Dua orang berbicang hangat tentang segala hal. Sesekali menyesap teh dan mengunyah himpunan bulat beras ketan digoreng itu. Pada saat tepat, Mayor Kusnadi menyampaikan ganjalan di dalam hatinya.
Tak perlu waktu lama, wanita berbadan tinggi besar melangkah pasti menuju kantor anak-anaknya.
Seseorang melihat. Bersicepat masuk ke dalam lantas berseru, "Bubar! Bubaaar ...!!! Omak datang."
Serentak sekalian orang lekas membereskan semua kartu. Mengambil tumpukan uang di bawah meja tanpa menghitung. Tidak peduli, apakah tertukar atau tidak.
Lalu sebagian pindah, sibuk di depan komputer yang belum menyala. Sebagian mencoret-coret kertas dengan bolpoin yang habis tintanya. Satu orang membaca koran, huruf-hurufnya terbalik.
Kini, pada penghujung tahun yang muram, anak-anak Omak --baik yang pemborong maupun yang bukan-- bersama teman-temannya berkumpul dalam senyap.
Bukan berhimpun demi saling bertukar informasi atau mengadakan permainan menghibur, dan bertaruh. Melainkan berkumpul dalam satu kesatuan merasakan gundah mendalam.
Tampak mata Tohir dan saudara-saudaranya memerah menahan pilu mengantar kepergian Omak menyusul sang Bapak, suami yang dicintainya.
***
Biodata Budi Susilo: Bermukim di Kota Bogor. Bukan cerpenis. Bukan sastrawan. Tukang tulis amatir. Melukis kata demi mengisi usia tersisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H