Pukul 8.14, Kamis, tanggal 4 Agustus 2016, saya dapet kiriman foto di atas melalui WA dari Tami, isterinya Pepeng, Yak betul! Pepeng yang pelawak itu loh. Begitu ngeliat kiriman foto tersebut, saya langsung sujud syukur pada Allah SAW. Kenapa? Karena akhirnya buku Pepeng terbit juga. Sebuah penantian panjang yang memakan waktu lebih dari setahun, terhitung meninggalnya Pepeng pada tanggal 6 Mei 2015.
Pelawak Madura ini sudah lama pengen punya buku sendiri. Dia sering bertanya bagaimana caranya kok saya bisa produktif menulis buku. Saya sering bilang ke dia bahwa menulis buku itu seperti merobek selaput perawan. Pertamanya memang susah tapi selanjutnya jadi gampang dan enak banget. Kalo udah selesai buku pertama, maka buku kedua, ketiga dan seterusnya pasti lancar jaya, sukses makmur. Ngedenger penjelasan saya, dia ngakak doang, ga tau deh itu artinya percaya atau kagak.
Untuk memperlancar supaya bukunya cepet selesai, akhirnya Pepeng mempunyai strategi untuk membuat buku keroyokan. Judulnya "Di Balik Jari-jari.” Dan di bawahnya ada sub judul; ‘Pepeng di Mata Para Sahabat’. Sesuai dengan judulnya, maka sebagian besar isi buku ditulis oleh teman-teman Pepeng. Ada Andy F Noya, ada Sys NS, ada Reda L Gaudiamo, Shahnaz Haque, Ikang Fawzy dan masih banyak lagi. Bahkan untuk Kata Pengantar, Pepeng secara khusus meminta Chappy Hakim, mantan KASAU, untuk menulisnya.
Setiap kali ada kiriman tulisan dari seorang sahabat, Pepeng selalu memforward tulisan tersebut ke saya. Bukan untuk dikurasi tapi cuma sebagai bahan diskusi apakah tulisan tersebut mau ditarok di halaman depan, tengah atau di belakang.
Pukul 1 lewat tengah malam. Saya sedang asyik nonton TV di HBO. Tiba-tiba HP saya bergetar. Seperti biasa, ternyata ada pesan melalui WhatsApp dari Pepeng. Saya pelan-pelan mulai membaca,
"Jek, udah tidur lo?" Pepeng dan saya memang selalu saling memanggil dengan sebutan 'Jek'.
"Belum Jek. Biasanya jam 3 baru ngantuknya dateng." Saya membalas pesan WA-nya.
"Gini Jek. Gue mau minta usul lo, siapa lagi ya orang yang bisa gue minta tolong untuk menulis di buku gue?"
"Wuiih beneran nih gue boleh kasih usul?"
"Boleh dong. Gimana Jek?"
"Sebaiknya lo ajak Pak Sapardi Djoko Damono untuk nulis juga." kata saya.
Sapardi Djoko Damono adalah dosen UI sekaligus penyair kondang di negeri ini. Saya merasa akan banyak keuntungan apabila Sapardi juga menyumbang tulisan di bukunya Pepeng. Minta Sapardi menulis pasti sama sekali ga susah, karena dia orangnya baik banget. Apalagi salah seorang penulis buku itu adalah Reda yang juga adalah sahabat dari isterinya Sapardi.
"Oh Reda udah minta Sapardi buat nulis. Tapi Reda menghubungi isterinya bukan Pak Sapardinya."
"Terus apa kata Sapardi?"
"Belum ada jawaban Jek. Sibuk kali dia."
"Okay kalo gitu gue coba kontak Sapardi langsung ya? Gue lumayan sering WA-an juga sama dia."
"Wah alhamdulillah banget kalo lo mau bantu. Thanks Jek."
Minimal seminggu dua kali, kami WA-an lagi. Pembicaraan hampir selalu tentang bukunya yang akan segera diterbitkan. Pepeng ternyata sangat excited terhadap jabang bukunya itu. Maklum kan buku pertama. Dia banyak bertanya tentang pengalaman saya bikin buku bersama penerbit dan menulis buku indie, alias tanpa penerbit. Dia terus membandingkan untung ruginya, apakah mau menerbitkan buku sendiri atau melalui Gramedia.
"Jek, ada kabar gembira?" Suatu malam dia ngeWA saya lagi.
"Kabar gembira apa Jek?"
"Gramedia udah OK mau nerbitin buku gue."
"Wuiiih keren! Selamat...selamat!"
"Thank you Jek."
