Suatu hari, setahun sesudah peristiwa pembunuhan tragis yang menimpa mamak. Reni siang itu sedang mengelap meja kursi, diliriknya selembar koran yang ditinggalkan seorang pelanggan soto di warung bik Yah. Judul tulisan di koran Surabaya Post itu menarik perhatiannya. Apalagi saat melihat foto seseorang.
Foto bapak Arpan terpampang dengan jelas di halaman depan. Tangan Reni gemetaran ketika membaca berita itu, wajahnya menjadi pucat, bayangan peristiwa tragis pembunuhan mamaknya kembali hadir. Berarti selama ini bapak melakukan bisnis obat terlarang.
Satu hal yang lebih membuat bulu kuduk Reni merinding adalah, pengakuan bapak Arpan kepada polisi tentang peristiwa pembunuhan di gang Kelinci setahun silam.
Saat itu Arpan terbelit hutang pada temannya sesama bandar narkoba. Untuk menutup hutang - hutangnya itu, Arpan sudah tidak punya uang lagi. Satu - satunya jalan adalah dengan menjual Reni pada temannya itu sebagai pelunas pinjaman.
Ketika Arpan merundingkan dengan Zubaida, istrinya itu tidak setuju. Arpan menjadi emosi. Dalam keadaan setengah mabuk, ia mencekik istrinya sampai pingsan. Belum puas juga, diambilnya bekas botol Whiski kosong dan dihantamkan di pelipis dan kepala juga tengkuk Zubaida.
Tanpa ada suara teriakan, istrinya meninggal saat itu juga. Selesai menjalankan aksinya, Arpan melangkah dengan tenang keluar gang kelinci. Seolah tidak ada kejadian apa-apa.
Sebenarnya Arpan sudah dijadikan target operasi oleh pihak kepolisian sehubungan dengan kasus jaringan narkoba di pelabuhan Tanjung Perak.
Polisi diam-diam sudah menyimpan sidik jari Arpan yang tertinggal di botol Whiski itu. Tetapi polisi tidak ingin masyarakat tahu tentang hal itu. Karena Arpan sangat lihai menghindari jebakan polisi, sehingga sulit menangkapnya.
Selama ini gerak- gerik Arpan dipantau dari jauh. Hingga pada suatu hari Arpan lengah. Tim gabungan anti narkoba berhasil membekuk dia di rumah istri mudanya di Perak. Pada saat itu Arpan tertangkap basah ketika sedang menyiapkan beberapa paket ganja kering siap kirim, juga beberapa paket pil ekstasi.
Setelah membaca pengakuan bapak Arpan pada polisi di koran itu, Reni terkenang pada almarhum mamaknya. Dia sangat terharu dan menitikkan air mata. Tidak menyangka mamak mempertaruhkan nyawanya demi masa depannya.
Ternyata mamak masih memiliki hati yang mulia di balik kegelapan hidupnya sebagai pencopet. Mamak masih punya cinta yang tulus di sudut hatinya, naluri keibuan mamak untuk melindungi Reni sangat menyentuh hati Reni.
Menjelang sore, ketika warung bik Yah sudah tutup, Reni dengan di temani sahabatnya  Lodi pergi mengunjungi makam mamak. Reni bersimpuh di hadapan batu nisan dan berdoa khusyuk untuk mamak.
Mamak Zubaida almarhumah, satu -satunya orang tua yang dia kenal sejak kecil. Reni memungut tiga kuntum bunga kamboja putih yang gugur tak jauh dari makam itu. Diambilnya bunga itu lalu diletakkan di pusara mamak.
"Mamak, maafkan aku mak. Aku tidak sempat mengucapkan terimakasih untuk semua cintamu padaku selama ini. Aku tahu mak hatimu seputih kuntum - kuntum kamboja ini. Bahkan demi masa depanku mamak rela mengorbankan nyawa, aku sungguh merasakannya mak, merasakan cinta tulus seorang ibu, di balik kegelapan masa lalu hidupmu. Beban beratlah yang membuatmu memilih untuk bekerja seperti yang dulu mamak lakukan. Aku tahu untuk membiayai sekolah kami, bapak Arpan tidak pernah peduli,dan mamaklah yang berjuang dengan segala cara".
