen. Hari demi hari dilalui dengan penuh sukacita, waktu itu tahun 2019, tepatnya awal pelajaran baru, sekitar bulan agustus. Sekitar bulan oktober, pasca Penilaian Tengah Semester (PTS), di waktu jam istirahat siang, sekitar pukul 10.00, Nabil yang sedang menikmati gorengan dan es the manis di kantin, memanaggil Daris untuk menanyakan sesuatu.
"Ris, sini duduk, saya beli gorengan kebanyakan." Panggil Nabil sambil melambaikan tangannya ke arah Daris. Daris pun menghampirinya dan duduk di depan Nabil sambil mengambil sepotong gorengan.
"Ris, kamu tahu nggak, kalau virus itu nggak bisa mati." Tanya Nabil.
"Virus apa? Virus cinta bukan? Hehe." Canda Daris sambil mengunya makanannya.
"Saya serius Ris, saya nonton di YouTube, kalau ditemukan Virus membeku di benua antartika, dan ternyata tidak mati. Saya nggak bisa membayangkan kalau virus itu hidup lagi." Ujar Nabil sambil mengambil gorengannya. Daris diam sejenak, dan berpikir tentang pelajaran anak IPA yang membahas tentang bakteri dan virus. Daris pun tertantang untuk mencari tahu lebih lanjut.
"Nanti coba saya cari referensi lagi soal virus ini ya Bil. Setelah itu kita diskusi lagi." Ujar Daris cukup bersemangat dan pamit untuk kembali ke kelasnya. Di perjalanan, Daris bertemu Kamilah dan mereka bersama berjalan ke kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya.
***
Hampir satu tahun ajaran berlalu, sekitar bulan april 2020, pembelajaran berubah secara berkala menjadi pembelajaran jarak jauh, hal ini dikarenakan adanya Virus yang melanda dunia. Para guru yang terbiasa dengan pembelajaran tatap muka sangat kaget dengan perubahan yang bisa dikatakan sangat mendadak.
"Bagaimana ini, pendidikan jadi tidak dapat dimaksimalkan jika begini terus." Ujar salah seorang guru.
"Sabar pak, insya Allah akan kembali seperti semula, kita hanya bisa berdoa, supaya dapat teratasi dan terlewati dengan baik situasi seperti ini" ujar pak Taqy kepada pak Jani.
"Masa depan yang seperti apa nanti kalau situasi seperti ini terus berlanjut, saya nggak bisa membayangkan apa jadinya pendidikan kita nanti." Ujar Bu Mariya, guru PKN di sekolah tersebut.
Kalimat bu Mariya sangat membekas di benak pak Taqy, masa depan yang seperti apa pasca pandemi ini, yang mengharuskan pembelajaran online dan otomatis, ruh pendidikan yang ada di sekolah, akan hilang. Dengan sangat terpaksa, hasil raport siswa dibagikan secara online. Tahun ajaran 2019/2020 pun berakhir, yang ditandai dengan peralihan metode pembelajaran karena efek dari pandemi Covid-19.
***
To     : Nabil
 " Halo bil, lagi dimana? Main yuk, bosen saya dirumah."
To     : Daris
" Boleh, tapi lagi pandemi begini, kamu nggak takut kena covid?"
To     : Nabil
"Yah, gimana ya, bismilla aja Bil, insya Allah nggak kena."
Nabil menyatujui ajakan Daris, merekapun bersiap untuk menuju ke tempat pertemuan yang sudah dijanjikan. Setibanya di tempat tersebut, tanpa sadar mereka bersalaman dan berpelukan karena sudah lama tidak bertemu muka.
"Eh, kan lagi covid, lupa saya," ujar Daris teringat kondisi pandemi, "seharusnya nggak boleh bersentuhan ya, maaf ya, lupa. Hahaha."
"Kebiasan kamu Ris," jawab Nabil sembari tertawa dan menepuk pundak Daris.
