Tunjangan Untuk Pewarta?
Menghadapi kondisi sulitnya kesejahteraan bagi pewarta, ada peserta di grup saya yang mengusulkan adanya tunjangan bagi wartawan yang sudah bersertifikasi. Ia membandingkannya dengan guru.
Di sini, saya tidak sepakat. Karena wartawan itu profesi yang tidak diatur sebagai "abdi negara". Ia adalah profesi swasta bebas yang bisa ditekuni siapa saja. Bahkan kini dengan menjamurnya media daring, nyaris tanpa ada seleksi lagi. Meskipun ada sertifikasi, tapi dikomplain juga biayanya mahal.
Kalau pewarta bersertifikasi diberikan tunjangan oleh pemerintah, bagaimana dengan profesi lainnya? Padahal sesuai amanat didirikannya Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), semua profesi seharusnya disertifikasi kompetensinya. Bisa jebol APBN membayar semua itu. Sekarang saja anggaran untuk pembayaran Aparatur Sipil Negara (ASN) dan anggota TNI-Polri sudah besar. Masih ditambah tunjangan bagi para "abdi negara" lain seperti guru honorer atau tenaga kesehatan (nakes).
Maaf saja, profesi pewarta tidaklah sekrusial itu. Orang kalau tidak baca berita tidak akan mati. Tapi orang sakit kalau tidak ada nakes, bisa mati. Demikian pula guru. Kalau anak tidak sekolah, masa depannya akan lebih suram daripada yang bersekolah.
Kerjasama Dengan Pemerintah
Di sini dimaksudkan kerjasama dengan pemerintah berupa proyek penyiaran atau kehumasan. Media massa di daerah terutama sangat mengharapkan adanya uluran tangan dari pemerintah, baik itu Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Karena porsi iklan saat ini sudah sangat berkurang, maka kerjasama yang diharapkan adalah diundangnya media massa dalam berbagai acara. Selain untuk meliput berita, tentu diharapkan juga adanya per diem.
Atau lebih baik lagi kalau memang ada MoU atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) resmi antara pemerintah dengan media massa. Misalnya untuk menyiarkan keberhasilan pembangunan di suatu daerah. Ini menjadi aspirasi bagi pemilik media massa yang berada jauh dari ibukota.
Saya pribadi merasa, hal ini sulit diusahakan secara menyeluruh dan umum, apalagi sampai menjadi kebijakan. Harus media massa masing-masing yang "bergerilya". Karena kedekatan dengan pemerintah sangat tergantung dari bagaimana individu di media massa mengelolanya. Terutama sekali kemampuan pemilik atau pimpinannya menjalin hubungan secara pribadi.
Independensi dan Netralitas
Dua kata ini menurut Haryo Ristamaji yang bertindak sebagai pemandu di grup yang saya ikuti, Â berbeda artinya. Netralitas artinya sama sekali tidak berpihak pada siapa atau apa pun. Sedangkan independensi artinya lepas dari keterkaitan dan bebas dari tekanan.