Dengan airmata berderai diusapnya batu nisan bertuliskan Zubaida itu. Bibir mungilnya mengucapkan doa tak henti - henti, untuk memohon ampunan Tuhan buat sang mamak.
Dari jauh Lodi menunggu, duduk di salah satu bangunan makam, dia memandang sahabatnya itu dengan mata berkaca-kaca. Sejak mamak meninggal, hubungan persahabatan mereka menjadi seperti saudara.
Perasaan senasib dan semua pengalaman kerasnya hidup sebagai anak terminal membuat mereka berdua semakin dekat. Memang berat perjuangan mereka. Lodi sendiri sampai saat ini hanya bisa mengandalkan pendapatannya dari mengamen. Kadang - kadang ia membantu mencari penumpang untuk angkot.
Lodi bersyukur Reni bisa mendapat pekerjaan di warung soto. Karena Lodi tahu persis, Reni tidak bisa tahan lapar. Berbeda sekali dengan dirinya. Kadang sehari dia harus sudah cukup puas dengan sepiring nasi dengan lauk tahu atau tempe sepotong dan kuah sayur.
Dulu ketika mamak masih hidup dia sering numpang makan di rumah Reni. Meskipun dengan lauk dan sayur sederhana tapi makan teratur sehari tiga kali. Lamunan Lodi buyar, ketika Reni datang menghampiri.
"Lodi, terimakasih ya mau mengantarku. Kita pulang yuk"
"Sama-sama Ren, aku senang bisa menemanimu"
Sambil berjalan keluar dari pemakaman umum itu, mereka membicarakan tentang bapak Arpan.
***
Hari itu Lodi duduk melamun sendirian di bawah pohon Mahoni pinggir jembatan sungai Brantas dekat terminal. Ia sedang tidak semangat untuk mengamen.
Tanpa Reni dia merasa mengamen adalah pekerjaan yang menjemukan. Padahal dulu dia begitu semangat untuk melakukannya. Mungkin karena sekarang dia harus menyanyi sendiri dengan nada suaranya yang sumbang.
Lodi tenggelam dalam kenangannya saat bersama Reni mengamen. Tanpa disadarinya sudah sejak tadi Ucik mengamati dari belakang. Pelan - pelan Ucik mendekat dan menyapa Lodi.
" Yok opo kabare ning tomboy? Ojo ngelamun ae rek ?", Kata Ucik. Perempuan seksi bertato kupu - kupu itu tiba - tiba mengagetkan Lodi. Bau parfumnya menyengat hidung. Pakaiannya sangat seksi.
"Hei dengar ya, namaku Lodi, bukan ning tomboy tau!",jawab Lodi ketus.
"Aduh rek ojo ngamukan tah, gak isok diajak guyon arek iki! Lodi, kon gak ngamen maneh tah?"
"Bosan", Â jawabnya singkat.
"Bosan, atau duitmu berkurang soale kon gak iso nyanyi apik koyok Reni?", Ledek Ucik.
Ucik mencoba menebak dan memancing reaksi Lodi. Tetapi Lodi tidak menjawab, dia seolah mau mengatakan sesuatu namun semua kalimat seperti tercekat di lehernya. Dilihatnya Ucik tersenyum.
Lodi memberanikan diri bertanya.
" Wes gak usah takon ae terus! Bisa mencarikan aku pekerjaan tidak?", jawab Lodi.
Suaranya setengah berbisik dan menggeser duduknya lebih dekat pada Ucik. Sepertinya dia takut orang lain mendengar.
Pertanyaaan Lodi itulah sebenarnya yang diharapkan Ucik selama ini, perempuan bertato kupu - kupu itu sudah lama mengincar Lodi.
