Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Curahan Kegelisahan Mantan Wartawan

23 Februari 2024   11:55 Diperbarui: 23 Februari 2024   11:59 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Unconference Ruang 6. (Foto: Bhayu M.H.)

Tulisan ini merupakan tambahan dari dua tulisan saya terdahulu. Tulisan pertama berjudul "Laporan Pandangan Mata dari Konvensi Media Nasional Hari Pers Nasional 2024" (klik di sini untuk membaca). Tulisan kedua berjudul "Pers Harus Adaptif" (klik ini untuk membaca). Jadi, dalam acara "Konvensi Media Nasional" yang berlangsung hari Senin, 19 Februari 2024 lalu terdiri dari dua sesi. Sesi pertama pada pagi hingga siang hari berupa "Conference" yang merupakan seminar bertema jurnalisme. Sementara sesi kedua berlangsung pada siang hingga sore hari setelah istirahat makan siang, berupa "Focus Group Discussion". Peserta dipersilakan memilih salah satu grup dari 6 yang topik yang disediakan panitia. Saya memilih topik keenam: "Harapan Pers Terhadap Kepemimpinan Nasional". Sebagai narasumber kunci tampil Wakil Ketua Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya. Sedangkan sebagai pemandu adalah Haryo Ristamaji, yang sehari-hari merupakan Pemimpin Redaksi/Direktur Radio Elshinta dan juga mewakili Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Peserta diskusi di grup saya sangat sedikit, hanya 6 orang saja. Padahal, total peserta acara di pagi harinya sekitar 500 orang. Saya tidak berjalan-jalan memantau di grup lain, karena fokus pada pembahasan di grup tempat saya berada saja. Jadi, saya tidak tahu kondisi peserta di kelas atau grup lain.

Bagi saya pribadi, diskusi berlangsung agak mengecewakan. Karena para peserta cenderung "curhat" masalah masing-masing. Sayangnya, hal itu lazim terjadi dalam acara serupa di Indonesia. Sehingga, pembahasan yang seharusnya bertopik "makro" dalam tataran negara, berubah menjadi "mikro" karena kasuistis sesuai kepentingan masing-masing peserta. Saya yang mencoba mengangkat isyu "makro", ternyata dimentahkan dengan gaya birokrat oleh narasumber kunci. Padahal, semestinya sebagai anggota suatu badan negara dan bukan badan pemerintah, ia bisa lebih elaboratif, kontemplatif, dan netral.

Maka, dalam tulisan ini, saya kembali menuliskan lebih lengkap mengenai apa yang saya utarakan di sana. Karena saat bicara, saya sudah hampir dipotong oleh pemandu. Waktu sekitar 5 menit bicara dianggap terlalu panjang rupanya. Karena saya tidak merekam baik menggunakan video maupun suara, maka tulisan ini berdasarkan ingatan belaka. Catatan di notes hanya berupa garis besar saja. Tulisan ini jelas lebih lengkap daripada ucapan saya dalam forum. Karena bisa dilengkapi fakta dan data tambahan yang sulit diungkapkan secara lisan. Ini adalah "disclaimer", demikian pula pernyataan berikutnya.

Dan perlu digarisbawahi, disebabkan saat ini status profesi saya bukan wartawan aktif, maka saya menganggap diri saya adalah "mantan wartawan". Walau di masa depan, insya Allah saya sedang berupaya merintis pendirian media massa daring baru. Saya menjadi peserta sebagai Ketua Umum (Ketum) sebuah Badan Hukum Perkumpulan (BHP) yang bergerak di bidang publikasi dan edukasi di dunia maya. Maka, jadilah tulisan ini diberi judul: "Curahan Kegelisahan Mantan Wartawan". Dalam tulisan ini, saya menggunakan terminologi "pewarta" sebagai ganti "wartawan" atau "jurnalis". Berlaku secara umum bagi semua jenis media massa, baik cetak, radio, televisi, maupun daring. Tidak ada alasan tertentu, semata hanya pilihan pribadi saja.

