Konflik Sosial di Kalbar
Kalimantan Barat pernah mencatat pengalaman pahit konflik antar-etnis. Pertikaian kecil beberapa orang meluas menjadi konflik komunal yang menelan korban jiwa dan harta benda sehingga diperlukan usaha-usaha untuk merawat keberagaman dalam hidup berdampingan di tengah masyarakat multi-etnis pasca konflik.
Kristianus Atok (50), pengamat sosial di Pontianak, adalah satu dari banyak orang yang bekerja merawat keberagaman tersebut.
Kris menceritakan pengalamannya ketika merasakan ritme kehidupan desa yang mayoritas penduduknya etnis Madura pada tahun 2005-2006.
Bersama dua temannya, warga Dayak itu mengunjungi Desa Rantau Panjang, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak, sekitar 150 kilometer lebih dari ibukota Pontianak. Di desa itu hidup sekitar seribu jiwa warga Madura. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dia menginap di rumah kepala desa.
Dari semula rencana hanya menginap semalam, malah sampai tiga malam. Ikut merasa ritme kehidupan mereka sejak pagi hingga malam, ungkap alumnus program doktor di Universiti Kebangsaan Malaysia itu.
Bukan tanpa alasan jika dua rekan Kris awalnya khawatir. Konflik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat telah tertoreh sejak 1962. Beberapa gesekan dengan intensitas cukup besar terjadi pada tahun-tahun berikutnya.
Terakhir pada 1999, yang dicatat sebagai kerusuhan paling parah yang mengakibatkan ratusan orang tewas, kedua etnis saling mencurigai, kemudian muncul stigma negatif antar keduanya.
"Berkat kerja-kerja sosial di bidang perdamaian, dialog-dialog, pendekatan budaya dan seni, saya menilai dalam sepuluh tahun terakhir harmonisasi kedua etnis semakin erat," tutur Kris, yang juga seorang dosen di Sekolah Tinggi Pastoral St. Agustinus.
"Sudah tidak pernah lagi terjadi konflik skala besar. Jikapun ada gesekan kecil, tak terlalu berarti dan bisa diredam, karena tercipta modal sosial yang memadai antar para tokoh," tambahnya.
Dalam program peace building, Kris dan rekan-rekannya ikut menyertakan anak usia remaja di Kecamatan Sebangki dari etnis Dayak dan Madura untuk saling kunjung dan menginap di kampung berbeda. Awalnya tak mudah. Ada yang sampai menangis ketakutan karena citra negatif yang terlanjur tertanam.
Tapi mereka justru mendapatkan pengalaman hidup di rumah orang yang sebelumnya dicitrakan berseteru terus.