Tanpa Lodi sadari dia sudah masuk dalam perangkap. Begitulah cara Ucik, dia selalu memanfaatkan kesempatan untuk meraih keuntungan.
Dia tahu Lodi butuh uang dan pekerjaan. Dari dulu Ucik sudah merencanakan untuk menawari pekerjaan, tapi dia tidak ingin Lodi merasa terpaksa bekerja di tempatnya. Jadi tinggal menunggu sambil mengamati saat Lodi putus asa seperti ini. Saat yang tepat, Ucik dengan manis datang menjemputnya.
" Gak usah kuatir rek. Ono lowongan ndek kafeku,  kon gelem tah? Kalau mau sekarang saja kita berangkat sebelum kamu berubah pikiran lagi. Sebenarnya aku sudah menjanjikan pekerjaan itu untuk temanku dari Ponorogo. Ya demi kamu aku akan batalkan temanku itu. " jawab Ucik.
Bibir Ucik yang berlipstik merah dengan manis meluncurkan kata-kata rayuannya. Padahal sebenarnya dia tidak menjanjikan pekerjaan pada siapapun, apalagi teman dari Ponorogo. Hanya triknya saja agar Lodi terpikat dan segera ikut bersamanya.
Dengan perjanjian akan diberi separuh dari gajinya jika Lodi mau berangkat. Tawaran ini membuat Lodi tak bisa berpikir panjang lagi. Jumlah uang yang ditawarkan Ucik sangat besar dan menggiurkan.
Lodi langsung saja menyanggupi. Lodi tidak merasa perlu berpamitan pada orang tua angkatnya. Sejak Lodi lulus sekolah dasar, mereka tidak pernah mempedulikan lagi. Mereka katakan Lodi sudah besar. Jadi harus bisa mencari nafkah sendiri.
Satu-satunya orang yang harus dia pamiti adalah Reni. Setelah menyiapkan barang bawaannya dia bergegas menuju warung soto bik Yah, untuk menemui Reni.
Dari jauh Reni sudah melihat sahabatnya itu. Di punggungnya melekat ransel biru yang sudah kumal dan pias warnanya, sementara tangan kanannya menenteng gitar kecil miliknya.
"Aku pamit Ren, aku mau kerja", kata Lodi tanpa basa-basi.
"Kerja, kerja apa Lodi?", tanya Reni keheranan
"Ya, aku ditawari bekerja di café"
"Cafe di mana, jadi apa?"
"Aku tidak tahu tempatnya,nanti aku beri kabar lagi ya, doakan aku berhasil Ren"
Kedua sahabat karib itu berpelukan. Lodi mengucapkan salam perpisahan. Suasana menjadi mengharukan. Lalu Lodi menitipkan gitar kecilnya pada Reni.
"Ren, titip gitar kecilku ya, gitar itu menyimpan banyak kenangan tentang kita, simpan baik - baik ya"
" Pasti kusimpan. Hati hati ya di tempat kerjamu yang baru, aku selalu doakan kamu"
"Ya, aku akan hati - hati, jangan cemas Ren, kamu juga ya. Aku tidak bisa lama-lama, Ucik sudah menungguku, sampai jumpa ya Ren" ,kata Lodi dengan nada sedih.
Mereka berpelukan kemudian saling melambaikan tangan. Sejak saat itulah Lodi seakan menghilang begitu saja dari kehidupan Reni. Yang tinggal hanyalah sebuah gitar kecil saksi bisu kisah persahabatan sejati dua bocah pengamen di terminal Joyoboyo.
***
Hari itu mulut manis Ucik berhasil menjerat Lodi. Ucik membawa Lodi ke sebuah tempat dengan naik taksi. Turun dari taksi Mereka sudah di jemput lagi oleh seorang laki- laki berumur kira - kira 40 tahun. Ucik menggandeng Lodi masuk ke dalam mobil panther warna biru metalik itu.