Minimnya Penghargaan Kepada Pewarta

Para peserta lain di grup yang saya ikuti sebagian berasal dari luar Jakarta. Bahkan dari tempat yang jauh seperti Sulawesi Utara. Alih-alih menyuarakan aspirasi sesuai tema, malah "curhat" soal kondisi masing-masing. Di sini, kegelisahan terutama adalah karena minimnya penghargaan untuk pewarta. Konteksnya tentu penghargaan kesejahteraan. Pewarta sulit mendapatkan penghasilan memadai, sementara media massa tempatnya bekerja juga masih berjuang mencapai "Break Event Point (BEP)" atau "Return of Investment (RoI)".

Maraknya media sosial juga mengancam media massa daring (dalam jaringan = online) secara langsung. Karena tingkat kunjungan ke situs mereka jadi jauh berkurang. Jumlah pemirsa muatan (content) dari media sosial berbagi video atau gambar, malah seringkali jauh lebih tinggi daripada tingkat keterbacaan berita di media daring.

Saat ini, media massa yang mampu menerbitkan media cetak hanyalah yang terkategori konglomerasi atau kelompok usaha besar. Di tingkat nasional, ada Kompas, Media Indonesia, Tempo, MNC Media, dan Jawa Pos. Demikian pula radio atau televisi, selain yang dimiliki pemerintah yaitu TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP), lainnya adalah swasta dengan modal kuat di tingkat nasional. Di daerah memang kini bermunculan televisi baru sejak diberlakukannya siaran nasional digital, namun selain di grup saya tampaknya tidak ada yang bekerja atau memilikinya, saya juga kurang data soal itu.

Pengalaman saya pribadi, terakhir menjadi kolumnis di sebuah media daring pada 2015-2017, saya sama sekali tidak menerima bayaran satu sen pun. Bahkan liputan saya tentang pelantikan seorang Kapolres yang saya hadiri langsung, tidak dimuat sama sekali. Karena Pemimpin Redaksi sekaligus pemiliknya menganggap saya menerima bayaran dan tentunya ia meminta bagian. Untuk mendapatkan kartu pers dan kartu nama, malah saya harus membayar. Ujungnya, tiba-tiba saya dipecat tanpa pernah melakukan kesalahan apa pun dan tidak ada komunikasi apa pun. Nama saya tiba-tiba hilang dari boks redaksi dan tulisan kolom saya dihapus. Begitu saja. Tindakan tidak profesional semacam ini banyak sekali terjadi di lapangan. Menunjukkan bahwa dari media massa sendiri sudah minim penghargaan kepada pewarta.

Tunjangan Untuk Pewarta?

Menghadapi kondisi sulitnya kesejahteraan bagi pewarta, ada peserta di grup saya yang mengusulkan adanya tunjangan bagi wartawan yang sudah bersertifikasi. Ia membandingkannya dengan guru.

Di sini, saya tidak sepakat. Karena wartawan itu profesi yang tidak diatur sebagai "abdi negara". Ia adalah profesi swasta bebas yang bisa ditekuni siapa saja. Bahkan kini dengan menjamurnya media daring, nyaris tanpa ada seleksi lagi. Meskipun ada sertifikasi, tapi dikomplain juga biayanya mahal.

Kalau pewarta bersertifikasi diberikan tunjangan oleh pemerintah, bagaimana dengan profesi lainnya? Padahal sesuai amanat didirikannya Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), semua profesi seharusnya disertifikasi kompetensinya. Bisa jebol APBN membayar semua itu. Sekarang saja anggaran untuk pembayaran Aparatur Sipil Negara (ASN) dan anggota TNI-Polri sudah besar. Masih ditambah tunjangan bagi para "abdi negara" lain seperti guru honorer atau tenaga kesehatan (nakes).

Maaf saja, profesi pewarta tidaklah sekrusial itu. Orang kalau tidak baca berita tidak akan mati. Tapi orang sakit kalau tidak ada nakes, bisa mati. Demikian pula guru. Kalau anak tidak sekolah, masa depannya akan lebih suram daripada yang bersekolah.

Kerjasama Dengan Pemerintah

Di sini dimaksudkan kerjasama dengan pemerintah berupa proyek penyiaran atau kehumasan. Media massa di daerah terutama sangat mengharapkan adanya uluran tangan dari pemerintah, baik itu Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Karena porsi iklan saat ini sudah sangat berkurang, maka kerjasama yang diharapkan adalah diundangnya media massa dalam berbagai acara. Selain untuk meliput berita, tentu diharapkan juga adanya per diem.

