Sementara itu, Angga menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
"Aku kira tadi kau sudah mati," kataku pada Angga. Tubuhku masih memeluk Ani.
"Dengar Angga, jangan pernah meremehkan seseorang sekalipun ia terlihat bodoh, kau yang akan menyesal, seperti sekarang," kataku.
Angga tidak membalas perkataanku, dia langsung pergi. Bahkan untuk jalanpun dia berpegangan tembok.
Aku tau Ani, dia seperti memiliki sensor, jika ada hal berbahaya yang akan menimpanya, dengan ganas dia akan menggunakan pukulan untuk menyelesaikannya. Meski itu berkelahi dengan orang kuat sekalipun. Tapi setidaknya itu bisa menjadi salah satu benteng untuknya.
"Udah ya jangan nangis lagi, kamu jadi jelek kalo nangis," ledekku.
"Aku gak mau nangis lagi, nanti jadi jelek!" Ani mengucapkannya dengan lantang. Ternyata dia masih polos.
Tak sadar aku malah tertawa melihatnya, padahal hampir setiap hari melihat tingkahnya yang bodoh. Lalu aku terdiam saat melihat robekan roknya.
"Ani, rentangkan tanganmu," ucapku. Dengan patuh Ani melakukannya.
Kuambil jaket di tas.
"Setidaknya ini bisa menutup robekannya, besok ... ah gak, nanti kau beli yang baru, ya," kataku sambil mengikatkan jaket ke pinggangnya.