“Trisman, ibu tidak tahu dimana rumahmu. Nanti tolong beritahu ibu ya,” perempuan itu kembali menyalakan mesin motornya.
“Rumah saya di Sumur Batu, bu,” Trisman menjawab perlahan.
“Ya, nanti beritahu arahnya, ya,” perempuan itu kini sudah duduk di bagian depan. Trisman segera mengikuti duduk membonceng di belakang.
Sepanjang perjalanan pulang pun Trisman tidak bercerita, hanya terdiam sambil sesekali mengusap air matanya.
“Trisman, kalau sudah dekat rumahmu, tolong beritahu ibu ya,” perempuan itu sedikit menoleh ke belakang.
“Ya bu,” Trisman menjawab perlahan.
Perempuan itu terus melajukan motornya. Melewati beberapa truk sampah dari dinas kebersihan DKI Jakarta. Jalanan yang mereka lalui memang merupakan jalur menuju tempat pembuangan sampah akhir, Bantargebang. Sehingga sesekali bau “harum” sampah tercium begitu menggoda.
“Bu, masuk gang yang sebelah kanan,” Trisman menunjuk ke satu arah. Perempuan itupun dengan sigap membelokkan motornya memasuki sebuah gang kecil yang masih bertanah, belum beraspal. Jalanan di gang itupun tidak rata, seringkali ada batu-batu besar dan tajam menonjol di beberapa bagian jalan.
Setelah melewati beberapa rumah sederhana khas orang kampung, tibalah mereka di sebuah rumah besar yang tampaknya sedang dibangun. Perempuan itu mengira rumah itulah tempat Trisman tinggal. Ternyata……
“Bu, turun disini, nanti jalan terus ke belakang rumah itu,” Trisman menunjukkan jalan.
Motor pun dihentikan dan diparkir di samping sebuah pohon rambutan. Perempuan itu selanjutnya mengikuti langkah Trisman ke belakang rumah. Di belakang rumah ada semacam dapur kecil dan sebuah dipan sederhana dari kayu kasar. Di ujung dipan tergeletak tiga tumpukan bantal kusam. Belakang rumah itu hanya ditutupi beberapa lembar plastik besar juga beberapa terpal yang sudah bolong disana-sini.