Merekapun membicarakan berbagai hal semasa pandemi, banyak yang sudah dilalui dengan tanpa bertatap muka, mulai dari pembelajaran online yang samasekali baru di dunia mereka.
"Menurut kamu, pembelajaran online bagaimana Ris? Kok saya kurang semangat ya belajar online seperti ini, apalagi sudah bertemu dengan kasur. Haha." Ujar Nabil sambil tertawa kecil.
Daris diam sejenak, terbayang pembahasan pelajaran geografi oleh pak Taqy, tentang pambangunan berkelanjutan. "Kamu ingat nggak pada saat mata pelajaran pak Taqy, beliau bahas pembangunan berkelanjutan?" tanya Daris, dan di jawab dengan gelengan kepala Nabil sembari menyeruput minumannya. "Sudah kuduga, mesti nggak merhatiin ya," ledek Daris.
Sambil tertawa kecil, Nabil langsung menjelaskan secara detail, "Pembangunan berkelanjutan, pondasi awalnya adalah tiga bidang penting yang saling menunjang satu sama lainnya, kesehatan, pendidikan, dan perekonomian. Mana yang di dahulukan? Secara umum, ketiga hal tersebut haruslah berjalan beriringan, tetapi ada contoh kasus pada saat pembangunan Jepang pasca jatuhnya bom nuklir itu, yaitu fokus pada pendidikan. Benar apa benar Ris?" tegas Nabil sembari senyum meledek ke arah Daris.
"Betul sekali Bil, gitu dong, jadi semangat saya bahasnya," jawab Daris penuh semangat. "Pak Taqy bilang juga, bagaimana dengan kondisi pandemi saat ini? Mana yang didahulukan? Apakah kesehatan? Pendidikan? Atau justru perekonomian? Mengingat ekonomi kita saat ini sedang berantakan, meskipun di pemberitaan selalu dikatakan baik-baik saja, tapi kita bisa lihat dampaknya saat ini, banyak yang gulung tikar Bil." Jelas Daris pada Nabil. Tak lama berselang, Kamilah datang, dan menegur mereka semua.
"Assalamualaikum, lagi pada ngapain?" sapa Kamilah.
"Waalaikumsalam," jawab keduanya, "lagi bahas sesuatu Mil, mau ikutan?" tawar Daris.
Kamilah mengiyakan, lalu duduk berhadapan dengan keduanya, dan memesan minuman ke pramusaji di sana. Nabil memlanjutkan diskusi dengan bertanya kepada Kamilah tentang pendapatnya mengenai pondasi pembangunan berkelanjutan.
"Aku sih akan memilih pendidikan dulu ya, alasannya karena dengan pendidikan, kita akan bisa mengusahakan dan mengoptimalkan kedua pondasi tadi, perekonomian dan kesehatan." Jawab Kamilah.
"Bagaimana dengan pandemi saat ini? Apakah akan berpengaruh sama masa depan kita nanti setelah pandemi?" tanya Daris kepada Nabil dan Kamilah.
Kamilah kembali menjawab dengan tegas, "Menurut aku, sangat berpengaruh Ris, karena pendidikan disini bukan hanya belajar materi akademis saja, tapi menanamkan pola pikir positif Ris. Nah, pemikiran positif ini yang penting saat ini, penanamannya melalui pendidikan menurutku, terutama untuk generasi penerus kan."
"Dewasa banget kamu Mil, hehehe," ujar Nabil. "Bukankan yang penting saat ini itu kesehatan ya? Kan banyak yang positif Mil, gimana menyeimbangkannya? Yang parahnya lagi banyak banget yang gulung tikar, apa-apa dibatasi, ini itu nggak boleh, terus gimana kita bisa pulih dan kembali ke jalur pembangunan berkelanjutan?" tambah Nabil penuh pertanyaan.