Atau lebih baik lagi kalau memang ada MoU atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) resmi antara pemerintah dengan media massa. Misalnya untuk menyiarkan keberhasilan pembangunan di suatu daerah. Ini menjadi aspirasi bagi pemilik media massa yang berada jauh dari ibukota.

Saya pribadi merasa, hal ini sulit diusahakan secara menyeluruh dan umum, apalagi sampai menjadi kebijakan. Harus media massa masing-masing yang "bergerilya". Karena kedekatan dengan pemerintah sangat tergantung dari bagaimana individu di media massa mengelolanya. Terutama sekali kemampuan pemilik atau pimpinannya menjalin hubungan secara pribadi.

Independensi dan Netralitas

Dua kata ini menurut Haryo Ristamaji yang bertindak sebagai pemandu di grup yang saya ikuti,  berbeda artinya. Netralitas artinya sama sekali tidak berpihak pada siapa atau apa pun. Sedangkan independensi artinya lepas dari keterkaitan dan bebas dari tekanan.

Saya paham maksudnya, dan di sini saya coba menerangkannya. Misalnya dalam Pemilu, suatu media bersikap netral atas seluruh Partai Politik (Parpol) yang mengikutinya. Berarti, ia tidak memihak salah satunya termasuk dalam memberitakan. Semua diberitakan dalam proporsi yang sama. Sedangkan independen, kebijakan pemberitaan redaksi tidak terikat dengan sokongan pendanaan yang diterimanya. Satu Parpol bisa memasang iklan di media massa tersebut misalnya, namun itu tidak menghalangi redaksi untuk memuat berita yang mengkritik Parpol tersebut, bila dirasa perlu.

Dalam praktiknya, saya merasakan hal itu sulit dilakukan. Pemilik suatu media massa praktis akan bisa mengontrol kebijakan redaksinya. Arahan darinya akan sulit dibantah. Karena bila itu dilakukan, pewarta sebagai pegawainya akan dengan mudah dipecat.


"Wartawan Bodrex" dan "Media Kuning"

Saya sempat mengira, saat ini sudah tidak ada "media kuning" dan "wartawan Bodrex". Tapi ternyata saya salah. Justru ternyata di era media daring, jumlahnya makin menjamur. Sebelum melanjutkan tulisan, saya terangkan dulu dua terminologi "sindiran" di dunia jurnalistik tersebut.

"Media kuning" sebenarnya adalah perluasan dari "koran kuning". Di era media cetak masih banyak yang terbit, ada yang disebut "koran kuning". Ini adalah media massa cetak -umumnya memang berbentuk koran- yang pemberitaannya "tidak bermutu". Misalnya, memuat soal seksualitas dan sensualitas secara berlebihan. Dan itu masih ditambah lagi dengan mereka tidak memberikan gaji tetap kepada para pewartanya. Anggota tim redaksinya hanya diberikan kartu pers dan surat tugas, untuk kemudian berkeliling mencari uang sendiri. Umumnya dengan modus meminta kepada instansi pemerintah, pejabat pemerintah, atau nara sumber. Meminta di sini terkadang disertai pemerasan. Apalagi bila ia menemukan adanya kesalahan dari suatu institusi atau pejabat publik.

Sedangkan "wartawan Bodrex" dikenal juga sebagai "WTS", kepanjangan dari "Wartawan Tanpa Suratkabar". Nama "Bodrex" adalah obat sakit kepala. Disebut "wartawan Bodrex" karena sering membuat sakit kepala, terutama karena kerap memaksa meminta uang. Padahal, mereka tidak punya afiliasi tempat bekerja yang jelas. Bahkan beritanya pun hampir tidak pernah dimuat. Biasanya, mereka ini "nge-pos" atau berada di tempat tertentu seperti kantor instansi pemerintah. Mereka didaftarkan koordinator yang sebenarnya temannya sebagai pewarta di instansi tersebut. Tujuannya bila ada acara, bisa ikut diundang. Termasuk kebiasaan di Indonesia, biasanya di Hari Raya Idul Fitri, ada Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para pewarta yang "nge-pos" tadi.

