Apabila sejenak memejamkan mata dan menyimak secara saksama, engkau akan menangkap suaranya yang berbahasa dengan logat lembut khas warga setempat.
Namun, ketika kelopak membuka dan menyorotkan mata lekat-lekat, maka terlihat seorang pria berkulit gelap berwajah kotak menyiratkan hidup keras sebagaimana sikap khas perantau.
Tohir. Tak perlulah aku menyatakan nama depan, juga belakangnya. Sebutan di tengahnya itulah yang paling sering kuucapkan untuk menyapanya.
Sebagai sahabat dari Tohir, aku kasih sedikit cerita. Saat mengendarai mobil bak terbuka, sepulangnya dari kampus, ia terprovokasi oleh sedan mungil isi empat pemuda.
Berkat saling memanasi, maka jalan raya menjadi sirkuit dadakan bagi dua kendaraan. Mesin-mesin meronta dengan sepenuh tenaga meneriakkan kemarahan. Ban bercuit-cuit. Dahulu-mendahului tanpa satupun mau mengengajakan diri agar kalah.
Emosi bertumpuk-tumpuk menjadikan lambat arus jalan pikir sehat. Dalam kecepatan tinggi bagian ekor kendaraan bak terbuka menempel bodi kanan mobil sedan, meninggalkan goresan memanjang.
Pengemudi sedan tidak senang. tiga temannya berang. Dengan gusar pedal gas ditekan, mengalirkan bahan bakar lebih deras ke mesin demi mengejar mobil pickup. Delapan karet bundar meliuk-liuk. Berdecit-decit mengurai aliran lalu lintas.
Tohir tiba di depan rumah. Berseru kepada saudara-saudaranya, yang serta merta tanpa berpikir panjang menggeruduk mobil sedan. Tangan-tangan kekar menghantam empat penumpang. Goresan memanjang pada badan sedan bertambah dengan adanya tumbukan batu dan benda keras lainnya.
Untungnya, beberapa pria berbaju loreng hijau melerai pertikaian. Sedan dan empat penumpangnya tidak lalu hancur lebur. Hanya benjut. Tak membuat mereka terkapar. Sedan benjol-benjol, tetapi masih dapat dikendarai hingga pulang ke kota berbeda sejarak empat puluh kilometer dari Kota Ini.
Mereka tidak mengerti telah memasuki sarang macan yang amat disegani di Kota Ini. Kompleks perumahan perwira yang hanya memiliki satu jalan masuk dan keluar.