“Bu, ini rumah saya,” Trisman berkata dengan nada getir.
Perempuan itu menahan nafas. Bibirnya mencoba tersenyum, meski pilu.
“Bu, silahkan duduk dulu di dipan, nanti saya panggilkan ibu saya,” Trisman menunjuk dengan sopan ke arah dipan.
Perempuan itu menganggukkan kepala dan tanpa ragu mendudukkan dirinya ke atas dipan. Sementara Trisman berlari keluar mencari ibunya, perempuan itu memandangi sekeliling. Sebuah rak piring sederhana buatan sendiri dari potongan kayu kasar, bersandar di sebuah dinding yang menjadi dinding rumah.
“Oh, ada bu Restu ?” terdengar sapa seorang perempuan yang seusia dengan dirinya.
“Iya, bu. Saya gurunya Sutrisman, saya cuma mengantar dia pulang saja,” perempuan itu yang bernama Restu menjawab dengan sopan sambil mengulurkan tangannya bersalaman.
“Yah, beginilah bu rumah Trisman, maklum orang susah,” ibunya Trisman tersenyum pahit.
“Tidak apa bu, yang penting bisa untuk berteduh,” bu Restu menenangkan.
“Ah ibu, berteduh gimana ? Lihat, gak ada temboknya, saya cuma kasian ngeliat trisman sama adenya kalo tidur keujanan,” ibu Trisman bicara apa adanya.
“Ini rumah siapa, bu ?” bu Restu memegang tembok di belakangnya.
“Rumah adik saya, mamangnya Trisman,” ibu Trisman menatap lesu. “Sebenernya sih, ini rumah warisan berdua, saya dan mamangnya itu, tapi…….mungkin biar enak, dibangun tembok dulu, baru nanti dibagi dua, saya separo, mamangnya separo,” ibu Trisman melanjutkan dengan nada penuh harap.