"Maksud lo sebelum terlambat apa?"
"Yah namanya takdir, kita mana tau kan? Mendingan kita kelarin bukunya supaya dia gembira dan mendongkrak kesehatannya."
"Gue ga mau ngomong soal terlambat. Pokoknya gue doain aja yang terbaik buat dia." kata Pree, keliatannya dia kurang nyaman sama omongan saya.
"Oh sorry Pree. Iya gue juga selalu mendoakan yang terbaik buat Pepeng."
Hari Rabu 6 Mei 2015, pukul 10.30, Pree memposting berita di group WA kami. "Innalillahi wa inna illaihi roji'un. Mau ngabarin, Pepeng tadi udah gak ada sekitar jam 10.04. Dari tadi malem jam 2 masuk ICU."
Habis membaca WA-nya Pree, saya langsung lemes. Dan entah karena alasan apa, saya mencoba mencari puisi Sapardi Djoko Damono yang untuk Pepeng. Dengan mata berurai air mata, saya membaca puisi itu dengan suara perlahan;
EMPAT KWATRIN BUAT PEPENG
Hidup kita ini, kata Pak Kiai
Adalah sekeping uang logam
Satu keping tapi dua sisi
Selalu serasi, tak salah paham
Nasib kita ini, kata Pendeta
Susul menyusul siang dan malam
dua-duanya disaput rahasia
Kadang terbuka, kadang terpendam
Takdir kita ini, kata Pak Guru
Memang tak mudah dipantau
Kadang pasti seperti dipaku
Kadang bagai angin mendesau
Ingat selalu perangai air, kata penyair
Meskipun begini, tetap saja begitu;
Dari hulu mengalir ke hilir
Berkelok, terjun, menuju Yang Satu