"Btw gue juga punya kabar baik buat lo Jek." sahut saya ga mau kalah.
"Apa Jek? Alhamdulillah malam ini banyak kabar gembira."
"Sapardi udah OK nulis buat buku lo." Lalu saya copy paste percakapan chatting saya dengan Sapardi dan saya forward ke Pepeng.
"Alhamdulillah. Lo baek banget sama gue. Thanks banget Jek."
"Halah! Baek apanya? Cuma ngomong doang ke Sapardi kok baek."
“Hehehe… iya deh lo ga baek.” kata Pepeng becanda.
“Gue udah kasih nomor HP lo, Peng. Jadi Sapardi akan langsung kirim tulisanya ke elo. Ga papa kan?”
“Ya gapapa dong. Malah bagus buat gue.”
Ga sampe seminggu, Pepeng udah WA saya lagi, "Jek! Ini tulisan Sapardi Djoko Damono. Bagus banget loh? Gimana menurut lo?"
Saya scroll down message dari Pepeng dan mulai membaca. Ternyata tulisan yang dikirimkan Sapardi Djoko Damono ke Pepeng adalah berupa puisi. Subhanallah... bukan main indahnya puisi untuk Pepeng ini.
"Bagus banget Peng. Gue merinding bacanya." sahut saya.
"Gue juga campur aduk bacanya." jawab Pepeng.
"Tulisan Sapardi ini akan sangat mengangkat kualitas buku lo. Peng."
"Inya Allah. Oh iya, barusan gue depet telepon dari Djarum Foundation. Mereka bersedia mensponsori peluncuran bukunya. AllahuAkbar walillahilham. Speechless...."
"Widiiii...keren!. Gue doain buku lo sukses Jek. Gue ikut seneng dengernya." kata saya.
Entah berapa lama kemudian, Pepeng ga pernah ngeWA saya lagi. Ga tau kenapa. Gapapalah, mungkin dia sibuk barangkali. Saya sendiri lagi menghabiskan malam di komputer untuk membuat buku ketujuh saya.
Tiba-tiba, suatu malam WA Pepeng dateng lagi, "Udah tidur Jek?"
"Belum. Lo apa kabar kok tiba-tiba ngilang?"
"Gue drop Jek. Masuk rumah sakit seminggu. Ini baru ke luar dan ga bisa tidur."
"Masih kesakitan ya?"
"Masih. Gue ga bisa tidur, sekujur badan gue kumat nyerinya."
"Waduh! Sakit yang kayak biasa kan?"
"Beda. Sekarang makin aneh sakitnya. Apalagi gue ada luka di dubur. Nyerinya ngeresep sampe ke sumsum."
"Astaghfirullah!" Keprihatinan yang amat sangat membuat saya ga tau harus membalas apa.
"Ginjal gue juga udah kena. Dan menurut dokter itu penyumbang nyeri yang hebat juga."
"Masya Allah..."
"Fungsi ginjal gue tinggal 30%, kata dokter."
"Astaghfirullah..."
"Jantung gue juga fungsinya tinggal 30%. Kalo udah sesek, ampoooon deh, mendingan makan di warung Pak Wir Hehehehe...."
Pak Wir adalah warung di kampus tempat kami biasa nongkrong pas masih kuliah dulu. Saya bingung mau bales apa. Tapi begitulah Pepeng. Dia dengan santai bercerita tentang penyakitnya tanpa minta dikasihani. Dia adalah seorang yang betul-betul tangguh dan menjadi inspirasi semua orang.
"Udah tidur, Jek? Gimana kabar buku lo?" Pada sebuah malam, saya coba menyapa dia duluan. Dan Alhamdulillah langsung dibales.
"Nah itu dia Jek. Gue ga punya waktu buat ngurusinnya, gue sering drop sekarang."
"Gini deh. Kalo lo udah sehat, bikin meeting aja sama orang Gramedia, tapi lo ajak gue. Ntar kalo udah kenal, gue yang ngurus buku lo sampe selesai. Gimana?"
Kali ini pesen saya ga dibales. Saya bingung, soalnya kalo lagi chatting sama Pepeng, dia ga pernah ilang. Dia selalu pamit ketika akan mengakhiri percakapan.
Setelah menunggu lebih dari 15 menit, akhirnya Pepeng ngebales juga. "Sorry Jek. Gue abis muntah tadi. Lo udah tidur?"
"Belum. Sakit lo makin parah ya Jek?"
"Ya gitu deh. Sakitnya sih ga masalah Jek. Yang bikin repot, penyakit ini udah menjalar sekarang..."
