Sempat terlintas dipikiranku, aku khawatir langkahku mengenalkan Nug dengan May adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan, karena konsekuensinya adalah seperti yang terjadi saat ini, tidak ada lagi ruang untukku dan May, hanya kami berdua. Tapi pikiran ini selalu kutepis jauh-jauh, aku tidak boleh memposisikan Nug, sahabatku, sebagai musuh, sebagai pesaing.
Waktu terus berjalan, hubunganku dengan May masih berjalan dengan baik, saling memperhatikan, saling memberikan semangat, dan dengan satu tambahan tema di antara pembicaraan kami, ada Nugraha disana. May pernah bercerita kepadaku, Ia sangat simpatik dengan Nug, bagaimana Nug tetap mampu bangkit dari kejadian yang sangat menyakitkan. Saat itu, aku bermonolog dengan pikiranku sendiri,
"Siapapun akan mampu bangkit, May, selama ada sosok wanita sepertimu yang memberikan dukungan dan perhatian. Seperti arti dari namamu, Mayleen, keindahan. Kamu mampu mengubah semua keadaan, seperti yang dulu aku rasakan, kekosongan dalam hati, dan kini yang dirasakan Nug, kehancuran hati, keduanya mampu kamu ubah menjadi keindahan, tepat seperti namamu."
Hari demi hari, aku terus berusaha menolak untuk menganggap ada cinta segitiga di antara aku, May, dan Nug. Terlihat bodoh memang, semua orang yang melihat pun pasti tahu memang hal itulah yang terjadi di antara kami. Tapi aku tidak mau mengakuinya, aku takut hubungan kami bertiga menjadi berubah, dan pasti akan berubah jika aku mengamini pikiranku itu.
Aku harus menyalahkan siapa? Menyalahkan May yang terlihat terlalu membuka kedekatannya dengan Nug? Aku punya hak apa untuk membatasi sejauh mana May berhubungan dengan orang lain?. Bahkan aku tidak punya hak sedikit pun seandainya May membangun hubungan dengan orang lain, termasuk Nug.Â
Aku bukan siapa-siapa May, aku memang mencintai May, rasa yang sudah lama bermukim di hatiku, tapi apalah artinya semua itu jika aku tidak pernah mengatakannya? Meskipun May memiliki rasa yang sama, itu bukan berarti kami berhubungan, tidak tanpa adanya sebuah komitmen.
"Aku mencintamu May! Maukah kamu jadi kekasihku?" itulah kalimat yang selalu ingin kukatakan pada May, setiap kali kami berpadangan. Tapi hal itu tak mungkin terjadi, tembok di antara kami terlalu kokoh untuk dilewati, tembok besar bernama keyakinan. Kami berbeda, sulit bagi kami untuk bersama.
Dari diskusi santai tentang agama yang sering kami lakukan. Kuketahui bahwa May dan keluarga tetap melakukan ritual sembayang leluhur sebagai bentuk penghormatan walaupun mereka beragama Kristen. Sedangkan dalam Islam hal seperti itu tidak ada dalam tuntunan. Hal itu pula yang mendasari ia dan keluarganya memeluk agama Kristen karena bisa beriringan melakukan ritual penghormatan pada leluhur tanpa perlu ada pelarangan. Selain memang hidayat yang diperolehnya untuk memeluk agama Kristen.
Dalam perenunganku, aku mulai memahami arah yang harus aku tempuh, arah yang menjadi langkah paling adil dan logis. Beberapa hari aku terus memikirkan pilihan yang dengan sekuat tenaga kubangun dan kuyakini adalah pilihan yang terbaik.Â
Hingga sampailah aku ke momen yang menentukan itu, momen yang kuanggap sebagai momen pendewasaanku untuk mengartikan apa itu cinta dan bagaimana menyikapi cinta itu. Aku mengajak mereka berdua bertemu di depan Museum Tionghoa, yang terletak tidak jauh dari komplek perkantoran Batu Enam. Kami duduk di dalam sebuah gazibo dengan nuansa Tionghoa yang kental, serasi dengan gedung museumnya.
"May, Nug, aku pengen bilang sesuatu ke kalian," kataku lirih.