"Dengan pendidikan, akan muncul tuh obat penawar yang seperti apa itu, imunisasi gitu," jawab Kamilah sambil berpikir istilah yang dimaksud.
"Vaksin." Sela Daris mengingatkan.
"Nah itu, vaksin, dengan ditemukannya vaksin intuk virusnya, otomatis akan ada perbendaharaan keilmuan di dunia kesehatan, dengan kata lain, kembali ke pondasi pendidikan." Kamilah melanjutkan.
"Kemudian, saya mau lanjutkan pendapatnya Mila, tentang positif thinking di era pandemi ini. Nah, ini jelas berkaitan langsung dengan bagaimana masa depan kita di masa mendatang. Apalagi, kalau kalian berdua notice, adab dalam pendidikan menurun drastis melalui pendidikan online ini. Tetapi itu semua dapat diatasi, jika, sekali lagi, jika generasi angkatan kita ini, dimanapun berada mau berpikir bahwa dibalik pandemi ini, ada juga hikmah yang dapat mengembangkan berbagai hal yang sebelumnya nggak kepikiran." Jelas Daris, dan ditanggapi serius oleh Nabil dan Kamilah.
"Kamu benar Ris, dengan kata lain, kita harus bersyukur dengan apapun yang terjadi, termasuk bersyukur karena adanya Pandemi ini. Kita tersadar akan banyak hal, mungkin kita semua sudah lupa nikmat yang diberikan oleh-Nya selama ini, dan baru diberikan wabah seperti ini saja, langsung menggerutu. Aku akui mengeluh itu manusiawi, tetapi perlu sadar juga kalau sakit, sembuh, hidup dan mati itu dari Sang Pencipta. Mungkin ini salah satu jalan untuk kita supaya lebih dekat dengan-Nya", tambah Kamilah.
"Jadi, masa depan kita ini, ditentukan oleh apa yang kita lakukan saat ini, untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan, yang pertama jelas positif thinking, konteksnya era pandemi ini lho ya. Kemudian yang kedua, karena teknologi yang canggih saat ini, kita bisa akses berbagai sumber untuk meningkatkan pengetahuan kita, dan jangan lupa kita sebagai pembelajar harus menghargai pendidik, apapun metodenya, intinya ambil baiknya, buang buruknya. Ketiga, berserah diri, karena memang kita nggak tau kapan pandemi berakhir, oh iya, berserah diri bukan berarti tidak melakukan apa-apa, melainkan mencari solusi untuk diri sendiri, sekitar kita, dan tentu saja Negara kita. Dengan begitu, masa depan kita akan tetap cerah guys, hehehe." Jelas Daris mengambil kesimpulan dari pembicaran berbobot anak SMA ini.
Merekapun berpisah dan melanjutkan kesehariannya seperti biasa. Hari demi hari dilalui dengan positif thinking, sehingga tetap bisa menatap masa depan yang cerah meskipun tertutup awah gelap berupa pandemi. Mereka percaya akan ada mentari yang menggeser kegelapan itu, pasti, yang perlu dilakukan hanya berusaha, berdoa, dan berserah diri, bahwasanya semua akan baik-baik saja.
Tanpa terasa sudah tahun ketiga mereka bersekolah di SMA, saatnya melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, perkuliahan. Perpisahan dilakukan secara online, karena masih dalam status pandemi. Akan tetapi tidak menyurutkan momen yang penuh kenangan ini. Metode boleh baru, kondisi boleh berubah, tetapi semangat tidak boleh kendor. Selepas perpisahan, Daris, Kamilah dan Nabil datang ke sekolah dan berpamitan kepada guru-guru di SMA, khususnya Pak Taqy, yang membuka pintu pengetahuan di kepala dan hati mereka.
"Pak Taqy, terimakasih sudah membimbing kami selama ini, kami bertiga, mungkin akan tetap berpikir pesimis jika bapak tidak membuka pemahaman kami." Ujar Daris mewakili Nabil dan Kamilah.
