Yani masih tetap diam, walaupun pukulan dan tantangan kepala sekolah terasa memerahkan telingaku. Matanyapun masih belum berhenti menatap mata kepala sekolah. Tindakan itu membuat Kepala sekolah semakin membabi buta menghajarnya.
Aku dan teman-teman yang lain masih menunggu drama aksi itu selesai. Beberapa cewek yang menyukainya sudah bermandikan air mata dan beberapa cewek melangkolis lainnya mencoba menyibukkan dirinya dengan yang lain agar tidak mendengarkan suara pukulan demi pukulan kepala sekolah yang melayang ditubuh Yani layaknya suara genderam pencak yang tiap malam jumat meramaikan desa.Â
Para lelaki pencinta dengan sigap menghampiri cewek-cewek yang menangis. Mereka berusaha menceritakan seberapa ketangguhan mereka dalam menghadapi kekerasan layaknya Yani atau bahkan lebih hebat.
***
Menjadi orang yang berguna merupakan doktrin yang selalu didengarnya kapanpun saat di rumah. Sebelum makan, sebelum sembahyang, sebelum tidur, sebelum berangkat sekolah, dan bahkan sebelum memandikannya, ibunya selalu membisikinya,Â
" Kau harus jadi orang yang berguna." Sebaliknya, Ayahnya setiap hendak berangkat mengajar ke sekolah, selalu berpesan bahwa Yani harus mendahulukan orang yang teraniaya. Meskipun pada akhirnya, Yani berhasil memiliki penafsiran tersendiri tentang "orang yang beguna" dan "orang teraniaya".Â
***Â
Bagiku, Yani menjadi temanku hanya saat dia bermain sepak bola bersama. Saat dia menjaga gawang dengan mengandalkan reflek cepatnya. Satu-satunya keahlian olah raga yang dia bisa kurasa.
Terlahir dari keluarga multi talent di bidang olah raga, Yani kecil seringkali mengeluhkan ketidak mampuannya menguasai satu olah ragapun. Sampai suatu hari, aku mengajaknya bermain sepak bola. Pertama Dia bermain sebagai pemain belakang, namun gerakan tubuhnya yang lambat membuatnya seringkali di kecoh oleh musuh. Sampai suatu hari, kiper yang biasa menjadi andalan kami sakit dan tidak bisa mengikuti pertandingan liga antar kampung. Waktu itu Yani menawarkan diri untuk menggantikannya.
Semua orang terpaku menyaksikan reflek Yani. Dari manapun bola datang, Yani dengan sigap menangkapnya. Pertandingan itu berakhir 1- 0 dengan kemenangan di pihak kami. Sejak saat itulah, Yani secara resmi menjadi kiper andalan desa kami.
Senyumnya di bawah mistar gawang saat peluit pertandingan dimulai selalu menggiringku pada nuansa masa kecil dulu. Saat aku bermain dengan Yani kecil yang pemalu. Seorang anak yang harus  lewat hutan saat berangkat dan pulang sekolah karena takut dilihat orang.Â