Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Omak Kompleks Perwira

25 November 2024   06:08 Diperbarui: 25 November 2024   07:41 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Omak (Gambar oleh Barrie Taylor dari Pixabay)

Apabila sejenak memejamkan mata dan menyimak secara saksama, engkau akan menangkap suaranya yang berbahasa dengan logat lembut khas warga setempat.

Namun, ketika kelopak membuka dan menyorotkan mata lekat-lekat, maka terlihat seorang pria berkulit gelap berwajah kotak menyiratkan hidup keras sebagaimana sikap khas perantau.

Tohir. Tak perlulah aku menyatakan nama depan, juga belakangnya. Sebutan di tengahnya itulah yang paling sering kuucapkan untuk menyapanya.

Sebagai sahabat dari Tohir, aku kasih sedikit cerita. Saat mengendarai mobil bak terbuka, sepulangnya dari kampus, ia terprovokasi oleh sedan mungil isi empat pemuda.

Berkat saling memanasi, maka jalan raya menjadi sirkuit dadakan bagi dua kendaraan. Mesin-mesin meronta dengan sepenuh tenaga meneriakkan kemarahan. Ban bercuit-cuit. Dahulu-mendahului tanpa satupun mau mengengajakan diri agar kalah.

Emosi bertumpuk-tumpuk menjadikan lambat arus jalan pikir sehat. Dalam kecepatan tinggi bagian ekor kendaraan bak terbuka menempel bodi kanan mobil sedan, meninggalkan goresan memanjang.

Pengemudi sedan tidak senang. tiga temannya berang. Dengan gusar pedal gas ditekan, mengalirkan bahan bakar lebih deras ke mesin demi mengejar mobil pickup. Delapan karet bundar meliuk-liuk. Berdecit-decit mengurai aliran lalu lintas.

Tohir tiba di depan rumah. Berseru kepada saudara-saudaranya, yang serta merta tanpa berpikir panjang menggeruduk mobil sedan. Tangan-tangan kekar menghantam empat penumpang. Goresan memanjang pada badan sedan bertambah dengan adanya tumbukan batu dan benda keras lainnya.

Untungnya, beberapa pria berbaju loreng hijau melerai pertikaian. Sedan dan empat penumpangnya tidak lalu hancur lebur. Hanya benjut. Tak membuat mereka terkapar. Sedan benjol-benjol, tetapi masih dapat dikendarai hingga pulang ke kota berbeda sejarak empat puluh kilometer dari Kota Ini.

Mereka tidak mengerti telah memasuki sarang macan yang amat disegani di Kota Ini. Kompleks perumahan perwira yang hanya memiliki satu jalan masuk dan keluar.

Kendati umumnya pemegang hak hunian sudah meninggal dunia, istri dan anak-anaknya masih tinggal selama kantor Komando Daerah Militer tidak meminta mereka meninggalkan rumah dinas.

Di depan deretan hunian itu dibangun kantor Komando Rayon Militer dan rumah kopel untuk prajurit.

Takada orang berani sembarangan memasuki kompleks, selain para pedagang keliling. Itupun mereka yang sudah memiliki langganan dan yang punya koneksi dengan penghuni. Tanpa hubungan-hubungan itu, siapa saja yang celingak-celinguk akan mendapatkan pertanyaan tidak bersahabat.

Satu saat dua orang menaiki kendaraan beroda dua, yang tersohor sebagai sepeda motor jambret, meraung memasuki kompleks. Mentok menemui jalan buntu, setang memutar balik motor.

Sialnya, enam atau tujuh anak kolong yang sudah sangat matang menghadang jalan keluar. Sepeda motor terjungkal dihantam batang kayu. Pengendara dan penumpangnya jumpalitan menumbuk aspal.

Orang-orang tak berdaya itu sia-sia menangkis kepalan tangan yang datang secara beruntun dan bergantian. Namun, tiada guna melindungi diri. Darah terlanjur memercik dari hidung dan ujung bibir. Mata membiru kehitam-hitaman.

Sebelum serupa remahan kerupuk diremas, datang polisi-polisi yang tadi mengejarnya. Satu orang, sepertinya komandan regu, menjelaskan kepada para pemuda kompleks perwira. Dengan takzim meminta izin untuk membawa dua bandit kelas teri.

Sebetulnya, aparat pemelihara keamanan umum itu enggan berurusan dengan warga kompleks perwira. Mereka tidak petentengan sebagaimana di tempat selain kompleks perwira. Kecuali ada alasan kuat, seperti menangkap penjahat sial yang terlanjur memasuki sarang macan.

Aku orang sipil yang bebas keluar masuk kompleks perwira. Bersahabat dengan Tohir sejak zaman menempuh sekolah menengah, sehingga sangat kenal dengan keluarganya. Bahkan mengenal sebagian tetangga mereka.

Tohir memiliki badan paling kecil di antara delapan bersaudara. Tujuh lelaki lainnya bertubuh raksasa. Bisa jadi pada darah mereka mengalir gen dari Omak yang tinggi besar dan bersuara lantang.

Bapaknya, purnawirawan yang sempat menjadi pemborong Kota Ini. Setelah dewasa, sebagian putranya termasuk Tohir mengikuti jejak mengurusi pekerjaan konstruksi dari pemerintah daerah setempat. Sebagian lagi bekerja sebagai karyawan swasta di berbagai tempat.

Delapan bersaudara lahir, membesar, dan bersekolah di Kota Ini. Tak heran, mereka fasih berbahasa setempat, tetapi tetap melestarikan penggunaan bahasa dan adat istiadat daerah Bapak dan Omak mereka berasal.