"Sudah tugas bapak untuk mengingatkan kalian supaya tidak pernah berpikir negatif, ingat ya anak-anak, masa depan itu selalu cerah, tinggal bagaimana kita menyikapinya." Ujar pak Taqy memberikan wejangannya. Merekapun bersalaman dengan pak Taqy, untuk berpamitan.
***
Lima tahun berlalu, status pandemi sudah dicabut, masa depan yang pernah dibahas oleh Daris, Nabil dan Kamilah ada di depan mata. Daris duduk di tempat yang pernah menjadi saksi diskusi mereka, dia membayangkan kembali diskusi tersebut, dan tersenyum melihat prediksi situasi masa depan yang pernah didiskusikan. Pendidikan formal, seperti SD SMP dan SMA, kembali melakukan pembelajaran tatap muka, tetapi tetap memperhatikan protokol kesehatan. Mulai dari mencuci tangan, menjaga jarak, hingga tidak berkerumun lebih dari 5 orang. Pembatasan di kereta api mulai melonggar, tentu saja dengan protokol kesehatan dan beberapa aturan tambahan.
Pendidikan yang menjadi pilar utama sebuah negara, berhasil mencetak generasi yang mau berpikir positif dibalik kelamnya pandemi selama 5 tahun terakhir. Setidaknya berbagai inovasi dan kreatifitas pemuda angkatan covid, dapat diterapkan. Event Organizer yang sempat meredup, dengan berbagai pelatihan terbatas seperti webinar, membuka wawasan pelaku EO untuk tetap berinovasi dalam pelaksanaan kegiatannya. Konser musik sudah mulai diperbolehkan, pernikahan dengan undangan yang terbatas pun dapat dilaksanakan asalkan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Daris menelpon salah satu sahabatnya, Nabil. "Assalamualaikum, Nabil, posisi dimana kawan?"
"Waalaikumsalam, saya di rumah, lagi WFH, gimana kabarmu Ris?"
"Alhamdulillah baik, ketemuan yuk, bawa aja laptopnya kesini, tempat biasa, saya sudah ada di lokasi."
"Oke, tunggu sekitar 25 menit ya," jawab Nabil dengan semangat.
Tidak lama kemudia, sekitar 25 menit, merekapun bertemu penuh haru dan ngobrol soal diskusi yang pernah dibahas.
"Kamu lihat kan, ternyata setelah pandemi ini, muncul hal baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, hampir semuanya online," ujar Daris memulai pembicaraan.
"Ya, saya saja terdampak, saya sendiri mengalami pengurangan pegawai salah satu perusahaan, akhirnya cari sana-sini, alhamdulillah dapat pekerjaan lagi, meskipun banyak kerja dari rumah, padahal pandemi sudah berakhir." Jelas Nabil penuh makna. "Yang saya heran, mengapa setelah pandemi, tidak kembali normal? Kembali jabat tangan misalnya, apakah seberbahaya itu berjabat tangan? Atau yang agak saya khawatirkan, jarak shaf pada masjid, masih berjarak yang cukup jauh, padahal aturannya rapatkan shaf." Lanjut Nabil sedikit emosi.
Daris yang melihat gelagat tersebut, menenangkan Nabil."Tenanglah kawan, mungkin butuh proses, ini semua memang tidak terhindarkan, seperti kata Thanos di Avenger Endgame, I am innevitable. Kondisi seperti ini tidak terhindarkan, yang menjadi sorotan, adalah perubahan sikap masyarakat terhadap sesamanya. Kamu tahu apa itu?" ujar Daris menenangkan.
"Mindset? Pola pikir? Sikap, atau sejenisnya ya?" tanya Nabil.
"Betul sekali Bil, Mindset, atau pola pikir masyarakat semakin berubah,"
"Contohnya apa Ris?"
"Ingin bertamu ke tempat saudara, tetapi dilarang karena alasan protokol kesehatan. Jadi silaturahim ke saudara agak sulit secara langsung, akhirnya hanya melalui telepon saja, atau video call, yang padahal hal tersebut sangat berbeda kalau dilihat dari segi komunikasi untuk membentuk ikatan antar saudara. Bertemu langsung akan lebih terasa persaudaraannya. Jadi kahawatirnya, akan muncul pemikiran bahwa kalau bertamu bisa secara virtual, dan mau nggak mau, akan tertanam di dalam pikiran kalau silaturahim ke tempat saudara tidak perlu datang ke lokasi." Jelas Daris cukup panjang.
"Mau bagaimana lagi, tapi jangan salah Ris, kamu lihat berita nggak? Kalau di puncak tetap ramai, dan sudah pasti berkerumun, yang membedakan penggunaan masker sudah pasti lebih banyak dibanding sebelum pandemi. Prokes tetap harus dijalankan." Sambung Nabil. "Oh iya, soal perubahan kondisi pasca pandemi ini, nggak usah jauh-jauh deh Ris, lihat kita sekarang, dibatasi oleh kaca ini kan, dan kita juga pakai masker untuk menjaga diri kita", lanjut Nabil.
Mereka berhenti dan minum sejenak, tidak lama setelahnya ada seseorang yang berdiri di belakang Daris. Seorang wanita, dengan hijab modisnya, menyapa Daris dan Nabil.
"Assalamualaikum, Daris dan Nabil ya?" sapa wanita tersebut.
"Waalaikumsalam, masya Allah, yaampun, Kamilah bukan ini?" jawab Nabil terkejut dengan kedatangan sahabat mereka.
"Gimana kabarnya Mil?" tanya Daris sembari menyilahkan duduk di antara mereka.
"Alhamdulillah baik Ris, gimana perkembangan pekerjaan kamu? Aku dengar dari teman lain kalau kamu sekarang jadi motivator ya?"
"Iya Mil, motivator pendidikan, tapi sekarang semuanya serba virtual, agak sulit pertemuan langsung, efek pandemi" jelas Daris.
"Setidaknya ada manfaat yang bisa diberikan kan, terlepas dari pandemi. Kalau kamu gimana Bil?"
"Saya sekarang WFH mil, digital marketing produk herbal. Alhamdulillah sejauh ini lancar sih, semoga keadaan kembali seperti dulu lagi," ujar Nabil penuh harap.
"Insya Allah keadaan akan selalu membaik setiap harinya Bil, karena hari esok, harus lebih baik dari hari ini kan?" Kamilah menegaskan. "Setiap kejadian kan pasti ada hikmahnya, mungkin pandemi ini jga hal baik bagi sebagian orang, dan tentu saja bagi kita. Sekarang bagaimana kita menyikapi saja, apakah kita akan terus mengeluh tanpa berbuat, atau terus berusaha dan berinovasi memberikan manfaat kepada lingkungan kita?" imbuh Kamilah sambil tersenyum.
Nabil dan Daris mengiyakan dan setuju dengan apa yang dikatakan Kamilah. Mereka bertiga mengingat kembali perbincangan 8 tahun silam. Obrolan tentang masa awal pandemi, dimana banyak orang yang menutup tokonya, menyudahi usahanya yang baru buka, atau perusahaan yang ramai memangkas jumlah pegawainya. Semua itu semacam stimulus untuk bergerak lebih cepat, berpikir lebih cepat dan bertindak lebih cepat. Pasti ada yang tertinggal, atau sulit mengejar ketertinggalan, disitulah tugas mereka, generasi corona, setidaknya itu yang kerap diucapakan masyarakat untuk melabeli angkatan atau generasi yang tumbuh kembang di masa pandemi corona, untuk merubah dan mengembangkan kondisi yang sebelumnya penuh paranoid terhadap pandemi, menjadi lebih bijak dalam menyikapi pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H