Mobil itu meluncur dengan cepat. Lodi tidak tahu nama tempatnya. Dia mendengar Ucik minta diantar supir laki - laki itu ke sebuah toko pakaian.
Dan mengajak Lodi turun lalu dibelikannya Lodi beberapa stel pakaian baru. Lodi sangat senang. Belum pernah dia memiliki pakaian sebagus itu.
"Coba,kamu ganti yang hitam ini Lodi"
"Terlalu sempit" Jawab Lodi.
"Ah, tidak sama sekali, ini sangat pas buatmu Lodi, sesuai dengan badanmu kog". jawab Ucik. Ia sambil melirik ke cermin di kamar pas itu.
"Benar - benar daun muda yang bakal laris manis", kata Ucik dalam hati. Pikirannya sudah dipenuhi dengan rencana- rencana licik untuk menjual Lodi.
"Wah,aku tidak pernah pakai rok ", gerutu Lodi. Dia merasa aneh.
"Ya, mulai hari ini dan seterusnya kamu akan menyukainya. Lodi , ingat pekerjaanmu bukan lagi pengamen terminal yang bisa berpakaian tomboy sesukamu he he he".
Dicubitnya pipi Lodi dengan gemas. Ucik menjelaskan dengan suara yang disengaja dilembutkan untuk merayu Lodi.
"Wah, ayune rek Lodi!, hm aku akan ambil tiga stel dulu untukmu, dan beberapa baju harian dan pakaian dalam. Seneng kan? Ayo rek ngomong suwun ae angel", kata Ucik pura - pura merajuk.
"Yo suwun", Jawab Lodi sambil tersenyum. Memang pakaian yang dibelikan Ucik ini sangat seksi harganya pasti mahal.
Ah tidak peduli. yang penting bisa mengubah nasibku pikir Lodi. Melihat gaya hidup Ucik selama ini, mata Lodi menjadi silau.
"Yuk, kita kembali ke mobil, kamu bawa belanjaanmu, aku sudah bayar semua", Kata Ucik. Lalu ia menggandeng Lodi menuju mobil.
Sepanjang perjalanan dalam mobil itu, Lodi berpikir. Alangkah mudahnya Ucik mencari dan menghamburkan uang.
Padahal dulu ketika masih tinggal di gang Kelinci, hidup Ucik tidak lebih baik dari nasibnya, sama- sama pernah mengamen. Hanya saja Ucik terlihat sering berganti - ganti pacar, supir- supir terminal juga preman pasar.
Selama ini Ucik mendapat tambahan uang dengan menjadi perempuan penghibur sambil bekerja di kafe. Tetapi penghasilannya sedikit sekali sehingga ia bertahan di gang Kelinci. Ia tak puas dengan penghasilannya yang tidak pasti.
Tidak heran bila akhirnya Ucik tergiur mengembangkan sayapnya dengan menjaring perempuan - perempuan lugu dari desa yang ingin mencari pekerjaan di kota. Sejak saat itu kehidupan seorang Ucik berubah drastis.
Terakhir Lodi tahu bahwa Partiyem pembantu bik Yah di warung soto itupun akhirnya menemui Ucik untuk minta dicarikan pekerjaan, lima orang adik- adiknya di desa membutuhkan biaya, sementara bapaknya sakit kanker hati. Membutuhkan biaya berobat yang tidak sedikit.
Dengan sadar Lodi tahu betul, kehidupan seperti apa yang dijalani Ucik. Yaitu dunia malam, menjadi penghibur laki- laki. Apapun istilahnya Lodi tidak peduli.
Akhirnya sampai juga mereka di sebuah tempat di mana Ucik mempunyai usaha diskotik dan Café sebagai salah satu bisnisnya.
Suasana siang ini begitu sepi dan lengang. Pintu - pintu tertutup rapat. Sepertinya tempat ini jauh dari gambaran kehidupan gemerlap malam.