Saat ini, membuat media massa sangatlah mudah. Cukup mendirikan perusahaan berbadan hukum, bisa CV atau PT. Membeli domain dan hosting, buat dan luncurkan media daring. Bagi yang berpengalaman, membuat satu situs berita bisa hanya dalam hitungan jam saja sudah jadi. Apalagi "palang pintu" seperti SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sudah tidak diperlukan lagi. Ketentuan perlunya SIUPP bagi media massa dicabut Menteri Penerangan era pemerintahan Habibie, Letjen TNI (Purn.) Yunus Yosfiah. Presiden Gus Dur kemudian malah membubarkan Departemen Penerangan yang menaungi pers di Indonesia. Kini, Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak bersifat sebagai regulator lagi, melainkan sebagai koordinasi saja. Kebebasan pers memang berimbas pada nyaris lepas kontrolnya media massa dengan pemberitaannya.

Rimba Belantara Media Massa

Kini, media massa bak rimba belantara. Kita sulit memetakan lagi keberadaannya terutama di daerah. Di tingkat nasional, kita masih bisa membaca. Ada sejumlah media massa bersifat konglomerasi atau kelompok perusahaan. Namun di bawahnya, rasanya sudah sulit sekali. Apalagi bila bentuk media massanya adalah media daring.

Media massa yang diverifikasi oleh Dewan Pers saja, sifatnya lebih ke administratif. Sebagai contoh, seorang mantan rekan saya di sebuah media nasional, kini menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) di sebuah media massa daring terverifikasi. Padahal, setahu saya, medianya termasuk berpola mempekerjakan "wartawan Bodrex". Saya pernah bertemu langsung di suatu acara institusi pemerintahan, dia yang seorang Pemred berupaya meminta uang dari panitia acara. Bisa dibayangkan, kalau Pemred-nya saja begitu, bagaimana dengan pewarta lainnya sebagai anak buahnya?

Seorang sepupu saya yang bekerja di Kemenkominfo juga menceritakan, bagaimana ia kerap disodori "amplop tebal" saat melakukan verifikasi ke suatu media massa. Untuk jenis media massa-nya saya tidak sebutkan, karena kuatir pada keselamatan sepupu saya itu. Karena sepanjang pengakuannya kepada saya, ia kerap menolak suap tersebut. Untuk bidang media massa tersebut, memang membutuhkan semacam izin dari Kemenkominfo.

Saya merasa, sudah saatnya dilakukan pola lain yang lebih menjamin eksistensi suatu media massa. Dengan begitu, media massa bersangkutan akan lebih dipercaya masyarakat. Demikian pula pewartanya akan lebih sejahtera. Karena tidak ada lagi "media massa kuning" yang mempekerjakan "wartawan Bodrex".

Hoaks di Media Massa

Saya menanyakan persoalan hoaks di media massa kepada Wakil Ketua Dewan Pers yang bertindak sebagai narasumber kunci di grup saya. Namun, selain jawabannya normatif, ia cenderung mengelak dan menafikan. Seolah, tidak mungkin ada media massa yang menyebarkan hoaks. Padahal, faktanya, saya mendapati ada beberapa media massa daring yang malah konsisten ber-hoaks ria. Apalagi "positioning" mereka anti pemerintah Jokowi.

Saya tahu, tindakan paling jauh dari Dewan Pers hanya melakukan teguran. Ini berbeda dengan kewenangan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bisa menutup suatu program di radio dan televisi. Namun, teguran itu pun kerap tidak dilakukan. Karena sifatnya menunggu pengaduan dari masyarakat. Itu pun nanti masih dipertanyakan lagi "legal standing" si pelapor. Plus, si pelapor malah diminta menyiapkan bukti atas laporannya.

M. Agung Dharmajaya malah menganggap bahwa hoaks itu ranahnya UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), karena kerap dilakukan oleh perorangan. Ia mengesampingkan hoaks bisa dilakukan oleh pewarta. Seolah, pewarta itu semacam "makhluk suci dari angkasa" yang suci dari kesalahan.

