Entah apa yang merasuki pikiran ibu, beliau memang sangat menyayangi adiknya yang bejat itu. Mang Kuni memang terlihat lembut kalau bicara, seakan sopan, dan tahu agama. Memang aneh juga sih, setiap maghrib di malam Jum’at, mang Kuni selalu menyempatkan diri ikut pengajian Yasinan di musholah RT mereka. Walaupun, sebelumnya seharian dia puas main kartu di gardu jaga sebuah pabrik dekat rumah mereka.
Tinggallah Trisman meratapi sendiri nasibnya. Dia tidak mungkin mengadu kepada ibunya, karena ibunya pasti tidak akan percaya. Sementara Trisman sendiri tidak mau membebani ibunya yang memang sudah berat. Sang ibu yang sehari-hari bekerja sebagai tukang potong botol plastik bekas minuman itu tentunya sudah cukup berat memikul beban hidup mereka bertiga sehari-hari.
Trisman juga tidak ingin memberikan kegelapan kepada adiknya yang baru duduk di kelas lima SD. Cukuplah dirinya saja yang menanggung beban berat itu. Cukuplah dirinya saja yang bertahan dalam kegelapan. Adiknya, Neni, yang cerdas dan selalu juara kelas, tidak usahlah hidup dalam kegelapan seperti dirinya. Segelap belakang rumah mang Kuni yang juga menjadi tempat tidurnya.
Lalu sebagai pelampiasan gulana hatinya, Trisman memiih mengadu ke makam bapaknya. Disana dia bisa menangis menumpahkan jeritan hatinya yang terdalam. Bisa begitu dekat meski hanya berupa nisan, Trisman sudah merasa cukup puas seolah-olah berada dalam rangkulan bapaknya. Bapak yang diingatnya sangat menyayangi sampai suatu hari ketika Trisman yang baru saja duduk di kelas satu SD mendengar bahwa bapaknya telah berpulang dengan begitu cepat.
Trisman yang minta dihadiahi sepeda oleh bapaknya, memang sudah dibelikan sebuah sepeda mini kecil. Namun yang tidak Trisman tahu adalah waktu bapaknya membeli sepeda itu, ternyata uangnya kurang. Oleh si penjual, sepeda itu boleh dibawa pulang dulu baru esoknya bisa dilunasi. Hanya saja bapaknya Trisman tidak ingin berhutang. Segera sepeda diberikan kepada Trisman, bapaknya berangkat kembali ke toko sepeda di pasar Bantargebang.
Begitu kekurangan harga sepeda dibayar, bapak Triman pun mengendarai motornya dengan tergesa-gesa karena dilihatnya hari sudah mulai maghrib dan hujanpun mulai turun. Saat di depannya ada sebuah truk tronton besar, bapaknya bermaksud hendak menyalip ke kanan. Tidak disangka, belum sempat ujung depan badan truk tersebut berhasil dilewati, motor bapaknya keburu selip dan oleng ke kiri.
Sesudahnya, Trisman hanya bisa menangis mengikuti ibunya manakala diketahui bapaknya telah tewas di jalan. Trisman bersama adiknya akhirnya menjadi anak yatim. Trisman bersama adiknya pun sejak itu senantiasa mendapat santunan, terutama pada hari raya anak yatim, 10 Muharam. Santunan yang tidak bisa menggantikan kehilangan sang bapak.
====================
Bu Restu memang sangat baik, Trisman tidak bisa menghitung lagi seberapa banyak kebaikan yang telah diberikan bu Restu kepadanya. Meski hanya berupa bimbingan dan nasehat, Trisman merasa itu sudah sangat mencukupi. Terutama mengobati sedikit luka hatinya. Namun, meski begitu Trisman masih belum bisa bercerita banyak tentang aib yang dialaminya.
Trisman takut bu Restu akan menjauhi dan mencelanya jika tahu apa yang dialami Trisman selama ini. Trisman menjadi trauma karena pernah dipermalukan dan dicaci maki oleh seorang guru. Trisman tidak mau itu terjadi lagi padanya. Trisman yang sekarang duduk di kelas Sembilan dan sebentar lagi akan ujian, merasa tidak perlu menceritakan begitu detail kisah hidupnya kepada bu Restu.
“Trisman………., kenapa melamun ? Sudah sholat Dhuha ?” tanya bu Restu tiba-tiba.