Tiba di sebuah rumah bercat ungu pastel, mereka turun dari mobil kijang biru metalik itu.
"Lodi, kamu naik ke lantai tiga ya, sebentar lagi ada temanmu yang turun menunjukkan kamarmu"
Ucik menelepon seseorang. Ia tertawa cekikikan dengan seseorang saat menyampaikan berita ia datang bersama Lodi.
"Nah itu dia, kamu ke atas duluan ya mandi dan istirahat dulu, Prety tolong bantu Lodi ya"
Lodi terkesima sekaligu terkejut saat menoleh ke arah tangga, astaga! bukannya itu si Partiyem, pembantu di warung soto bik Yah? hampir saja Lodi tidak mengenalinya.
Rambutnya di Rebounding dan dicat pirang. Pakaiannya sangat seksi. Tanpa canggung Prety menyambut Lodi. Dia tersenyum geli melihat ekspresi wajah Lodi yang terkejut.
"Aku hampir saja tidak mengenalmu"
"Sttt... nanti saja kita cerita - cerita setelah di kamar atas"
"Kalian naik saja dulu,nanti aku menyusul, Ucik melambaikan tangannya pada Lodi.
Kamar Lodi berdekatan dengan Prety alias Partiyem. Kamar yang sempit berisi satu tempat tidur kecil dengan sebuah meja kursi di sudut kamar.
Cermin kaca yang cukup besar, sengaja disediakan untuk memfasilitasi mereka berdandan. Satu kipas angin kecil dan jam dinding. Semua ini jauh lebih nyaman daripada rumahnya di gang Kelinci.
***
Tiga hari kemudian setelah mandi dan berganti pakaian, Lodi dimake up oleh Ucik. Malam ini adalah hari pertama Lodi untuk bekerja di café Jupiter
.
"Mulai malam ini, kamu memanggilku mami Ucik", kata Ucik sambil memoleskan Lipstik dan merias wajah Lodi.
"Kuharap kamu tidak bekerja setengah- setengah jika ingin sukses Lodi", tambahnya lagi"
Selama di dalam kamar itu Ucik memberi tahu tentang semua hal yang harus dimengerti oleh Lodi sehubungan dengan pekerjaannya.
Ucik tadi siang sudah menyiapkan sebuah KTP untuk Lodi. Bukanlah hal yang sulit bagi Ucik untuk mengubah semua identitas Lodi.
Didukung dengan penampilannya yang bongsor, berbadan tinggi dan besar dibanding anak seusianya, Lodi pantas di beri usia 22 tahun. Nama Lodi pun diubah agar berbau komersil.
Ucik sudah memoles seluruh penampilan dan gaya bicara Lodi dalam sekejab. Dalam hal yang satu ini Ucik memang sangat profesional.
"Mami Ucik, jadi sekarang namaku sesuai dengan di KTP ini ya?"
"Ya sayang, namamu LADY, dan umurmu ku buat 22 tahun. Karena aku tidak mau kita dipersulit petugas kepolisian jika ada razia tiba - tiba. Nah, ku harap kamu paham semua penjelasan ku tentang apa yang harus kamu lakukan dan kamu taati sesuai perjanjian kerja di sini" kata Ucik.
Ia mulai bicara dengan wibawa seorang mami pada Lodi. Seorang "Mami" pemilik cafe Jupiter sekaligus menyediakan perempuan penghibur.
"Sudah mami", jawab Lodi sambil mengamati wajahnya di cermin dan merapikan rambutnya.
"Oke, malam ini kamu khusus akan dijemput tamu untuk kencan pertama di luar, aku pesan bersikaplah yang manis dan jangan mengecewakan aku", Kata Ucik tegas. Sambil berbalik ke arah pintu ia tersenyum puas setelah melihat Lodi mengangguk tanpa keraguan.
BERSAMBUNG
( Romana Tari )
Kisah sebelumnya : http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/05/05/perempuan-gang-kelinci-joyoboyo-3/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H