Kamar Yani benar-benar berbeda dengan dengan kamar kebanyakan anak seusia kami. Ketika aku masuk ke dalamnya, bau asap rokok tercium kuat sekali hingga terasa sampai menekan ubun-ubunku. Buku-buku berjajar dibiarkan menempel tembok. Sebuah penggaris besi dan kertas buram dengan coret -- coretan berserakan di lantainya. Bagian atapnya, beberapa manik-manik yang terbut dari kelereng bergerak tersu tanpa henti. Mereka saling menabrak satu sama lainnya.
" Kamu hidup dengan semua ini Yan?"
" Semua ini bagian terpenting dalam hidupku li."
Aku menggelengkan kepala. Aku merasa terdapat sesuatu kejanggalan pada cara pikir Yani. Aku merasa dia bukan seperti anak remaja yang berusia belasan tahun dan masih duduk di bangku Sekolah menengah Atas. Aku mulai berpikir, sepertinya dia merencanakan sesuatu pada malam itu.
" Siapa saja yang kamu undang Yan?"
" Kau, Ari, Anwar dan Taufiq." Yani tertawa.
" Untuk apa?"
" Mempersiapkan Ujian Akhir Nasional kita."
" Iya, aku mendengar dari teman-teman kalau memang kamu yang memimpin persiapan ujian nasional. Hal itu pulalah yang membuat teman-teman mengikutimu untuk tidak masuk sekolah."
Malam itu, Yani mengajariku bagaiman mendistribusikan jawaban dari soal yang telah aku kerjakan sehingga semuanya menerima dan memahaminya. Untuk memastikan kemampuan pengerjaan kami, dia mendatangkan guru-guru dari sekolah lain untuk kami.
*** Â Â