"Hah?? Menjalar ke mana?" tanya saya waswas.
"Gara-gara penyakit ini gue kena penyempitan pembuluh dompet Jek. Sampe kering dompet gue HAHAHAHAHA..."
Message WA terakhir dari Pepeng saya terima tanggal 27 April 2015. Sejak saat itu dia ga pernah WA saya lagi. Beberapa kali saya WA duluan, dia juga ga ngebales.
Akhirnya saya ngeWA adiknya Pepeng yang bernama Pree. Saya dan Pree adalah temen sekampus di UI D3 jurusan bahasa Inggris. "Pree, bukunya Pepeng udah sampai di mana?"
"Ga tau Bud. Dia drop terus jadi bukunya ga keurus." Pree langsung ngebales.
"Lo aja yang urus Pree. Gue bantuin deh sebelum terlambat?"
"Maksud lo sebelum terlambat apa?"
"Yah namanya takdir, kita mana tau kan? Mendingan kita kelarin bukunya supaya dia gembira dan mendongkrak kesehatannya."
"Gue ga mau ngomong soal terlambat. Pokoknya gue doain aja yang terbaik buat dia." kata Pree, keliatannya dia kurang nyaman sama omongan saya.
"Oh sorry Pree. Iya gue juga selalu mendoakan yang terbaik buat Pepeng."
Hari Rabu 6 Mei 2015, pukul 10.30, Pree memposting berita di group WA kami. "Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Mau ngabarin, Pepeng tadi udah gak ada sekitar jam 10.04. Dari tadi malem jam 2 masuk ICU."
Habis membaca WA-nya Pree, saya langsung lemes. Dan entah karena alasan apa, saya mencoba mencari puisi Sapardi Djoko Damono yang untuk Pepeng. Dengan mata berurai air mata, saya membaca puisi itu dengan suara perlahan;
EMPAT KWATRIN BUAT PEPENG
Hidup kita ini, kata Pak Kiai
Adalah sekeping uang logam
Satu keping tapi dua sisi
Selalu serasi, tak salah paham
Nasib kita ini, kata Pendeta
Susul menyusul siang dan malam
dua-duanya disaput rahasia
Kadang terbuka, kadang terpendam
Takdir kita ini, kata Pak Guru
Memang tak mudah dipantau
Kadang pasti seperti dipaku
Kadang bagai angin mendesau
Ingat selalu perangai air, kata penyair
Meskipun begini, tetap saja begitu;
Dari hulu mengalir ke hilir
Berkelok, terjun, menuju Yang Satu
SDD memang tokoh idola saya. Beliau adalah seorang Begawan kata. Di tangannya, sebuah kata tanpa makna, ketika dia torehkan dalam tulisan tiba-tiba bisa menjelma menjadi sebuah mantra yang akan membius pembacanya.
Hidup itu penuh dengan simbol-simbol. Semakin luas dan dalam pengetahuan tentang hidup, semakin meningkat kemampuan kita dalam membaca simbol. Hal ini penting karena selanjutnya kita akan lebih siap menghadapi, menerima dan menyiasati apa yang akan terjadi selanjutnya.
Begitu indahnya puisi Begawan Kata ini. Saya baca lagi puisi itu berulang-ulang. Saya pelajari simbol-simbol yang terdapat dalam puisi tersebut. Di bait terakhir, Sapardi Djoko Damono ini mengingatkan Pepeng bahwa semua manusia tanpa kecuali akan menghadap Yang Satu.
Kasihan Pepeng. Dia harus pergi sebelum bukunya diterbitkan. Dan entah apa yang terjadi, setelah kematiannya, buku Pepeng ikut terbengkalai. Saya kurang mengerti apa yang terjadi. Teman-teman berusaha mendorong semangat isteri Pepeng, Tami, untuk terus berjuang. Pepeng ingin sekali menerbitkan bukunya. Jadi apapun yang terjadi buku Pepeng harus terbit.
Dan Alhamdulillah! Penantian lebih dari setahun pun akhirnya membuahkan hasil. Buku Pepeng akhirnya terbit dan tanggal 15 Agustus nanti sudah nangkring di rak-rak buku Gramedia di seluruh Indonesia. Yang merasa teman-temannya Pepeng, tolong share berita gembira ini. Yuk kita beli bukunya! Pepeng mungkin sudah pergi tapi melalui bukunya kita sedikit banyak masih bisa berkomunikasi.
Buat yang ingin mendengar musikalisasi puisi dari karya Sapardi ini, silakan klik:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H