Secara umum, orang atau pihak yang membuat kreasi di media sosial lazim disebut "content creator". Untuk sementara, kita gunakan istilah ini karena padanan bahasa Indonesianya belum pas. Di Indonesia, "content creator"Â sama sekali belum diatur. Hanya Ditjen Pajak saja yang terkadang mengejarnya terkait penghasilan yang didapat dari "endorsement". Itu pun bila terdeteksi.
Kalau dia juga figur publik terutama pegiat dunia hiburan, akan mudah dideteksi. Ada juga "seleb medsos" lain, baik itu "selebgram", "seleb Tiktok", atau "seleb Youtube". Facebook sepertinya tidak memunculkan "seleb" semacam itu, walau ada "fanpage", dan kini juga ada "reels". Konteksnya berbeda karena berbasis tulisan panjang, walau bisa ada foto dan video.
Bagaimana dengan account bernama palsu? Di Youtube dan Twitter banyak sekali. Dalam konteks politik praktis dan Pemilu, kita juga tahu ada para penyebar hoaks dan ujaran kebencian yang ditangkap oleh polisi. Tidakkah itu cukup untuk mengatur "content creator"? Misalnya ada aturan pemerintah yang mewajibkan platform untuk meminta data asli si pembuat muatan dari account terverifikasi?
Selama ini kepolisian bisa dengan mudah menangkap seseorang karena ada kerjasama dengan penyedia layanaan telekomunikasi atau provider. Dengan moda triangulasi, posisi seseorang bisa diketahui. Apalagi ada IMEI dan IP Address yang bisa dilacak. Di Indonesia juga tidak diperlukan perintah pengadilan untuk melacak nomor telepon seseorang dan menangkap pemilik atau penggunanya.
Namun, bagaimana dengan masyarakat biasa? Bila ada fitnah kepada seseorang dilakukan oleh "content creator"Â misalnya, bagaimana melacaknya? Padahal saat melapor, diperlukan bukti lebih dulu. Kepentingan masyarakat tidak terlindungi di sini.
Jawaban Agung saat forum atas pertanyaan saya, seolah hendak mengatakan: "Saya tidak mau tambah repot. Pekerjaan saya sudah banyak." Reaksi seperti ini mirip saat pemerintah mengulur-ulur penetapan regulasi atas ojek online (ojol). Setelah ada demonstrasi berkali-kali oleh taksi reguler, barulah ada Peraturan Menteri Perhubungan yang dikeluarkan.
Sepertinya juga ada salah kaprah pengertian dari Agung maupun Haryo, menganggap "content creator" hanya memproduksi muatan hiburan, seperti joget-joget ala Tiktok-ers atau pamer kekayaan ala artis. Padahal, banyak muatan informasi berupa kabar palsu. Saya amati di Youtube saja, hal ini banyak sekali. Temanya biasanya terkait pemerintah Jokowi, militer, agama, dan kesehatan.
Kriteria "Produk Jurnalistik" Tidak Jelas
Dalam forum, baik Agung maupun Haryo secara implisit menyebutkan bahwa produk jurnalistik adalah produk yang dibuat oleh perusahaan pers berbadan hukum. Padahal, dari banyak kursus, pelatihan, lokakarya yang saya ikuti sejak mahasiswa, juga banyak buku yang saya baca, produk jurnalistik tidak tergantung siapa pembuatnya. Baik itu perusahaan pers berbadan hukum yang memiiliki pewarta berkartu pers, atau warga lain, selama memenuhi unsur 5W + 1 H, ditambah cover both side bila perlu, itu produk jurnalistik.
Saya tidak tahu apakah ada semacam edaran atau himbauan dari Dewan Pers, sehingga kini berbagai platform jurnalisme warga tidak lagi memuat liputan warga. Sehingga, terkesan hanya jadi kolom opini tak dibayar.
Banyak sekali produk jurnalistik, baik itu berupa tulisan, suara, foto, atau video, yang justru bukan dibuat oleh pewarta berkartu pers. Contoh paling jelas sudah saya sebutkan di atas, saat tsunami Aceh 2004. Kalau untuk mengikuti ajang lomba "Word Press Photo", memang harus berkartu pers. Tapi mengikuti "Salon Foto Indonesia" untuk kategori foto jurnalistik, seingat saya tidak perlu. Itu artinya, foto bernilai berita memang bisa masuk kategori jurnalistik, meski pemotretnya bukan pewarta foto.