Problema Pewarta Warga dan Blogger

Posisi pewarta warga sangat dilematis. Mereka dianggap tidak ada, padahal ada. Bahkan Kompasiana saja menghapuskan kategori "liputan" yang seingat saya pernah ada di masa COO Pepih Nugraha (CMIIW= Correct Me If I am Wrong / silakan koreksi bila ingatan saya salah). Di bagian atas situsnya, Kompasiana juga menegaskan bahwa tidak ada pewarta bagi Kompasiana. Bisa jadi ini untuk menghindari efek yang serupa dengan "wartawan Bodrex".

Ini setali tiga uang dengan posisi blogger. Apalagi kini seolah blog kalah populer dengan media sosial. Padahal, blogger kerap diundang berbagai lembaga untuk menyosialisasikan hal-hal baru. Baik itu oleh institusi swasta maupun instansi pemerintah. Bila swasta, misalnya saat ada peluncuran (launching) produk baru. Sedangkan bila pemerintah, misalnya saat memperkenalkan pejabat baru.

Agung juga secara tersirat juga menolak keberadaan pewarta warga. Padahal, mereka berperan penting saat tidak ada pewarta berkartu pers di lokasi suatu kejadian. Apalagi sekarang telepon seluler genggam umumnya telah dilengkapi kamera untuk merekam foto dan video. Kalau kita ingat kejadian tsunami besar di Aceh pada tahun 2004, ada pewarta warga bernama Putri yang merekam bencana alam mengerikan itu dari lantai 2 rumah keluarganya. Video itu kemudian dibeli oleh Metro TV dan tersiar luas ke seluruh dunia. Itulah salah satu kontribusi pewarta warga yang sebenarnya signifikan.

Saya merasakan aura persaingan di sini. Seolah pewarta berkartu pers bisa terancam penghidupannya oleh pewarta warga. Padahal, pewarta warga umumnya hanya sesekali menjadi pewarta. Sehari-hari ia punya mata pencaharian lain. Sehingga, kecil kemungkinan akan mengancam apalagi merebut "periuk nasi" pewarta berkartu pers.

Blogger di Indonesia juga tidak dianggap. Apalagi orang yang mengklaim dirinya sebagai "Presiden Blogger Indonesia" sudah tidak aktif lagi. Jujur saja, saya malah tidak tahu blog mana yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Dahulu, sempat ada "Pesta Blogger" yang diadakan setahun sekali. Kompasiana juga turut berpartisipasi di dalamnya. Tapi, kini sudah tidak lagi.

Padahal, di negara maju, blogger justru dihormati karena informasi yang dimilikinya kerap kali justru tidak diketahui publik sebelumnya. Banyak informasi rahasia yang kerap diungkap blogger. Dan itu jelas membantu tugas pers.

Spanduk berdiri Unconference Ruang 6 dalam KMN HPN 2024. (Foto: Bhayu M.H.)
Spanduk berdiri Unconference Ruang 6 dalam KMN HPN 2024. (Foto: Bhayu M.H.)
Influencer dan Buzzer

Padanan kata bahasa Indonesia untuk "influencer" adalah "pemengaruh", sedangkan "buzzer" adalah "pendengung".  Sesuai katanya, "influencer" bersifat mempengaruhi opini publik dengan muatan (content) yang dibuatnya. Sementara "buzzer" mirip "speaker" atau "pelantang" sifatnya. Ia menyebarkan isyu yang hendak diviralkan. Tentu tujuannya agar publik menjadi terpengaruh. Publik di sini khususnya netizen pengguna media sosial.

Lagi-lagi Agung menampik tanggung jawab Dewan Pers di sini. Menurutnya, ranah kedua jenis pembuat muatan di media sosial itu masih abu-abu. Sempat hendak "diminta" oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), namun juga masih belum sepakat. Masih ada keraguan atas kemampuan KPI mengingat lembaga itu sudah cukup sibuk saat ini.