Setelah sang Bapak berpulang, Omaknya mengurus hingga mereka memiliki rumah tangga sendiri. Pada gilirannya, putra-putranya mengurus Omak yang mulai rutin berkonsultasi dengan dokter.

Mereka sangat menghormatinya. Segan dan cenderung takut menghadapi akibat buruk bila tidak tunduk. Apa pun, mereka mematuhi perintah ibu yang melahirkannya. Terutama para anak lelaki yang menjadi pemborong. Mereka berlaku royal demi menyenangkan Omaknya.

Agar lebih dekat dengan Omak, anak lelaki yang menjadi pemborong mendirikan kantor bersama. Menyewa sebagian ruang di sebuah rumah yang penghuninya tinggal sedikit.

Lokasi strategis menjadikannya sebagai rendezvous sejumlah pemborong Kabupaten dan Kota. Menjadi tempat saling bertukar informasi. Pada waktu-waktu luang yang makin banyak ia menjelma serupa ajang hiburan pembunuh waktu.

Beberapa kelompok terdiri dari empat orang masing-masing memegang kertas tebal persegi panjang, dengan simbol-simbol dan angka. Blok pemain remi berada di luar, di bawah pohon rindang. 

Di teras kumpulan berbeda membanting kartu sambil berteriak keras, "Gapleee ...!!!"

Sedangkan himpunan lain lebih senyap. Asap bertiup. Seruputan kopi. Mereka serius memikirkan angka-angka dari dari dua set kartu kartu yang terbagi di tangan dan di meja. Seratus empat jumlahnya ditambah empat joker, warna dan hitam putih.

Pada empat sisi meja terdapat lembaran-lembaran. Pada satu segi di hadapan seorang pemain bertumpuk lebih banyak kertas abu-abu dan biru. Satu berwarna merah.

Asap putih memenuhi ruangan senyap sejenak ditarik oleh angin melalui papan penutup jalan keluar masuk yang membuka. Mayor Kusnadi berdehem. Perlahan menutup pintu, "Selamat siang, semuanya!"

"Siang Ndan," pandangan tetap mencermati kartu. Ujung gulungan kertas putih membara. Asap putih bergulung-gulung.

Danramil nan gagah perkasa menunjuk lembaran-lembaran. Bekata santun, "Izin. Sebaiknya disimpan di bawah meja."

"Siap, Ndan! Ngopi?"

Beberapa saat para pemain menghentikan kegiatan. Memindahkan tumpukan uang ke bawah daun meja yang tertutup taplak merah muda bergambar bunga-bunga. Anak-anak Omak dan teman-temanya melanjutkan permainan joker karo.

Danramil berjalan menjauh. Mengeluh di dalam hati, betapa dia sudah berkali-kali mengingatkan mereka, agar tidak melakukan permainan dengan mempertaruhkan uang. Nuraninya mengatakan, perbuatan tersebut sesungguhnya melanggar aturan dan kaidah agama.

Namun, yang membuatnya lebih khawatir apabila ada pihak luar melihatnya. Ada kemungkinn, orang yang tidak mengerti situasi lalu melaporkannya ke aparat berwajib.

Mayor Kusnadi lebih suka menghalau gerombolan pemberontak, daripada menghadapi perilaku anak-anak dari purnawirawan yang notabene seniornya.

Perasaan serba salah kemudian mengantarkan langkahnya ke sebuah tempat teduh berhalaman asri, berjarak tiga rumah dari kantor para pemborong. Tangannya mengetuk pintu jati. Bibirnya mengucap salam.

Seorang ibu sepuh membuka pintu. Menyambut dan menyilakan masuk.

"Saya duduk di teras saja, Bu."

Terhidang teh hangat dan kaleng tanpa sudut. Tampak ganjil. Sepintas sebagai kue khas negara Denmark, tapi keterangannya dalam Bahasa Inggris. Gambar ilustrasinya, tentara Skotlandia berdiri di samping bendera Belanda. Lebih membuat bingung ketika tutup dibuka.

"Ini baru digoreng. Dari Kampung Anyar."

Dua orang berbicang hangat tentang segala hal. Sesekali menyesap teh dan mengunyah himpunan bulat beras ketan digoreng itu. Pada saat tepat, Mayor Kusnadi menyampaikan ganjalan di dalam hatinya.

Tak perlu waktu lama, wanita berbadan tinggi besar melangkah pasti menuju kantor anak-anaknya.

Seseorang melihat. Bersicepat masuk ke dalam lantas berseru, "Bubar! Bubaaar ...!!! Omak datang."

Serentak sekalian orang lekas membereskan semua kartu. Mengambil tumpukan uang di bawah meja tanpa menghitung. Tidak peduli, apakah tertukar atau tidak.

Lalu sebagian pindah, sibuk di depan komputer yang belum menyala. Sebagian mencoret-coret kertas dengan bolpoin yang habis tintanya. Satu orang membaca koran, huruf-hurufnya terbalik.

Kini, pada penghujung tahun yang muram, anak-anak Omak --baik yang pemborong maupun yang bukan-- bersama teman-temannya berkumpul dalam senyap.

Bukan berhimpun demi saling bertukar informasi atau mengadakan permainan menghibur, dan bertaruh. Melainkan berkumpul dalam satu kesatuan merasakan gundah mendalam.

Tampak mata Tohir dan saudara-saudaranya memerah menahan pilu mengantar kepergian Omak menyusul sang Bapak, suami yang dicintainya.

***

Biodata Budi Susilo: Bermukim di Kota Bogor. Bukan cerpenis. Bukan sastrawan. Tukang tulis amatir. Melukis kata demi mengisi usia tersisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun