"Dengan pengendalian emosi dan ketenangan jiwa ... kalian nantinya akan dapat merasakan getaran-getaran halus yang ada di sekitar kalian. Kalian akan lebih peka dalam menyelaraskan diri dengan alam," lanjut Kakek.
"Untuk selanjutnya lakukan latihan olah napas ini setelah kalian berlatih olah fisik. Latihan ini untuk melengkapi jurus-jurus pernapasan yang telah aku ajarkan sebelumnya. Supaya kalian bisa mengendalikan emosi dan mencapai keseimbangan. Ingat gangsingan mempunyai lubang di sisinya yang akan mengeluarkan frekuensi bunyi saat berputar dengan cepat. Seperti itulah energi ini nantinya," kata Kakek meletakkan teh panasnya dan ikut duduk bersama Sono dan Tono.
"Seseorang yang mempunyai mata batin, ibarat sebuah gangsingan, dia mempunyai potensi energi yang besar, yang dapat digunakan untuk kesempurnaan hidupnya dan menolong sesama untuk tujuan kemanusiaan ...." kata Kakek menutup pembicaraan.
Malam itu Kakek melatih kedua sahabat dengan olah napas sekaligus memberikan wejangan-wejangan untuk kematangan jiwa mereka. Selanjutnya mereka akan terus berlatih secara kontinyu dibimbing oleh kakek. Gerakan fisik, jurus silat dan jurus pernapasan silih berganti mereka peragakan dengan tetap menjalankan falsafah gangsingan seperti yang diajarkan oleh Sang Kakek.
Malam pun menjelang. Langit merah di ufuk barat perlahan-lahan beranjak pergi mengikuti sang mentari dalam tidur panjangnya. Udara terasa semakin dingin dan suara binatang malam mulai terdengar bagai simponi malam menuntun sang waktu yang menari-nari di bawah cahaya rembulan.
"Aku pulang dulu, Son. Sudah malam. Aku ada ulangan besok."
"Oke, Ton. Aku juga sudah capek."
Tono segera memacu sepedanya keluar dari halaman rumah Sono.
Klekk ....
Sono membuka pintu kamarnya. Terlihat pertama kali adalah gangsingan yang dia simpan di dalam almari kaca di sudut kamarnya.
"Gangsingan ... satu misteri sudah terpecahkan. Masih ada satu lagi. Putri, kau misteri terbesar dalam hudupku."