Padahal, kemampuan "influencer" dan "buzzer" dalam menyebarluaskan informasi kerapkali melebihi media massa. Apalagi bagi media massa lokal di daerah dan masih kecil permodalannya. Banyaknya pemirsa (audience) dari tayangan muatan yang dibuat "influencer" dan "buzzer" jelas secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan media masa. Karena kerapkali perusahaan swasta, lembaga, atau institusi lebih menyukai mengajak kerjasama "influencer" dan "buzzer" yang sudah memiliki jumlah "pengikut" ("followers") banyak. Pendapatan mereka yang perorangan bisa mencapai miliaran, sementara media massa yang perusahaan malah "ngos-ngosan".

Lepas Tangan Dari Kreasi Informasi di Media Sosial

Baik pewarta warga, blogger, "influencer", maupun "buzzer" bisa membuat kreasi informasi di media sosial. Kreasi informasi itu bisa berupa tulisan, foto, atau video. Apalagi terkait hoaks, banyak sekali hoaks di sini. Meskipun informasi itu berupa berita, namun Dewan Pers lepas tangan darinya. Karena menurut Agung, itu bukan "produk jurnalistik". Kita akan bahas lebih lanjut soal "produk jurnalistik" ini.

Di situs berbagai video Youtube misalnya, kita dengan mudah menemukan "berita" yang sebenarnya bukan berita, melainkan hoaks. Dan itu kemasannya dibuat seolah berita resmi. Informasinya seolah-olah valid, padahal murni karangan dan khayalan belaka. Karena video adalah gabungan gambar bergerak dan suara, maka mudah sekali bagi khalayak yang kurang literasi untuk mempercayainya. 

Apalagi yang sifatnya monolog seperti dilakukan beberapa orang "seleb medsos". Mereka bertindak bak otoritas untuk menyampaikan suatu inforasi. Padahal, datanya minim bahkan cenderung hoaks. Apa yang mereka lakukan juga menyampaikan informasi. Tapi sepertinya tidak dianggap sebagai ranah Dewan Pers. Dan bila terkait hukum, sepertinya menunggu aduan saja. Padahal ujaran kebencian, hoaks, disinformasi, misiniformasi, dan fitnah seharusnya pidana.

"Content Creator" Juga Tidak Dianggap

Secara umum, orang atau pihak yang membuat kreasi di media sosial lazim disebut "content creator". Untuk sementara, kita gunakan istilah ini karena padanan bahasa Indonesianya belum pas. Di Indonesia, "content creator" sama sekali belum diatur. Hanya Ditjen Pajak saja yang terkadang mengejarnya terkait penghasilan yang didapat dari "endorsement". Itu pun bila terdeteksi.

Kalau dia juga figur publik terutama pegiat dunia hiburan, akan mudah dideteksi. Ada juga "seleb medsos" lain, baik itu "selebgram", "seleb Tiktok", atau "seleb Youtube". Facebook sepertinya tidak memunculkan "seleb" semacam itu, walau ada "fanpage", dan kini juga ada "reels". Konteksnya berbeda karena berbasis tulisan panjang, walau bisa ada foto dan video.

Bagaimana dengan account bernama palsu? Di Youtube dan Twitter banyak sekali. Dalam konteks politik praktis dan Pemilu, kita juga tahu ada para penyebar hoaks dan ujaran kebencian yang ditangkap oleh polisi. Tidakkah itu cukup untuk mengatur "content creator"? Misalnya ada aturan pemerintah yang mewajibkan platform untuk meminta data asli si pembuat muatan dari account terverifikasi?

Selama ini kepolisian bisa dengan mudah menangkap seseorang karena ada kerjasama dengan penyedia layanaan telekomunikasi atau provider. Dengan moda triangulasi, posisi seseorang bisa diketahui. Apalagi ada IMEI dan IP Address yang bisa dilacak. Di Indonesia juga tidak diperlukan perintah pengadilan untuk melacak nomor telepon seseorang dan menangkap pemilik atau penggunanya.

Namun, bagaimana dengan masyarakat biasa? Bila ada fitnah kepada seseorang dilakukan oleh "content creator" misalnya, bagaimana melacaknya? Padahal saat melapor, diperlukan bukti lebih dulu. Kepentingan masyarakat tidak terlindungi di sini.

