Delapan bersaudara lahir, membesar, dan bersekolah di Kota Ini. Tak heran, mereka fasih berbahasa setempat, tetapi tetap melestarikan penggunaan bahasa dan adat istiadat daerah Bapak dan Omak mereka berasal.
Setelah sang Bapak berpulang, Omaknya mengurus hingga mereka memiliki rumah tangga sendiri. Pada gilirannya, putra-putranya mengurus Omak yang mulai rutin berkonsultasi dengan dokter.
Mereka sangat menghormatinya. Segan dan cenderung takut menghadapi akibat buruk bila tidak tunduk. Apa pun, mereka mematuhi perintah ibu yang melahirkannya. Terutama para anak lelaki yang menjadi pemborong. Mereka berlaku royal demi menyenangkan Omaknya.
Agar lebih dekat dengan Omak, anak lelaki yang menjadi pemborong mendirikan kantor bersama. Menyewa sebagian ruang di sebuah rumah yang penghuninya tinggal sedikit.
Lokasi strategis menjadikannya sebagai rendezvous sejumlah pemborong Kabupaten dan Kota. Menjadi tempat saling bertukar informasi. Pada waktu-waktu luang yang makin banyak ia menjelma serupa ajang hiburan pembunuh waktu.
Beberapa kelompok terdiri dari empat orang masing-masing memegang kertas tebal persegi panjang, dengan simbol-simbol dan angka. Blok pemain remi berada di luar, di bawah pohon rindang.Â
Di teras kumpulan berbeda membanting kartu sambil berteriak keras, "Gapleee ...!!!"
Sedangkan himpunan lain lebih senyap. Asap bertiup. Seruputan kopi. Mereka serius memikirkan angka-angka dari dari dua set kartu kartu yang terbagi di tangan dan di meja. Seratus empat jumlahnya ditambah empat joker, warna dan hitam putih.
Pada empat sisi meja terdapat lembaran-lembaran. Pada satu segi di hadapan seorang pemain bertumpuk lebih banyak kertas abu-abu dan biru. Satu berwarna merah.
Asap putih memenuhi ruangan senyap sejenak ditarik oleh angin melalui papan penutup jalan keluar masuk yang membuka. Mayor Kusnadi berdehem. Perlahan menutup pintu, "Selamat siang, semuanya!"
"Siang Ndan," pandangan tetap mencermati kartu. Ujung gulungan kertas putih membara. Asap putih bergulung-gulung.