Blogger di Indonesia juga tidak dianggap. Apalagi orang yang mengklaim dirinya sebagai "Presiden Blogger Indonesia" sudah tidak aktif lagi. Jujur saja, saya malah tidak tahu blog mana yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Dahulu, sempat ada "Pesta Blogger" yang diadakan setahun sekali. Kompasiana juga turut berpartisipasi di dalamnya. Tapi, kini sudah tidak lagi.
Padahal, di negara maju, blogger justru dihormati karena informasi yang dimilikinya kerap kali justru tidak diketahui publik sebelumnya. Banyak informasi rahasia yang kerap diungkap blogger. Dan itu jelas membantu tugas pers.
Influencer danPadanan kata bahasa Indonesia untuk "influencer" adalah "pemengaruh", sedangkan "buzzer" adalah "pendengung". Â Sesuai katanya, "influencer" bersifat mempengaruhi opini publik dengan muatan (content) yang dibuatnya. Sementara "buzzer" mirip "speaker" atau "pelantang" sifatnya. Ia menyebarkan isyu yang hendak diviralkan. Tentu tujuannya agar publik menjadi terpengaruh. Publik di sini khususnya netizen pengguna media sosial.
Lagi-lagi Agung menampik tanggung jawab Dewan Pers di sini. Menurutnya, ranah kedua jenis pembuat muatan di media sosial itu masih abu-abu. Sempat hendak "diminta" oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), namun juga masih belum sepakat. Masih ada keraguan atas kemampuan KPI mengingat lembaga itu sudah cukup sibuk saat ini.
Padahal, kemampuan "influencer" dan "buzzer" dalam menyebarluaskan informasi kerapkali melebihi media massa. Apalagi bagi media massa lokal di daerah dan masih kecil permodalannya. Banyaknya pemirsa (audience) dari tayangan muatan yang dibuat "influencer" dan "buzzer" jelas secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan media masa. Karena kerapkali perusahaan swasta, lembaga, atau institusi lebih menyukai mengajak kerjasama "influencer" dan "buzzer"Â yang sudah memiliki jumlah "pengikut" ("followers") banyak. Pendapatan mereka yang perorangan bisa mencapai miliaran, sementara media massa yang perusahaan malah "ngos-ngosan".
Lepas Tangan Dari Kreasi Informasi di Media Sosial
Baik pewarta warga, blogger, "influencer", maupun "buzzer" bisa membuat kreasi informasi di media sosial. Kreasi informasi itu bisa berupa tulisan, foto, atau video. Apalagi terkait hoaks, banyak sekali hoaks di sini. Meskipun informasi itu berupa berita, namun Dewan Pers lepas tangan darinya. Karena menurut Agung, itu bukan "produk jurnalistik". Kita akan bahas lebih lanjut soal "produk jurnalistik" ini.
Di situs berbagai video Youtube misalnya, kita dengan mudah menemukan "berita" yang sebenarnya bukan berita, melainkan hoaks. Dan itu kemasannya dibuat seolah berita resmi. Informasinya seolah-olah valid, padahal murni karangan dan khayalan belaka. Karena video adalah gabungan gambar bergerak dan suara, maka mudah sekali bagi khalayak yang kurang literasi untuk mempercayainya.Â
Apalagi yang sifatnya monolog seperti dilakukan beberapa orang "seleb medsos". Mereka bertindak bak otoritas untuk menyampaikan suatu inforasi. Padahal, datanya minim bahkan cenderung hoaks. Apa yang mereka lakukan juga menyampaikan informasi. Tapi sepertinya tidak dianggap sebagai ranah Dewan Pers. Dan bila terkait hukum, sepertinya menunggu aduan saja. Padahal ujaran kebencian, hoaks, disinformasi, misiniformasi, dan fitnah seharusnya pidana.
"Content Creator" Juga Tidak Dianggap