Jawaban Agung saat forum atas pertanyaan saya, seolah hendak mengatakan: "Saya tidak mau tambah repot. Pekerjaan saya sudah banyak." Reaksi seperti ini mirip saat pemerintah mengulur-ulur penetapan regulasi atas ojek online (ojol). Setelah ada demonstrasi berkali-kali oleh taksi reguler, barulah ada Peraturan Menteri Perhubungan yang dikeluarkan.

Sepertinya juga ada salah kaprah pengertian dari Agung maupun Haryo, menganggap "content creator" hanya memproduksi muatan hiburan, seperti joget-joget ala Tiktok-ers atau pamer kekayaan ala artis. Padahal, banyak muatan informasi berupa kabar palsu. Saya amati di Youtube saja, hal ini banyak sekali. Temanya biasanya terkait pemerintah Jokowi, militer, agama, dan kesehatan.

Kriteria "Produk Jurnalistik" Tidak Jelas

Dalam forum, baik Agung maupun Haryo secara implisit menyebutkan bahwa produk jurnalistik adalah produk yang dibuat oleh perusahaan pers berbadan hukum. Padahal, dari banyak kursus, pelatihan, lokakarya yang saya ikuti sejak mahasiswa, juga banyak buku yang saya baca, produk jurnalistik tidak tergantung siapa pembuatnya. Baik itu perusahaan pers berbadan hukum yang memiiliki pewarta berkartu pers, atau warga lain, selama memenuhi unsur 5W + 1 H, ditambah cover both side bila perlu, itu produk jurnalistik.

Saya tidak tahu apakah ada semacam edaran atau himbauan dari Dewan Pers, sehingga kini berbagai platform jurnalisme warga tidak lagi memuat liputan warga. Sehingga, terkesan hanya jadi kolom opini tak dibayar.

Banyak sekali produk jurnalistik, baik itu berupa tulisan, suara, foto, atau video, yang justru bukan dibuat oleh pewarta berkartu pers. Contoh paling jelas sudah saya sebutkan di atas, saat tsunami Aceh 2004. Kalau untuk mengikuti ajang lomba "Word Press Photo", memang harus berkartu pers. Tapi mengikuti "Salon Foto Indonesia" untuk kategori foto jurnalistik, seingat saya tidak perlu. Itu artinya, foto bernilai berita memang bisa masuk kategori jurnalistik, meski pemotretnya bukan pewarta foto.

Justru di sini Dewan Pers musti bijak, mengakomodisi produk jurnalistik yang dibuat oleh bukan pewarta berkartu pers, dan tidak bekerja di perusahaan pers berbadan hukum. Karena mereka justru lebih rentan daripada pewarta dan perusahaan pers. Mereka tak punya mekanisme hak jawab dan hak tolak. Kalau misalnya produk yang dihasilkannya dianggap merugikan satu pihak, ia langsung bisa ditangkap polisi. Padahal, justru ia sedang mewartakan kebenaran.

Harapan dan Saran

Pada akhirnya, saya mengingatkan kembali tentang perlunya beradaptasi bagi pers. Saya merasakan aura, meski orangnya berganti, sikap birokratis ala Orde Baru terus mewarnai forum-forum resmi semacam HPN 2024 kemarin. Apalagi, pada Oktober 2024 mendatang, pemimpin baru akan dilantik. Dan ia adalah bagian dari Orde Baru di masa lalu.

Harapan terhadap kepemimpinan nasional tentu saja agar tetap erat kepada pers. Jangan jadikan pers sebagai corong suara dan alas kaki belaka. Melainkan juga picu kreativitas dan pacu kesejahteraannya.

Juga kepada para petinggi lembaga yang menaungi pers, seharusnya selalu berpihak kepada pers. Bukan selalu menghamba kepada penguasa. Perhatikan juga perkembangan zaman. Penyebaran informasi kini bukan lagi monopoli pers belaka. 

Termasuk pula mereka yang berada "di atas awan", perusahaan konglomerasi media. Sudah waktunya "turba: turun ke bawah", membagikan apa yang mereka miliki kepada sesama rekan-rekan pers. Tidak usah berbagi kue iklan, cukup bagikan pengalaman, kompetensi, keahlian, agar perusahaan pers yang lebih kecil bisa bertahan dan berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun